- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Cerpen Religi] Tiada Terlambat untuk Bertobat


TS
aldysadi
[Cerpen Religi] Tiada Terlambat untuk Bertobat
![[Cerpen Religi] Tiada Terlambat untuk Bertobat](https://s.kaskus.id/images/2019/05/15/8922017_201905150102150263.jpg)
Quote:
"Han, kamu boleh nangis sepuasnya, selama yang kamu mau ... tapi tolong, jangan meratapi nasib dan berniat bodoh seperti itu lagi! Ini sudah waktunya untuk mengikhlaskan. Nasi sudah jadi bubur. Ambil hikmahnya dan jadikan sebagai pelajaran. Sia-sia menghukum diri atas sesuatu yang sudah terlanjur terjadi." Habiba menasihati ku dengan tegas.
Aku menangis terisak-isak sembari membekap mulutku dengan bantal. Tanganku mengepal kuat, meninju-ninju permukaan kasur. Kesal, marah, kecewa dan sangat menyesal mendera jiwaku.
"Di luar sana, dia melenggang ... senang-senang ... tanpa beban! Mungkin sedang cari mangsa baru lagi! Sementara, kamu depresi dan mau bunuh diri? Itu bodoh namanya!" Habibah berucap dengan sarkastis.
—Tak habis pikir!— Mungkin itu lah yang ada dalam benak sahabatku sekarang. Aku benar-benar merasa hancur. Batinku terluka dalam ketika Habiba menemukanku di kamar mandi dengan cairan pembersih lantai di tangan yang hendak ku tenggak.
"Dapet apa kamu nanti setelah itu tadi, hah? Mati? Urusan selesai? Nggak, Han! Di akhirat, urusanmu lanjut ... sama Tuhan! Hukuman yang mengerikan juga sudah siap menanti. Kenapa coba? Karena kamu mati sebelum sempat bertobat!"
Tangisku semakin menjadi-jadi. Entah, apa yang ada dalam pikiranku hingga nekat ingin mengakhiri hidup.
"Mau aku jabarkan apa saja dosamu? ... Pertama, kamu menjalin hubungan dengan suami orang! Itu udah dosa! Oke, kamu gak tahu ... tapi kenapa gak dicari tahu dulu sebelumnya? Asal-usulnya, siapa orangtuanya, apa latar belakangnya? Sudah selayaknya seorang muslimah memiliki sikap dan tindakan yang berhati-hati agar terhindar dari hal-hal yang membawa pada keburukan. Kamu harus bertobat karena nya!"
Ia diam sejenak, kemudian kembali melanjutkan ceramahnya, " ... dan dua, maaf-maaf kalau ini harus aku ungkit. Hubunganmu dengan ibumu sangatlah tak akur. Kau tahu, kan sebutan untuk anak seperti itu? Anak durhaka!"
"Haish!" desisku kesal padanya. Ingin sekali rasanya aku memukul kepalanya. Seenaknya saja dia menyematkan label anak durhaka padaku, "Kamu kan sudah tahu gimana watak ibuku yang keras dan suka memaksakan kehendaknya padaku!" ujarku sengit.
"Ya, aku tahu ... tapi sebagai anak, tetap lah berbuat baik pada orang tuamu meskipun mereka mendzalimimu!"
"Meskipun ibu telah membuatku terpisah dari ayah kandungku dan menikah lagi dengan pria yang kaya tapi suka main wanita? Meskipun ibuku sendiri yang menjebakku untuk menjalin hubungan dengan seorang pria beristri karena uang? Hah, luar biasa! Peraturan macam apa itu!" Aku tersenyum sinis dan menatap tajam pada Habiba.
Tanpa sadar, air mata kembali mengalir dengan deras. Sangat panas rasanya di mataku tatkala aku mengingat hari itu dimana aku mengenal mas Aris dari ibuku. Pria yang telah merenggut hatiku ... dan juga kehormatanku!.
