Namaku Deka, anak yang nekat pergi dari rumah karena tekanan orang tua, terutama bapak ku, lalu menetap di rumah kakek tanpa memberi kabar selama hampir selama 2 bulan. mungkin ini bukan tindakan baik, yaitu lari dari masalah.
saat itu aku masih belum dewasa, terlalu banyak main, masih labil, mengikuti emosi dan ego yang seharusnya tidak aku ikuti. aku pergi dari rumah dengan membawa tabunganku. saat dimana anak seumuran ku seharusnya sekolah, ataupun belajar dirumah, tapi meskipun begitu aku pergi tetap membawa buku pelajaran. aku sangat tertekan dengan keadaan didikan hidup yang keras. aku pergi dari rumah karena emosi ku yang membuat adik perempuan menangis saat itu.
awalnya hanya tidak sengaja menjatuhkan gelas dan tidak buru-buru membersihkannya, adik ku yg kecil menginjak pecahan kaca, lalu aku dikurung didalam kamar, yang bisa aku lakukan adalah menangis. saat itu hari minggu. aku keluar melalui jendela, membawa tas, dan isi tabunganku.
aku pergi karena, seolah dirumah itu aku seperti pembantu, suruh ini - suruh itu. seperti tak ada rasa sayang terhadap aku. aku pergi dengan emosiku. aku pergi untuk menenangkan pikiran.
aku nekat dari kota pulang ke rumah abah di kampung, meskipun jauh aku tidak peduli,
dirumah abah, ada nenek dan juga mamang rudi. bibi dan mamang ku yang lainnya merantau bekerja di luar kota dan ada juga yang sudah berkeluarga, kecuali mamang rudi yang tidak bekerja, hanya membantu kakek di kebun dan menjadi ustad, mengajari anak kampung mengaji belajar agama.
"mang, aku mau tidur di rumah abah. Aku lagi libur sekolah, tapi jangan kabari bapak ya mang, lagi ada masalah dirumah euy" terpaksa aku berbohong
rasa malas begitu kuat dipikiran ku, kadang diajak mengaji ke mesjid sama mamang, tapi aku nolak, malah asik bermain sendirian dibelakang rumah
"dek hayu ka masjid, sakedap deui ashar"ucap mamang ku saat aku asik sepedahan
bahkan saat dirumah meski berdekatan dengan masjid, aku jarang shalat berjamaan ke mesjid, dan lagi dirumah pun jarang ibadah. tapi aku mengaku islam, shalat pas ingetnya doang.
di kampung memang sih banyak anak seumuran ku juga, mereka lebih suka bermain mobilan dengan mainan yang dibuat sendiri dari kulit jeruk bali
aku lebih banyak bermain sendiri, melihat anak seumuran ku main jadi mulai sedikit tertarik untuk membuat mainan sendiri, bermula pagi-pagi abah ke kebon, aku ikut. dan ternyata membuat mainan sendiri lebih menyenangkan dibanding dibelikan. mulai hari itu aku jadi sering ke kebon abah
semakin lama tinggal di kampung semakin aku tersadar bahwa mengikuti ego bukanlah jalan yang lurus, melainkan jalan yang buntu. saat aku mendengar ceramahan mang Rudi di masjid saat hari jumat.
"ketika orangtua menasehati tapi tidak didengarkan oleh kuping si anak, jangan dimarahi ataupun di bentak!! , kita sebagai orang tua adalah banyak mengajaknya beribadah, mengaji, agar hati anak menjadi luluh dan menerima masukan dari orang tua dan jangan memaksanya, ajak dengan perlahan"
sedikit-sedikit hati ku mulai terbuka, aku merasa bersalah karena pergi dari rumah, ketika dapat masalah yang seharusnya aku meminta maaf, bukan pergi begitu saja.
jam 2 siang, yang biasanya langsung pergi bermain sama anak anak seumuranku, namun aku lebih duduk di kursi panjang di bale (kursi panjang dari bambu) menikmati hidangan yang dibuatkan nenek, makan bersama sambil mengobrol ringan.
saat selesai makan, aku masih duduk di bale panjang, ditemani mamang rudi dengan 2 cangkir teh panas
"deka, mamang tau kamu lagi ada masalah dan kabur dari rumah, bukan begitu??"
"iya mang, deka kabur karna kesel dirumah disuruh ini-itu, sampe pengen main aja gak bisa"
"coba kamu pikir ka, saat abah di kebun, pasti kamu sering disuruh ini itu kan sama abah??"
"iya mang, sering, kadang suka pengen bantu bawain roda nya abah"
kamu mau? dan gak nolak??
nggak mang, justru aku mau, karna kasian, gak enak liat abah udah tua, tapi masih mau bawa parang, roda, pacul sama buah sayur dan buah yang diambil di kebun
"coba kamu bayangin, orangtua kamu pun sama seperti abah, sudah tua. nggak bisa mengambilkan beberapa alat yang berat, dan meminta kau mengambilkannya, karena ingin menyelesaikan masalah dan sudah menjadi tulang punggung keluarga, yang artinya masalah orang tua marah ke kamu karna kamu terlalu banyak main, tapi ketika disuruh kamu malas-malasan. dan keinginan kamu yang selalu orangtua kasih, contohnya keinginan beliin mainan bahkan sepeda."
"kenapa bapak kamu itu orangnya keras, karna dulu beliau gak pernah minta ataupun merengek belikan ini itu ke abah, melainkan dengan bekerja dan mendapatkan dari hasil kerja keras sendiri"
"Dan kenapa bapak gak khawatir nyariin kamu? karna mamang udah ngabarin ke beliau, dan minta ke bapak biar kamu disini belajar apa itu hidup yang sebenarnya. dan belajar langsung dari prakteknya"
"deka, hidup adalah sebuah perjalanan, selalu ada alasan dari setiap peristiwa, meski terkadang tak pernah mengerti alasannya, tapi ia selalu memberikan pelajaran, ada orang yang menerima pelajran hidup yang keras, lalu segera belajar dan menjadi orang yang lebih baik. dan Allah sebaik-baiknya perencana, maka yakinilah bahwa apapun itu selalu ada hikmah di balik rencana-Nya"
"iya mang, hatur nuhun"
"deka, mulai sekarang ikut mamang ya ke mesjid, nanti mamang ajarin mengaji sama bacaan solat, supaya pas kamu dirumah bisa lebih tenang dan sabar ngadepin emosi kamu "
rasanya sudah sebulan aku diam disini, beberapa hari udah memasuki bulan ramadhan, dimana aku mulai rindu rumah, sepertinya ibu juga khawatir.
"Dan aku sadar, ternyata aku salah, justru itu adalah cara orangtua memperlakukan anaknya untuk belajar menjadi dewasa, karena hidup setelah muda itu keras" batinku
hari itu sudah menginjak hari ke 21 hari, aku bolos sekolah, kabur dari rumah, dan sudah pertengahan bulan puasa. disini aku jadi ingat pelajaran-pelajaran sekolah yang aku tinggalkan. aku mulai suka baca-baca buku pelajaran yang sempat aku bawa ketika kabur dari rumah.
kegiatan yang biasanya hanya makan, tidur, main dan main. lalu perlahan aku merubahnya. pagi ke kebun sama abah, siang ikut berjamaah ke mesjid sore ikut pengajian sama mamang. sedikit demi sedikit ketika ada masalah, aku lebih bisa mengendalikan emosiku dibanding dulu
Alhamdulillah.
katika mau mendekati hari lebaran H-7, dan sehabis pulang mengaji sama mamang masih mengenakan sarung dan kopiah, aku melihat mobil bapak didepan rumah abah. saat itu abah melihatku dari jauh dan tersenyum.
aku mencium tangan abah, beserta bapak yang sedari tadi menunggu aku. aku mencium tangan ibu, dan seketika itu ibu memelukku
"maafin ibu ya nak"
"
iya bu, gppa. aku juga minta maaf udah kabur dari rumah, bu aku punya permintaan, bolehkah aku disini sampai lebaran"
"udah bapak siapin kok dek, gaboleh nangis ntar batal puasanya. bapak sama ibu juga bakal lebaran disini kok "
"terimakasih pak, ibu, abah, mamang"
Sebuah senyuman ramah yang tulus mengembang menghiasi wajah beliau..
Cerita Fiksi dari Pemuda Hijrah;
Lari dari suatu masalah bukanlah pilihan yang tepat, mengikuti ego dan emosi adalah jalan buntu, nekat kabur dari rumah adalah pikiran kritis ketika aku stress karena merasa terbebani tekanan yang aku rasakan setiap hari, jadi aku pilih kabur karena lebih merasa tenang jika berada dikampung, orang-orangnya, sifat aslinya, budayanya, dan selebihnya.