Terlihat menyiratkan hidup yang lemah, hidup yang selalu dibuat penuh dengan motivasi, tapi kali ini setiap jengkal realitas hidup akan kalian baca, dualitas yang masih dirasakan raga, baik buruk, suka duka dan banyak lainnya.

Realitas gambaran pikiran dari sorot mata seorang 'lelaki' yang selalu nyaman menutupi dirinya dengan hal yang dilakukan manusia normal sehingga dari segi fisik tampak tidak memperlihatkan satu kekurangan apapun.

"Mengejar martabat keinginan dengan dalih cita-cita itu sulit, bahkan Tuhan pun sudah terlalu bosan mendengar harapan palsu dari mahkluk ciptaannya yang bahkan di belakangNya sering menuduhNya dengan hal yang tidak masuk akal, tapi beliau maha kasih, atau aku yang belum terlalu mengerti Tuhan itu seperti apa?"
keluh pikirannya yang sudah beranjak dari tidur, atau bahkan tidak pernah tertidur.

"Apa yang akan terjadi esok? tunggu, beberapa jam lagi"

dalam lamunannya dia selalu bertanya tanpa mendapatkan sedikitpun jawaban, bukankah semua pertanyaan dalam hidup ini sudah disiapkan satu bahkan lebih jawaban yang pasti? Selalu berharap mendapatkan pencerahan bagi pikirannya yang selalu gundah dan diliputi kecemasan serta ketakutan yang mungkin orang lain menganggap hal ini sangat berlebihan, terkadang jika sedikit pada kondisi yang menguntungkan dia bisa mendapatkan jawaban, tetapi jawaban agar tidak mempertanyakan hal seperti itu dan disarankan untuk mencari hal lain agar menjadi lebih produktif untuk dikerjakan, dan pertanyaan lainpun muncul, "bukankah hal yang aku takutkan ini pasti terjadi pada kita semua? bahkan layaknya seperti tahanan di dalam penjara yang menunggu waktu, cara dan situasi yang berbeda untuk eksekusi dan siklus ini berlangsung berulang-ulang, jika ini diibaratkan ujian sekolah tentu terlalu sulit, kenapa? Karena kita tidak menyadari di buku yang mana materi untuk jawaban ujian ini tertulis dan di bagian mana kita harus melakukan perbaikan".

"Apakah hidup memang hanya untuk bekerja, beraktivitas, bertumbuh dewasa, menikah dan menikmati segala kepalsuan di dunia untuk melupakan hal yang memang akan terjadi, tanpa kita sadar dan terdorong untuk mempelajari pola dan hakekat prosesnya seperti apa? bukankah manusia diberikan pikiran akal budi untuk berusaha memahami hal ini?".

Sungguh sulit menemukan teman yang tepat sesuai dengan pola pikir, karakter dan juga pemahaman yang sama untuk Dayu terkecuali bayangannya pikirannya sendiri yang bahkan terkadang ia takuti. Orang lain cenderung menyerah dan acuh terhadap hal-hal seperti ini karena sama sekali tidak terlihat bermanfaat secara materiil, hanya menambah beban pikiran semata.

"Apakah memang tidak ada jawaban untuk hal ini?" tanya Dayu lagi dalam hati sembari mengerutkan dahi.

Hari demi hari berganti, dilaluinya dengan mengikuti instruksi formal kehidupan dengan segala formalitas yang dicari atasnama uang dan kebutuhan di umurnya yang sudah memasuki seperempat abad, terasa begitu membosankan dengan beragam rutinitas yang dibuat untuk menutup dan mengabaikan sementara banyaknya pertanyaan yang tetap tidak ia dapatkan jawabannya, tapi disisi lain dia tetap pada kebiasaan dan kegelisahannya yaitu bertanya, tanpa menemukan siapa sumber dan seperti apa jawaban dari segala kegelisahannya.

Mungkin, jika dilihat dengan sisi syukur, tuhan menganugerahinya kemampuan pikiran yang cukup besar untuk menampung pertanyaan-pertanyaan yang baru akan dimulai pada saat manusia lain sudah selesai dengan segala urusan duniawi dan hanya tinggal menikmati waktu yang memang sejatinya singkat sebelum beranjak ke perjalanan berikutnya, kata para orang tua.

Ini hanya sekelumit kisah pembuka tentang seorang anak lelaki yang terlahir prematur dan terjebak dalam lingkaran hidup dan mati yang tidak ia tahu bagaimana proses dan cara mengakhirinya, bahkan untuk membayangkan bagaimana nafas tersedak dalam perjalanan manusia menuju destinasi selanjutnya pun kadang dirasakan dengan nafas memburu dan penuh rasa ketakutan.

Semoga Tuhan berkenan mengajari Dayu cara berceloteh gembira dan berkelakar sebentar walau pada akhirnya hal itu akan berlalu.

Kondisi rumah persalinan yang tidak memungkinkan membuat orang tuanya harus cepat mengambil tindakan tegas untuk mendapat penanganan lebih lengkap di rumah sakit terdekat. Dengan penuh harapan mereka berangkat ke rumah sakit, singkat cerita konflik kembali mewarnai kisah ini, dimulai dari keterbatasan fasilitas rumah sakit yang tidak memiliki banyak inkubator bayi, akhirnya dengan rasa marah sang ayah karena inkubator di rumah sakit penuh dan tidak bisa menampung lebih banyak lagi, keputusan darurat pun diambil, inkubator hewan pun menjadi pilihan terakhir, inkubator darurat yang lebih sering kita lihat sekarang untuk menetaskan anak ayam.

Ya, begitulah kenyataannya, Dayu memang mengalami hal-hal yang terkesan lucu seperti ini sedari kecil, bahkan sebelum ia mampu menampung memori ingatan tentang setiap kejadian, terkecuali dikisahkan kembali seperti ini.

Hari-hari berjalan seperti biasa dan begitu cepat, karena seiring dengan kelahirannya, keadaan ekonomi orang tua Dayu perlahan mengalami perubahan drastis, Dayu bisa merasakan kemudahan dalam hal finansial, tidak seperti kebanyakan balita di lingkungan desanya. Dayu terlahir di sebuah desa tua kecil yang damai dan indah, penuh dengan adat istiadat serta budaya tua yang masih kokoh bertahan diambang gerusan jaman dan teknologi.

Dayu tumbuh menjadi anak yang penurut, mungkin belum ada yang bisa membedakan lebih rinci, mana yang menurut karena tekanan atau didikan dan karena karakter bawaan, ini terlalu merinci.

Di masa sekolah, Dayu memang lebih menonjol dibanding anak lainnya, tanpa menghabiskan banyak waktu dari guru dan orang tua untuk belajar membaca dan berbicara, ia melakukan semua itu dengan lebih mudah dan ia merasa banyak anak lain mengalami hal yang sama, padahal tidak semua, hal ini dianggap biasa tanpa apresiasi dan syukur di umurnya yang masih belia.

Dayu tidak pernah merasakan hal-hal diluar kemampuan panca indera seperti yang sering dikaitkan dengan anak yang melewati kelahiran dengan status prematur, hanya saja dia memang sangat tertarik akan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan Tuhan dengan segala bentuk dan rupa manifestasinya, hal yang memang tidak bisa dijelaskan dengan mudah untuk logika anak yang berumur 5 tahun.

Semenjak kecil, banyak hal yang tidak sepantasnya dilihat dan ia lewati, dengan tanpa sadar akan sisi baik buruk yang akan membentuk sebagian besar perangainya di kemudian hari.

Dayu tumbuh menjadi laki-laki yang santun dan empati yang lebih menojol dibandingkan sifat lainnya. Tanda garis lurus jaringan ikat di tangan kanan adalah tanda khusus yang diberikan oleh kehidupan berupa kombinasi fraktura dan dislokasi yang terjadi di tempat yang sama dalam kurun waktu yang berbeda, luka kecil di kepala belakang pun menjadi terlihat besar karena terjadu dua kali dan di tempat yang sama juga.

Logikanya bertumbuh kuat, kurang seimbang dengan halus perasaannya yang terpendam tertutup, dimaklumi karena dia laki-laki yang tumbuh di lautan ego orang desa yang sangat sedikit keinginan untuk memahami serta mengerti kondisi karakter warga desa lebih jauh, terbentuklah karakternya yang lebih banyak mengerti segala hal yang bisa dijelaskan dengan logika terlebih dahulu dibanding perasaan, ini seperti teka teki awalnya.

Tidak ada hal yang mencolok dan menarik baik di awal kisah sampai pada titik ini, karena cerita ini tidak bertujuan untuk menarik minat pembaca, tulisan ini hanya tumpahan kisah gundah dari seorang anak manusia yang rindu akan pengetahuan yang sulit dicari dan dipahami pada kehidupannya.

Seperti biasa, kembali pikiran Dayu berkecamuk.

Barulah terpikir flashback ke masa lalu dimana Dayu masih sangat tidak stabil yang tidak terkendala beban pikiran berupa konsekuensi perjalanan hidup seperti pekerjaan, pernikahan, anak, apalagi tentang Tuhan.

Dalam benak sempit dan sederhana hanya terlintas "if you're doing a good thing then you will get good thing too" sudah terasa cukup jauh bagi sebuah pemikiran anak muda di kala itu atau mungkin masih sangat jarang di masa hidup yang seperti sekarang ini.

Hari-hari Dayu di masa sekolah menengah atas bisa dikategorikan cukup bahagia, tidak pernah menunggak pembayaran, tidak pernah kekurangan finansial untuk menopang pendidika sekalipun harus berhutang.

Tetapi kesederhanaan yang membuat semua hal tadi menjadi lebih mudah, makan yang sehat seadanya tanpa banyak gaya, kendaraan yang memang terbeli untuk menunjang pendidikan dan bahkan untuk urusan asmara dan lawan jenis pun Dayu cukup bahagia, sekalipun siklus putus nyambung anak muda terjadi berulang kali tapi kebahagiaan masih menjadi pemenang, Dayu tergolong siswa yang tidak kontroversial, hanya tidak tertarik kepada pelajaran yang berbasis hitungan, seperti kebanyakan anak tanggung lainnya, sekalipun tidak semua.

Dia menutupi kekurangannya akan hal itu dengan menguasai beberapa ketrampilan non akademis agar lebih leluasa meninggalkan jam pelajaran di kelas terkecuali sejarah dan agama, karena baginya itu menarik dan tidak membosankan tentunya. Di beberapa momen kesempatan, sempat kesadaran membawanya pada ketakutan, saat salah satu pengajar favoritnya seringkali tidak hadir di kelas dan didiagnosa menderita sebuah penyakit yang masuk dalam kategori penyakit berbahaya yang bersinggungan langsung dengan kematian, Dayu mulai mempercayakan pemikirannya pada logika tunggal tanpa melibatkan sudut pandang orang lain, ia berpikir bahwa penyakit pasti memiliki penyebab, tapi apa? Kenapa menyerang orang yang terlihat sehat? Gaya hidupnya pun baik dan tidak kurang berolahraga, bagaimana dengan orang yang secara gamblang mengorbankan kesehatannya demi alkohol, rokok dan hal lainnya yang dikonsumsi dengan cara berlebih dan menjadi racun dalam tubuh? Dayu menyadari tiada hal yang perlu dipertanyakan kecuali tempat untuk mendapatkan pengobatan, hanya saja pikirannya tidak mudah ditaklukan seperti anak muda lainnya, akhirnya Psikiater menjadi pilihan jalan yang ia coba untuk mencari dan mendapatkan pandangan lain dari orang yang lebih terbukti kemampuannya, dan selama 6 bulan pengobatan dilakukan, entah karena konsentrasi terpecah ke sekolah, akhirnya pikiran Dayu normal kembali, sekalipun pada akhirnya nanti ini hanya jeda.

Dunia pelarian yang ia yakini bukan pilihan murni, karena memang tidak ada yang membantunya dalam mengenali lebih jauh minat dan bakat dari seorang siswa yang kebingungan seperti dirinya, ya mungkin sekolah profit dan formal semata pikirnya. Begitu halus pergeseran maknanya, tanpa banyak yang menyadari, dari sebuah lembaga pendidikan yang menjadikan profit nomor sekian dan tetap memberikan kesempatan yang sama rata bagi setiap orang menjadi ajang kompetisi promosi yang tujuan akhirnya adalah profit atau keuntungan orang dalam, untuk kita? Hanya selembar kertas tebal, yang jika dikalkulasi secara logika tidak sebanding dengan jumlah kertas yang kita tukar, mereka menyebutnya skripsi.
Dan sudahi mengurus ini, karena masih banyak pendidik tanpa tanda jasa, mungkin mereka sengaja tidak terlihat menonjol. Di satu momen membahagiakan bagi mayoritas penghuni kampus, pada saat mahasiswa lain sibuk memperhitungkan tentang penampilan, sajian dan hal membahagiakan lainnya yang akan mereka persiapkan untuk keluarga mereka di dalam mimbar sembari membayangkan mengenakan jubah kebesaran khas kebanggaan setiap almamater, tapi tidak begitu dengan Dayu yang merasakan ketidakpuasan, kebingungan dan keresahan yang luar biasa, tiba-tiba setelah membaca sebuah artikel kisah hidup seseorang yang berjuang menyambung nafas dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya, ia merasakan hal yang mirip dengan kisah yang ia baca, pada saat itu ia sudah menyadari bahwa kecemasan berlebih akan menunjukkan gejala seperti itu, tapi ketakutan yang begitu besar meniadakan usahanya untuk melawan, dan ia menyerah, ia hanyut pada ketakutan yang berkembang menguasai pikiran dan jiwanya, ia hanya berpikir "Bagaimana jika aku di posisi itu sekarang?".
Hal itu membuyarkan segalanya, fokus dan perhatiannya sudah tidak lagi ada dititik perayaan itu, dia sudah terbang mengikuti irama bayangan ketakutannya, tidak ada yang bisa masuk mengambil perhatian dan waktunya lagi, setelah momen wisudapun ia tak lagi sama, banyak yang mengatakan ia kurus dan pucat pasi, sungguh merupakan akhir yang tragis jika itu memang terealisasi sesuai dengan bayangan pikirannya, "I will be there, somewhere, but i dont know how to move".

Hal ini pula yang menjadi pemicu kenapa ia kembali menjadi seorang pembaca, yang sempat hilang karena ia tidak senang melihat manusia memanfaatkan kertas dengan tidak bijak. Mulailah dia membaca buku mengenai gangguan kecemasan, apa pemicunya, hubungan kesehatan perut dengan gangguan kecemasan dll.
Yang pada akhirnya ia menemukan salah satu buku bacaan yang menerangkan masalah ini dengan bahasa yang nyata dan sederhana tidak mendeskripsikan sesuatu dengan berpanjang lebar serta karena penulis tidak mengalami atau menjadi praktisi langsung. Keadaan Dayu tidak serta merta kembali seperti semula setelah mengetahui hal baru dari buku bacaannya, ia hampir merasa putus asa, terlebih ia mengalami kesulitan untuk mendeskripsikan apa yang menjadi masalahnya dalam uraian cerita, ini adalah salah satu alasan dari kisah ini. Dayu terus mengikuti rasa penasarannya, "Kenapa aku bisa berpikir dan bertanya sejauh ini? Dayu! Lihat orang lain di sekelilingmu. Mereka sama denganmu, mereka akan menuju tempat yang sama denganmu nanti" sanggahan dan pertanyaan silih berganti menjejali pikirannya, namun ia masih bisa melakukan sesuatu seperti yang teman-temannya lakukan tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.
Dayu memiliki latar belakang keluarga yang cukup kuat dalam bidang spiritual, dan banyak yang mengatakan dayu mirip dengan mendiang kakeknya yang diceritakan memiliki kesaktian yang luar biasa pada jamannya dulu.
Tapi itu tidak sama sekali masuk dan menjadi fokus perhatian dayu, bukan kesaktian dan hal-hal mistis yang ia butuhkan melainkan seseorang yang memang bisa membaca dan mengerti apa yang terjadi pada pikirannya.
Psikiater, hypnotherapist, dan yang lainnya sudah sering ia temui, mayoritas mereka mengatakan hal yang sama, Dayu bukan pemuda dengan usia pemikiran dan jiwa yang selaras, ada banyak pencapaiannya dalam kehidupan yang lalu, kalimat seperti ini yang mayoritas Dayu dapatkan dari mereka yang menekuni spiritual tanpa bisa memberikan bius penenang pada pikiran Dayu agar bisa sejenak beristirahat, dan sampailah Dayu pada seseorang yang menganjurkannya untuk mengikuti kelas meditasi dengan salah seorang professor yang cukup terkenal di Bali.

"Meditasi? Apalagi ini? Duduk diam dan memfokuskan diri pada apa yang ada di dalam tubuh? What the..."

Penolakan yang kuat kembali terjadi, bukan hal yang pertama kali Dayu melontarkan hal seperti ini, karena sebelumnya bahkan sedari kecil Dayu sudah diperkenalkan dengan hal-hal semacam ini, tapi sebatas kenal, tidak menjalani lebih jauh..

Akhirnya dengan perasaan setengah hati Dayu mau mengikuti saran tersebut, pada saat pertama kali Dayu mengikuti kelas meditasi, ia menyadari bahwa profesor yang duduk di depannya dan menjadi instruktur bukanlah seseorang yang baru pertama kali ia temui, ini sudah yang kedua kali pikirnya dan ia baru ingat bahwa ada salah satu buku tebal di laci kamarnya yang sudah lama menjadi penghuni tanpa pernah sekalipun dibaca, disana terpampang nama profesor tersebut sebagai penulis, dan hal inilah yang menjadi awal mula perubahan karakter dari seorang yang anti untuk membeli buku karena lebih memilih paperless menjadi seorang yang sangat mencintai buku dan perpustakaan.
Dari kisah profesor, Dayu bisa merasakan bahwa hidup adalah kesempatan terbaik untuk menunjukan sikap dan pilihan, sadar akan kesempatan yang diberikan untuk menentukan pilihan yang akan diambil dalam hidup dengan bebas, yang mengikat hanya hukum aksi reaksi, tabur tuai dan yang lainnya.