"Hani, memang itulah yang diajarkan dalam agama kita untuk tetap berbuat baik kepada orang tua kita meskipun mereka mendzalimi kita. Tugas kita sebagai anak adalah berbakti dan menghormati. Sisanya, biarlah menjadi urusan Allah. Setiap perbuatan akan ada ganjarannya, baik ataupun buruk."
"Gak! Ibu lah yang membuatku jadi seperti ini. Membuatku menyalahi perintah Tuhan untuk memuliakan orang tua." Jawabku sengit.
"Masya Allah ..." Habiba menarik nafas panjang, "Manusia diberi Allah akal. Membedakan mana yang salah dan benar, itulah gunanya akal. Kamu bisa tahu perbuatan ibumu salah karena kamu berakal. Kamu bisa menilai perbuatan orang lain. Sekarang, cobalah koreksi diri sendiri, apakah tindakanmu yang memusuhi dan membenci ibu sendiri adalah benar?" tanya Habiba sambil menuntut jawaban dariku tetapi aku memalingkan muka darinya.
"Seperti kataku tadi, cukup lakukan tugasmu sebagai anak. Sisanya, urusan Allah. Kamu bisa, kok mengajarkan kasih sayang pada ibumu. Siapa tahu, justru melalui perilaku baikmu, ibumu mendapatkan hidayah dari Allah. Kita gak pernah tahu, kapan, dimana dan darimana hidayah itu akan datang. Yang penting, berusahalah menjadi hamba-Nya yang setakwa mungkin!."
Aku tetap diam. Namun, di dalam, hatiku bergemuruh mendengar apa yang diucapkan Habiba, memang benar adanya. Akan tetapi, melakukan sekaligus mengikhlaskan apa yang sudah terjadi bukan lah hal yang mudah. Aku bukan manusia yang sesempurna itu!.
"Seandainya, tadi kamu beneran mati bunuh diri ... Dah, aku gak tau lagi. Pedih, Han, pediiihh banget azabnya!. Pelaku bunuh diri akan kekal mendekam di neraka jahanam. Bayangin! Di dunia, urusanmu belum kelar karena gak sempat tobat. Di akhirat, kamu disiksa." ujar Habiba dengan raut wajah yang seolah bergidik ngeri. Fix, aku jadi ikut ngeri!.
"Aku pernah denger ceramahnya mengenai 'Penyesalan Manusia setelah Mati', yaitu karena tidak bersedekah, tidak mendengarkan orang yang mengingatkan, tidak menegakkan shalat ketika sehat atau sakit, orang yang memutus tali silaturahmi dan tidak pernah berdakwah semasa hidupnya. Banyak yang telah sampai di alam sana, menyesal dan meminta dihidupkan kembali begitu merasakan perihnya siksa di akhirat. Tentu, kamu tahu, mana-mana yang belum sempat kamu lakukan hingga detik ini. Anggaplah, ini kesempatan kedua. Perbaikilah, begitu pula dengan diriku yang tak luput dari dosa ini." ucap Habiba tertunduk, seolah ia juga ikut merenungi dosanya.
"... Tapi, aku sudah penuh dengan dosa, Bib. Aku sudah tak suci lagi ..." ucapku sambil menangis.
"Bertobatlah, Han. Mohon ampunan pada Allah. Insya Allah, Allah ampunkan jika kamu bersungguh-sungguh. Jangan tergoda untuk kembali pada mas Aris hanya karena kehormatanmu telah direnggutnya ... dan lemah-lembutlah pada ibumu. Aku tahu gak mudah tapi kamu harus melakukannya dengan konsisten."ucap Habiba padaku penuh harap.
"Soal mas Aris, aku sudah bertekad untuk tak kembali padanya. Namun, soal ibu, aku tak bisa berjanji tapi aku akan berusaha. Kamu tahu lah, kami terlalu sering bertengkar. Ada-ada saja hal yang kami ributkan." ucapku sambil tersenyum getir, "... Bib, ada satu hal lagi yang mengganjal hatiku ..."
"Ada apa, Han?"
"Apa ada laki-laki yang mau menerima keadaanku yang sudah tak suci lagi?" Tanyaku ragu-ragu dan sedih.
"Hani ..." Habiba memelukku dalam-dalam, "Kau itu sangat cantik, fisikmu pun sempurna sebagai seorang wanita. Apalagi, jika kau benar-benar memperbaiki dirimu, kembali ke jalan Allah maka kau akan semakin cantik luar-dalam. Jodohmu tak akan melihat dari sisi itu lagi melainkan akhlakmu." ucapnya meyakinkanku sehingga bertumbuhlah harapanku.
"Apa itu mungkin?" tanyaku lagi dengan ragu.
"Lakukan saja sesuai perintah-Nya. Sisanya, serahkan pada Allah. Dimulai dengan memperbaiki shalatmu. Kemudian, perbaiki dirimu maka Allah akan memperbaiki hidupmu." ucap Habiba meyakinkanku.
"... Tapi kenapa, diri ini begitu sulit untuk sekedar mengambil wudhu dan shalat kemudian. Padahal, fisikku sempurna dan badanku sehat. Bib, apakah ... aku sudah terlalu jauh dari Allah?" tanyaku sedih dan hampir menangis.
"Han, sesungguhnya, jarakmu dengan Allah hanya sejengkal. Layaknya, jarak mu dengan sajadah itu," Habiba menunjuk pada sajadah yang terletak di dalam lemari pakaianku, yang berdiri di samping tempat tidurku. Ia melihatnya melalui celah pintu lemari yang setengah terbuka. Sajadah yang sangat jarak ku pakai, kecuali lebaran atau saat tertentu, "Semudah itu meraih kasih sayang Allah." lanjutnya.
Aku memeluk Habiba erat-erat. Sahabat sejatiku sejak SMA hingga kini, kami kuliah. Sudah 5 tahun kami bersahabat. Selama itu pula, ia tak pernah lelah membujukku untuk kembali ke jalan Allah. Ia pernah lelah tapi tak pernah meninggalkanku. Aku tak tahu, apakah aku benar-benar bisa menjalani hidup yang baru. Namun, aku akan berusaha.
Aku menangis terisak-isak sembari membekap mulutku dengan bantal. Tanganku mengepal kuat, meninju-ninju permukaan kasur. Kesal, marah, kecewa dan sangat menyesal mendera jiwaku.
"Di luar sana, dia melenggang ... senang-senang ... tanpa beban! Mungkin sedang cari mangsa baru lagi! Sementara, kamu depresi dan mau bunuh diri? Itu bodoh namanya!" Habibah berucap dengan sarkastis.
—Tak habis pikir!— Mungkin itu lah yang ada dalam benak sahabatku sekarang. Aku benar-benar merasa hancur. Batinku terluka dalam ketika Habiba menemukanku di kamar mandi dengan cairan pembersih lantai di tangan yang hendak ku tenggak.
"Dapet apa kamu nanti setelah itu tadi, hah? Mati? Urusan selesai? Nggak, Han! Di akhirat, urusanmu lanjut ... sama Tuhan! Hukuman yang mengerikan juga sudah siap menanti. Kenapa coba? Karena kamu mati sebelum sempat bertobat!"
Tangisku semakin menjadi-jadi. Entah, apa yang ada dalam pikiranku hingga nekat ingin mengakhiri hidup.
"Mau aku jabarkan apa saja dosamu? ... Pertama, kamu menjalin hubungan dengan suami orang! Itu udah dosa! Oke, kamu gak tahu ... tapi kenapa gak dicari tahu dulu sebelumnya? Asal-usulnya, siapa orangtuanya, apa latar belakangnya? Sudah selayaknya seorang muslimah memiliki sikap dan tindakan yang berhati-hati agar terhindar dari hal-hal yang membawa pada keburukan. Kamu harus bertobat karena nya!"
Ia diam sejenak, kemudian kembali melanjutkan ceramahnya, " ... dan dua, maaf-maaf kalau ini harus aku ungkit. Hubunganmu dengan ibumu sangatlah tak akur. Kau tahu, kan sebutan untuk anak seperti itu? Anak durhaka!"
"Haish!" desisku kesal padanya. Ingin sekali rasanya aku memukul kepalanya. Seenaknya saja dia menyematkan label anak durhaka padaku, "Kamu kan sudah tahu gimana watak ibuku yang keras dan suka memaksakan kehendaknya padaku!" ujarku sengit.
"Ya, aku tahu ... tapi sebagai anak, tetap lah berbuat baik pada orang tuamu meskipun mereka mendzalimimu!"
"Meskipun ibu telah membuatku terpisah dari ayah kandungku dan menikah lagi dengan pria yang kaya tapi suka main wanita? Meskipun ibuku sendiri yang menjebakku untuk menjalin hubungan dengan seorang pria beristri karena uang? Hah, luar biasa! Peraturan macam apa itu!" Aku tersenyum sinis dan menatap tajam pada Habiba.
Tanpa sadar, air mata kembali mengalir dengan deras. Sangat panas rasanya di mataku tatkala aku mengingat hari itu dimana aku mengenal mas Aris dari ibuku. Pria yang telah merenggut hatiku ... dan juga kehormatanku!.
Quote:
"Tunggu dulu! Jadi, kamu menyalahkanku? Justru aku yang terkejut!. Dari awal menjalani hubungan, ku pikir ibumu sudah memberi tahu mengenai statusku ... Aku sudah memberi semua yang kamu dan ibumu butuhkan ... barang, uang bahkan kuliahmu aku yang bayar! Kalau kau tetap ingin ini berakhir, jangan lupa, kau sudah tak suci lagi, Hani!"papar Mas Aris dengan penuh amarah ketika kami bertengkar hebat karena aku menolak untuk melanjutkan hubungan dengannya.
"Hani, memang itulah yang diajarkan dalam agama kita untuk tetap berbuat baik kepada orang tua kita meskipun mereka mendzalimi kita. Tugas kita sebagai anak adalah berbakti dan menghormati. Sisanya, biarlah menjadi urusan Allah. Setiap perbuatan akan ada ganjarannya, baik ataupun buruk."
"Gak! Ibu lah yang membuatku jadi seperti ini. Membuatku menyalahi perintah Tuhan untuk memuliakan orang tua." Jawabku sengit.
"Masya Allah ..." Habiba menarik nafas panjang, "Manusia diberi Allah akal. Membedakan mana yang salah dan benar, itulah gunanya akal. Kamu bisa tahu perbuatan ibumu salah karena kamu berakal. Kamu bisa menilai perbuatan orang lain. Sekarang, cobalah koreksi diri sendiri, apakah tindakanmu yang memusuhi dan membenci ibu sendiri adalah benar?" tanya Habiba sambil menuntut jawaban dariku tetapi aku memalingkan muka darinya.
"Seperti kataku tadi, cukup lakukan tugasmu sebagai anak. Sisanya, urusan Allah. Kamu bisa, kok mengajarkan kasih sayang pada ibumu. Siapa tahu, justru melalui perilaku baikmu, ibumu mendapatkan hidayah dari Allah. Kita gak pernah tahu, kapan, dimana dan darimana hidayah itu akan datang. Yang penting, berusahalah menjadi hamba-Nya yang setakwa mungkin!."
Aku tetap diam. Namun, di dalam, hatiku bergemuruh mendengar apa yang diucapkan Habiba, memang benar adanya. Akan tetapi, melakukan sekaligus mengikhlaskan apa yang sudah terjadi bukan lah hal yang mudah. Aku bukan manusia yang sesempurna itu!.
"Seandainya, tadi kamu beneran mati bunuh diri ... Dah, aku gak tau lagi. Pedih, Han, pediiihh banget azabnya!. Pelaku bunuh diri akan kekal mendekam di neraka jahanam. Bayangin! Di dunia, urusanmu belum kelar karena gak sempat tobat. Di akhirat, kamu disiksa." ujar Habiba dengan raut wajah yang seolah bergidik ngeri. Fix, aku jadi ikut ngeri!.
"Aku pernah denger ceramahnya mengenai 'Penyesalan Manusia setelah Mati', yaitu karena tidak bersedekah, tidak mendengarkan orang yang mengingatkan, tidak menegakkan shalat ketika sehat atau sakit, orang yang memutus tali silaturahmi dan tidak pernah berdakwah semasa hidupnya. Banyak yang telah sampai di alam sana, menyesal dan meminta dihidupkan kembali begitu merasakan perihnya siksa di akhirat. Tentu, kamu tahu, mana-mana yang belum sempat kamu lakukan hingga detik ini. Anggaplah, ini kesempatan kedua. Perbaikilah, begitu pula dengan diriku yang tak luput dari dosa ini." ucap Habiba tertunduk, seolah ia juga ikut merenungi dosanya.
"... Tapi, aku sudah penuh dengan dosa, Bib. Aku sudah tak suci lagi ..." ucapku sambil menangis.
"Bertobatlah, Han. Mohon ampunan pada Allah. Insya Allah, Allah ampunkan jika kamu bersungguh-sungguh. Jangan tergoda untuk kembali pada mas Aris hanya karena kehormatanmu telah direnggutnya ... dan lemah-lembutlah pada ibumu. Aku tahu gak mudah tapi kamu harus melakukannya dengan konsisten."ucap Habiba padaku penuh harap.
"Soal mas Aris, aku sudah bertekad untuk tak kembali padanya. Namun, soal ibu, aku tak bisa berjanji tapi aku akan berusaha. Kamu tahu lah, kami terlalu sering bertengkar. Ada-ada saja hal yang kami ributkan." ucapku sambil tersenyum getir, "... Bib, ada satu hal lagi yang mengganjal hatiku ..."
"Ada apa, Han?"
"Apa ada laki-laki yang mau menerima keadaanku yang sudah tak suci lagi?" Tanyaku ragu-ragu dan sedih.
"Hani ..." Habiba memelukku dalam-dalam, "Kau itu sangat cantik, fisikmu pun sempurna sebagai seorang wanita. Apalagi, jika kau benar-benar memperbaiki dirimu, kembali ke jalan Allah maka kau akan semakin cantik luar-dalam. Jodohmu tak akan melihat dari sisi itu lagi melainkan akhlakmu." ucapnya meyakinkanku sehingga bertumbuhlah harapanku.
"Apa itu mungkin?" tanyaku lagi dengan ragu.
"Lakukan saja sesuai perintah-Nya. Sisanya, serahkan pada Allah. Dimulai dengan memperbaiki shalatmu. Kemudian, perbaiki dirimu maka Allah akan memperbaiki hidupmu." ucap Habiba meyakinkanku.
"... Tapi kenapa, diri ini begitu sulit untuk sekedar mengambil wudhu dan shalat kemudian. Padahal, fisikku sempurna dan badanku sehat. Bib, apakah ... aku sudah terlalu jauh dari Allah?" tanyaku sedih dan hampir menangis.
"Han, sesungguhnya, jarakmu dengan Allah hanya sejengkal. Layaknya, jarak mu dengan sajadah itu," Habiba menunjuk pada sajadah yang terletak di dalam lemari pakaianku, yang berdiri di samping tempat tidurku. Ia melihatnya melalui celah pintu lemari yang setengah terbuka. Sajadah yang sangat jarak ku pakai, kecuali lebaran atau saat tertentu, "Semudah itu meraih kasih sayang Allah." lanjutnya.
Aku memeluk Habiba erat-erat. Sahabat sejatiku sejak SMA hingga kini, kami kuliah. Sudah 5 tahun kami bersahabat. Selama itu pula, ia tak pernah lelah membujukku untuk kembali ke jalan Allah. Ia pernah lelah tapi tak pernah meninggalkanku. Aku tak tahu, apakah aku benar-benar bisa menjalani hidup yang baru. Namun, aku akan berusaha.
"Kita memang tak bisa mengubah masa lalu tapi kita masih bisa memperbaiki masa depan"
Terimakasih, Habiba.
—Unknown—
Terimakasih, Habiba.
Quote:
Sumber : Pemikiran Pribadi TS
Gambar : www.google.com
Gambar : www.google.com






swiitdebby dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.2K
Kutip
33
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan