- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Membaca Indonesia Pasca-Pemilu 2019


TS
InRealLife
Membaca Indonesia Pasca-Pemilu 2019
Hasil rekapitulasi suara KPU dan survei Litbang Kompas, yang dilakukan saat pencoblosan (exit poll) ataupun beberapa saat sebelumnya, memperlihatkan terjadinya pembelahan atau segregasi masyarakat di berbagai sisi.
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2...a-pemilu-2019/

PR besar buat pemerintah mendatang.
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2...a-pemilu-2019/

Quote:
Membaca Indonesia Pasca-Pemilu 2019
oleh GIANIE
28 Mei 2019 06.00 WIB
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara manual Pemilihan Umum Presiden 2019 pada 21 Mei lalu. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan mendapat perolehan suara 55,5 persen. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 44,5 persen suara. Dengan demikian, dapat dipastikan Presiden Joko Widodo akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode yang kedua.
Dengan hasil tersebut, selanjutnya apa yang akan terjadi di panggung politik negeri ini? Sehari menjelang pengumuman rekapitulasi KPU, bertepatan pula dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2019, Litbang Kompas menyelenggarakan diskusi bertajuk ”Titik Temu: Panggung Politik Indonesia Pasca-Pemilu 2019”.
Diskusi itu menghadirkan narasumber Bambang Setiawan (Peneliti Senior Litbang Kompas), Direktur Eksekutif Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, dan Antony Lee (wartawan Kompas). Turut hadir sebagai pembicara kunci adalah Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Prisma, yang juga mantan Kepala Litbang Kompas 1994-2006). Bertindak sebagai moderator diskusi adalah Yohan Wahyu (peneliti Litbang Kompas).
Perang kebuasan
Untuk mendapat gambaran mengenai panggung politik ke depan, mari kita lihat ulang peristiwa sebelumnya pada pemilu 17 April lalu. Pemilu 2019 merupakan pemilu unik yang baru pertama kali ini dilakukan, kemungkinan juga yang terakhir jika nanti ada revisi Undang-Undang Pemilu, yaitu pemilu serentak yang memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI secara bersamaan. Dua calon presiden yang bertarung masih sama dengan Pemilu 2014, yaitu Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Kondisi keterbelahan masyarakat, yang muncul sejak 2014 dan dipertajam pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, mencapai puncaknya saat pemilu April 2019. Kekerasan verbal yang terjadi antarpendukung dua kubu, dengan menyebut ”kampret” bagi pendukung 02 dan ”cebong” bagi pendukung 01, terutama di media sosial dan aplikasi percakapan, semakin menguat. Terjadi a war of savagery, perang kebuasan, semakin buas semakin baik dan hal itu menjadi sesuatu yang normal.
Dalam perang kebuasan ini lembaga-lembaga penelitian memiliki posisi dan peran yang tidak sedikit dalam memengaruhi lalu lintas informasi. Lembaga-lembaga penelitian, yang sejatinya bekerja menjaga agar pekerjaan politik berlangsung penuh pengetahuan sehingga demokrasi menjadi lebih berkualitas, berada dalam medan dua kutub yang saling tarik-menarik antara episteme dan doxa.
Episteme adalah pengetahuan dan doxa adalah ajaran, mendekati dogma. Bahwa Jokowi atau Prabowo ”akan” menang berdasarkan hasil penelitian itu disebut episteme. Akan tetapi, jika Jokowi atau Prabowo ”harus” menang dengan apa pun caranya, itu disebut doxa. Episteme sifatnya dinamis, bisa dianalisis untuk menghasilkan pengetahuan baru. Sementara doxa statis, tidak memungkinkan dianalisis karena harus sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Pergulatan antara episteme dan doxa selama pemilu lalu mengakibatkan kekacauan atau kegalauan pengetahuan (epistemic confusion) ketika lembaga-lembaga penelitian tidak lagi berpegang pada episteme, tetapi didorong oleh doxa. Hal buruk yang terjadi adalah ketika lembaga penelitian melakukan atau menjadi sumber dari informasi yang dimanipulasi. Ini menjadi epistemic manipulation.
Dalam penelitian, kesalahan penelitian bisa tidak terhindarkan, tetapi peneliti tidak boleh melakukan manipulasi informasi. Statistik sejatinya digunakan tidak hanya untuk mencari kebenaran, tetapi berusaha mengontrol kesalahan menjadi sesedikit mungkin. Dalam pemilu lalu, lembaga-lembaga penelitian turut terlibat dalam kekacauan pengetahuan oleh adanya kepentingan politik dan bisa jadi kepentingan uang. Cap keberpihakan kepada salah satu kubu begitu mudah disematkan. Hal tersebut ikut memperparah keterbelahan yang sudah terjadi.
Segregasi berbagai sisi
Pascapemilu, polarisasi politik dan sosial tampaknya masih akan berlanjut. Hasil rekapitulasi suara KPU dan survei Litbang Kompas, yang dilakukan saat pencoblosan (exit poll) ataupun beberapa saat sebelumnya, memperlihatkan terjadinya pembelahan atau segregasi masyarakat di berbagai sisi. Kondisi ini diperkirakan memengaruhi jalannya pemerintahan dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan.
Dari sisi geopolitik, wilayah barat Indonesia menjadi wilayah yang tidak ”tunduk” pada 01, sedangkan semakin ke timur menjadi wilayah pendukung 01. Dari sisi etnisitas pun terbelah menjadi kelompok-kelompok suku bangsa pendukung 02 dan sebaliknya.
Etnis terbesar pendukung 02, misalnya Aceh, Minang, Melayu, Palembang, Sunda, Betawi, Bugis/Makassar, Banjar, dan Madura. Sementara etnis pendukung 01 lebih menonjol pada kelompok sukubangsa Bali, Manado/Minahasa, Dayak, Jawa, Batak/Tapanuli, dan Tionghoa.

Dari sisi ideologi, keterbelahan dapat dilihat dari afiliasi politik pemeluk agama atau aliran. Kalangan non-Islam cenderung mendukung 01. Sebaliknya, kalangan Islam terbelah menurut aliran, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan aliran lainnya. NU cenderung memiliki aspirasi ke 01 khususnya di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Namun, apabila dipetakan secara luas ternyata dukungan NU di wilayah-wilayah lain lebih condong mendukung 02.
Hal tersebut menunjukkan Jokowi ataupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dianggap representasi dari NU tidak sepenuhnya bisa menguasai atau mengendalikan kalangan NU di luar Jawa. Muhammadiyah lebih sulit lagi ”ditundukkan” oleh Jokowi.
Dari sisi birokrasi, segregasi muncul dari aparatur sipil negara (ASN) dan profesi guru, baik negeri maupun swasta, yang justru cenderung menentang pemerintahan Jokowi. Resistensi dari ASN ini bisa dimengerti jika dikaitkan dengan konteks moratorium penerimaan ASN yang diterapkan pemerintahan Jokowi. Padahal, di banyak daerah menjadi pegawai negeri adalah pilihan terbaik.
Dari sisi pengetahuan, segregasi bisa dilihat dari perbedaan aspirasi antara kalangan berpendidikan rendah serta menengah dan kalangan berpendidikan tinggi. Jokowi lebih diterima oleh kalangan bawah dan menengah. Sementara kalangan atas lebih ke Prabowo.
Hal ini dapat menyebabkan kesulitan komunikasi bagi pemerintahan baru nantinya. Di satu sisi harus menggunakan bahasa yang bisa diterima kalangan bawah dan menengah, di sisi lain harus mampu meyakinkan kalangan atas yang kritis.
Dari sisi nilai-nilai pun terdapat segregasi. Di bidang ekonomi, kita cenderung moderat, tetapi hal itu kurang didukung oleh nilai-nilai sosial yang saat ini cenderung konservatif.
Segregasi ini tentu akan menjadi persoalan serius dalam pembangunan bangsa. Dengan berbagai segregasi tersebut, pemerintahan ke depan memiliki pekerjaan berat agar program-programnya diterima oleh kalangan yang bukan pengikut atau pendukungnya. Bahasa dan aktor/tokoh yang dipakai untuk mendekati pihak-pihak yang bertentangan ini tentu saja menjadi berbeda.
oleh GIANIE
28 Mei 2019 06.00 WIB
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara manual Pemilihan Umum Presiden 2019 pada 21 Mei lalu. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan mendapat perolehan suara 55,5 persen. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 44,5 persen suara. Dengan demikian, dapat dipastikan Presiden Joko Widodo akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode yang kedua.
Dengan hasil tersebut, selanjutnya apa yang akan terjadi di panggung politik negeri ini? Sehari menjelang pengumuman rekapitulasi KPU, bertepatan pula dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2019, Litbang Kompas menyelenggarakan diskusi bertajuk ”Titik Temu: Panggung Politik Indonesia Pasca-Pemilu 2019”.
Diskusi itu menghadirkan narasumber Bambang Setiawan (Peneliti Senior Litbang Kompas), Direktur Eksekutif Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, dan Antony Lee (wartawan Kompas). Turut hadir sebagai pembicara kunci adalah Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Prisma, yang juga mantan Kepala Litbang Kompas 1994-2006). Bertindak sebagai moderator diskusi adalah Yohan Wahyu (peneliti Litbang Kompas).
Perang kebuasan
Untuk mendapat gambaran mengenai panggung politik ke depan, mari kita lihat ulang peristiwa sebelumnya pada pemilu 17 April lalu. Pemilu 2019 merupakan pemilu unik yang baru pertama kali ini dilakukan, kemungkinan juga yang terakhir jika nanti ada revisi Undang-Undang Pemilu, yaitu pemilu serentak yang memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI secara bersamaan. Dua calon presiden yang bertarung masih sama dengan Pemilu 2014, yaitu Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Kondisi keterbelahan masyarakat, yang muncul sejak 2014 dan dipertajam pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, mencapai puncaknya saat pemilu April 2019. Kekerasan verbal yang terjadi antarpendukung dua kubu, dengan menyebut ”kampret” bagi pendukung 02 dan ”cebong” bagi pendukung 01, terutama di media sosial dan aplikasi percakapan, semakin menguat. Terjadi a war of savagery, perang kebuasan, semakin buas semakin baik dan hal itu menjadi sesuatu yang normal.
Dalam perang kebuasan ini lembaga-lembaga penelitian memiliki posisi dan peran yang tidak sedikit dalam memengaruhi lalu lintas informasi. Lembaga-lembaga penelitian, yang sejatinya bekerja menjaga agar pekerjaan politik berlangsung penuh pengetahuan sehingga demokrasi menjadi lebih berkualitas, berada dalam medan dua kutub yang saling tarik-menarik antara episteme dan doxa.
Episteme adalah pengetahuan dan doxa adalah ajaran, mendekati dogma. Bahwa Jokowi atau Prabowo ”akan” menang berdasarkan hasil penelitian itu disebut episteme. Akan tetapi, jika Jokowi atau Prabowo ”harus” menang dengan apa pun caranya, itu disebut doxa. Episteme sifatnya dinamis, bisa dianalisis untuk menghasilkan pengetahuan baru. Sementara doxa statis, tidak memungkinkan dianalisis karena harus sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Pergulatan antara episteme dan doxa selama pemilu lalu mengakibatkan kekacauan atau kegalauan pengetahuan (epistemic confusion) ketika lembaga-lembaga penelitian tidak lagi berpegang pada episteme, tetapi didorong oleh doxa. Hal buruk yang terjadi adalah ketika lembaga penelitian melakukan atau menjadi sumber dari informasi yang dimanipulasi. Ini menjadi epistemic manipulation.
Dalam penelitian, kesalahan penelitian bisa tidak terhindarkan, tetapi peneliti tidak boleh melakukan manipulasi informasi. Statistik sejatinya digunakan tidak hanya untuk mencari kebenaran, tetapi berusaha mengontrol kesalahan menjadi sesedikit mungkin. Dalam pemilu lalu, lembaga-lembaga penelitian turut terlibat dalam kekacauan pengetahuan oleh adanya kepentingan politik dan bisa jadi kepentingan uang. Cap keberpihakan kepada salah satu kubu begitu mudah disematkan. Hal tersebut ikut memperparah keterbelahan yang sudah terjadi.
Segregasi berbagai sisi
Pascapemilu, polarisasi politik dan sosial tampaknya masih akan berlanjut. Hasil rekapitulasi suara KPU dan survei Litbang Kompas, yang dilakukan saat pencoblosan (exit poll) ataupun beberapa saat sebelumnya, memperlihatkan terjadinya pembelahan atau segregasi masyarakat di berbagai sisi. Kondisi ini diperkirakan memengaruhi jalannya pemerintahan dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan.
Dari sisi geopolitik, wilayah barat Indonesia menjadi wilayah yang tidak ”tunduk” pada 01, sedangkan semakin ke timur menjadi wilayah pendukung 01. Dari sisi etnisitas pun terbelah menjadi kelompok-kelompok suku bangsa pendukung 02 dan sebaliknya.
Etnis terbesar pendukung 02, misalnya Aceh, Minang, Melayu, Palembang, Sunda, Betawi, Bugis/Makassar, Banjar, dan Madura. Sementara etnis pendukung 01 lebih menonjol pada kelompok sukubangsa Bali, Manado/Minahasa, Dayak, Jawa, Batak/Tapanuli, dan Tionghoa.

Dari sisi ideologi, keterbelahan dapat dilihat dari afiliasi politik pemeluk agama atau aliran. Kalangan non-Islam cenderung mendukung 01. Sebaliknya, kalangan Islam terbelah menurut aliran, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan aliran lainnya. NU cenderung memiliki aspirasi ke 01 khususnya di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Namun, apabila dipetakan secara luas ternyata dukungan NU di wilayah-wilayah lain lebih condong mendukung 02.
Hal tersebut menunjukkan Jokowi ataupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dianggap representasi dari NU tidak sepenuhnya bisa menguasai atau mengendalikan kalangan NU di luar Jawa. Muhammadiyah lebih sulit lagi ”ditundukkan” oleh Jokowi.
Dari sisi birokrasi, segregasi muncul dari aparatur sipil negara (ASN) dan profesi guru, baik negeri maupun swasta, yang justru cenderung menentang pemerintahan Jokowi. Resistensi dari ASN ini bisa dimengerti jika dikaitkan dengan konteks moratorium penerimaan ASN yang diterapkan pemerintahan Jokowi. Padahal, di banyak daerah menjadi pegawai negeri adalah pilihan terbaik.
Dari sisi pengetahuan, segregasi bisa dilihat dari perbedaan aspirasi antara kalangan berpendidikan rendah serta menengah dan kalangan berpendidikan tinggi. Jokowi lebih diterima oleh kalangan bawah dan menengah. Sementara kalangan atas lebih ke Prabowo.
Hal ini dapat menyebabkan kesulitan komunikasi bagi pemerintahan baru nantinya. Di satu sisi harus menggunakan bahasa yang bisa diterima kalangan bawah dan menengah, di sisi lain harus mampu meyakinkan kalangan atas yang kritis.
Dari sisi nilai-nilai pun terdapat segregasi. Di bidang ekonomi, kita cenderung moderat, tetapi hal itu kurang didukung oleh nilai-nilai sosial yang saat ini cenderung konservatif.
Segregasi ini tentu akan menjadi persoalan serius dalam pembangunan bangsa. Dengan berbagai segregasi tersebut, pemerintahan ke depan memiliki pekerjaan berat agar program-programnya diterima oleh kalangan yang bukan pengikut atau pendukungnya. Bahasa dan aktor/tokoh yang dipakai untuk mendekati pihak-pihak yang bertentangan ini tentu saja menjadi berbeda.
PR besar buat pemerintah mendatang.


whitepoint memberi reputasi
1
2.2K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan