- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
BPK Soroti Bengkaknya Utang Pemerintah


TS
sukhoivsf22
BPK Soroti Bengkaknya Utang Pemerintah
Reporter: Tempo.co
Editor: Martha Warta Silaban
29 Mei 2019 18:20 WIB

Ilustrasi Hutang. shutterstock.com
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, mengingatkan pemerintah untuk menekan rasio utang . Saat menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP Tahun 2018 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Moermahadi mengatakan utang pemerintah pusat terus meningkat sejak 2015, meski masih di bawah ambang batas 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB.
Menurut Moermahadi, pada 2015 rasio utang pemerintah mencapai 27,4 persen. Setahun kemudian angkanya naik menjadi 28,3 persen dan kembali melonjak hingga 29,93 persen pada 2017. Tahun lalu, kata dia, rasio utang menurun menjadi 29,81 persen. "Memang masih di bawah (ambang batas). Tapi kami memberi warning, hati-hati jika semakin lama semakin meningkat," kata dia, Selasa, 29 Mei 2019.
Berdasarkan catatan BPK, peningkatan rasio utang ini tidak lepas dari realisasi pembiayaan tahun 2015 hingga 2018. Perinciannya yaitu Rp 380 triliun pada 2015 dan kemudian berturut-turut naik menjadi Rp 403 triliun pada 2016; Rp 429 trillun pada 2017; dan Rp370 triliun pada 2018. Hingga 31 Desember 2018, nilai pokok atas utang pemerintah mencapai Rp 4.466 triliun, terdiri dari utang luar negeri Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri Rp1.811 triliun atau 41 persen.
Meski utang terus naik, Moermahadi mengatakan pemerintah tidak dapat mencapai target beberapa indikator. Dia memberi contoh pertumbuhan ekonomi 5,17 persen atau di bawah target 5,40 persen. Demikian pula dengan lifting minyak mentah 778 ribu barel per hari, kurang dari target 800 ribu barel per hari. Di lain pihak, realisasi belanja subsidi mencapai Rp 216 triliun atau melebihi pagu anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 156 triliun.
Menurut Moermahadi, pembengkakan subsidi hingga Rp 50 triliun dibandingkan dengan tahun 2017 ini terjadi karena pemerintah mesti membayar utang subsidi tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 25 triliun.
Bengkaknya utang pemerintah juga tercermin dalam laporan Bank Indonesia. BI mencatat utang luar negeri (ULN) pada akhir triwulan I 2019 mencapai US$ 387,6 miliar atau tumbuh 7,9 persen (year on year). Utang ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral US$ 190,5 miliar serta utang swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) US$ 197,1 miliar dolar.
Kendati demikian, menurut BI kondisi utang tersebut masih terkendali dalam struktur yang aman. Jumlah utang tersebut mencapai 36,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir triwulan I 2019. "BI dan pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau kondisi utang sekaligus meminimalisir risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," demikian petikan keterangan BI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk soal utang. Menurut dia jika ada peringatan mengenai utang, pemerintah akan mengatasinya dari sisi belanja. "Apa yang disebut belanja modal, yang kemudian mempengaruhi ekuitas pemerintah,” ujarnya. Sri juga menyambut baik hasil audit BPK yang mempertahankan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama tiga tahun berturut-turut.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan pembiayaan melalui utang bukan hanya keputusan pemerintah melainkan produk bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dia juga menegaskan jika utang telah menjadi aset bagi negara, seperti infrastruktur maupun aset yang tidak berwujud seperti sumber daya manusia yang berkualitas. "Aset tersebut dinilai dapat menjadi pendorong perekonomian."
FAJAR PEBRIANTO | CAESAR AKBAR | DIAS PRASONGKO | FERY FIRMANSYAH
https://fokus.tempo.co/read/1210570/...ang-pemerintah
Editor: Martha Warta Silaban
29 Mei 2019 18:20 WIB

Ilustrasi Hutang. shutterstock.com
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, mengingatkan pemerintah untuk menekan rasio utang . Saat menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP Tahun 2018 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Moermahadi mengatakan utang pemerintah pusat terus meningkat sejak 2015, meski masih di bawah ambang batas 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB.
Menurut Moermahadi, pada 2015 rasio utang pemerintah mencapai 27,4 persen. Setahun kemudian angkanya naik menjadi 28,3 persen dan kembali melonjak hingga 29,93 persen pada 2017. Tahun lalu, kata dia, rasio utang menurun menjadi 29,81 persen. "Memang masih di bawah (ambang batas). Tapi kami memberi warning, hati-hati jika semakin lama semakin meningkat," kata dia, Selasa, 29 Mei 2019.
Berdasarkan catatan BPK, peningkatan rasio utang ini tidak lepas dari realisasi pembiayaan tahun 2015 hingga 2018. Perinciannya yaitu Rp 380 triliun pada 2015 dan kemudian berturut-turut naik menjadi Rp 403 triliun pada 2016; Rp 429 trillun pada 2017; dan Rp370 triliun pada 2018. Hingga 31 Desember 2018, nilai pokok atas utang pemerintah mencapai Rp 4.466 triliun, terdiri dari utang luar negeri Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri Rp1.811 triliun atau 41 persen.
Meski utang terus naik, Moermahadi mengatakan pemerintah tidak dapat mencapai target beberapa indikator. Dia memberi contoh pertumbuhan ekonomi 5,17 persen atau di bawah target 5,40 persen. Demikian pula dengan lifting minyak mentah 778 ribu barel per hari, kurang dari target 800 ribu barel per hari. Di lain pihak, realisasi belanja subsidi mencapai Rp 216 triliun atau melebihi pagu anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 156 triliun.
Menurut Moermahadi, pembengkakan subsidi hingga Rp 50 triliun dibandingkan dengan tahun 2017 ini terjadi karena pemerintah mesti membayar utang subsidi tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 25 triliun.
Bengkaknya utang pemerintah juga tercermin dalam laporan Bank Indonesia. BI mencatat utang luar negeri (ULN) pada akhir triwulan I 2019 mencapai US$ 387,6 miliar atau tumbuh 7,9 persen (year on year). Utang ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral US$ 190,5 miliar serta utang swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) US$ 197,1 miliar dolar.
Kendati demikian, menurut BI kondisi utang tersebut masih terkendali dalam struktur yang aman. Jumlah utang tersebut mencapai 36,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir triwulan I 2019. "BI dan pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau kondisi utang sekaligus meminimalisir risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," demikian petikan keterangan BI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk soal utang. Menurut dia jika ada peringatan mengenai utang, pemerintah akan mengatasinya dari sisi belanja. "Apa yang disebut belanja modal, yang kemudian mempengaruhi ekuitas pemerintah,” ujarnya. Sri juga menyambut baik hasil audit BPK yang mempertahankan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama tiga tahun berturut-turut.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan pembiayaan melalui utang bukan hanya keputusan pemerintah melainkan produk bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dia juga menegaskan jika utang telah menjadi aset bagi negara, seperti infrastruktur maupun aset yang tidak berwujud seperti sumber daya manusia yang berkualitas. "Aset tersebut dinilai dapat menjadi pendorong perekonomian."
FAJAR PEBRIANTO | CAESAR AKBAR | DIAS PRASONGKO | FERY FIRMANSYAH
https://fokus.tempo.co/read/1210570/...ang-pemerintah


BeGoNia memberi reputasi
1
1.7K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan