

TS
santoh
What if God was one of us?
MICHAEL
What if God was one of us?
Seorang anak berumur 5 tahun datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "I love you too."
Di saat anak itu berumur 16 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Berapa banyak uang yang kamu perlukan?"
Saat anak itu berumur 25 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Siapa gadis itu? Dimana dia tinggal? Kapan kamu akan melamarnya?"
Saat anak itu berumur 40 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Sudah aku bilang kan, jangan menikah dengan dia."
Itulah cuplikan video oleh Gaur Gopal Das yang di-share Karina @Karina Yang Shanti di FB nya tadi pagi. Sebenarnya video itu bercerita tentang "satu huruf yang paling egois", yaitu "I". Katanya, manusia modern saat ini selalu memulai apa saja dari "sudut pandang" diri sendiri. Aku, milikku, caraku, perasaanku, kesenanganku, keinginanku. Tapi bukankah itu yang selalu "diajarkan" selama ini? Semuanya mulai dari diri sendiri kan? Tiba-tiba saya teringat sebuah cerita lama dari sekitar 9 tahun yang lalu, tentang "unconditional love" sebatang pohon.
Sebuah pohon berdiri kekar di tanah berumput hijau. Pohon itu berteman dan mencintai seorang anak lelaki. Tiap hari pohon itu menunggu si anak datang bermain-main, memanjat batangnya dan berayun-ayun di dahannya. Daun-daunnya dibuat menjadi topi mahkota oleh si anak. Setiap hari selalu ada permainan yang seru. Dan setelah lelah bermain, si anak pun akan tertidur lelap di bawah teduhnya sang pohon. Dan sang pohon pun berbahagia.
Si anak bertambah usianya dan jatuh cinta pada seorang gadis, maka sudah jarang baginya untuk mengunjungi sang pohon. Ketika suatu hari si anak datang mengunjungi, betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, berayun-ayunlah di dahan-dahanku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku sudah terlalu besar untuk bermain-main seperti itu. Dan lagi, banyak yang aku inginkan saat ini, tapi semuanya memerlukan uang, yang aku tak punya. Apakah kau bisa membantuku?". Sang pohon berkata, "Aku tidak punya uang nak, tetapi kau bisa mengambil seluruh buah-buah yang ada di pohonku, juallah buah itu dan kau bisa mendapatkan uangmu."
Maka demikianlah si anak mengambil seluruh buah-buah yang ada di pohon itu, menjualnya ke pasar dan mendapatkan uang untuk membeli apa yang dia inginkan. Dan sang pohon pun berbahagia.
Lama berselang ketika si anak kembali lagi mengunjungi sang pohon. Betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, berayun-ayunlah di dahan-dahanku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku terlalu sibuk untuk bisa bermain-main sekarang. Aku akan memiliki istri dan anak-anak, maka aku memerlukan rumah untuk tempat tinggal. Apakah kau bisa memberikan aku sebuah rumah?" Sang pohon berkata, "Aku tidak bisa memberikanmu rumah nak, tetapi potonglah dahan-dahanku, dan buatlah sebuah rumah darinya."
Maka demikianlah si anak memotong seluruh dahan sang pohon, mengambil kayu-kayunya dan darinya dibangun sebuah rumah untuknya dan keluarga berteduh. Dan sang pohon pun berbahagia.
Kembali waktu berlalu, dan si anak akhirnya mengunjungi sang pohon juga. Betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku sudah tua untuk bermain-main seperti itu. Saat ini aku hanya ingin dapat bepergian mengelilingi dunia, ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Apakah kau bisa memberikan aku sebuah kapal?" Sang pohon berkata, "Aku tidak punya kapal nak. Tetapi potonglah batangku ini, dan buatlah sebuah perahu daripadanya, yang bisa membawamu ke mana saja."
Maka demikianlah si anak memotong pokok batang sang pohon, mengambilnya untuk dibuat mejadi sebuah perahu. Yang tertinggal dari sang pohon itu saat ini hanyalah seonggok sisa batang, sedikit di atas permukaan tanah. Dan sang pohon pun berbahagia.
Bertahun-tahun berselang, si anak pun kembali pada sang pohon. Dengan langkah-langkah yang sudah lemah dan perlahan, si anak mendekati sang pohon. Sang pohon pun berkata, "Maafkan aku nak, aku sudah tidak punya apa-apa. Aku sudah tidak bisa memberikanmu buah-buahan untuk dimakan. Tidak ada lagi dahan-dahan untukmu berayun-ayun. Dan tidak ada lagi batang pohon untuk kau panjat." Si anak menjawab, "Aku sudah terlalu tua untuk segalanya ini. Aku pun sudah tidak punya gigi untuk memakan buah apapun. Aku sudah terlalu tua untuk berayun-ayun di dahan. Dan aku sudah terlalu lemah untuk bisa memanjat. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah tempat untuk duduk dan beristirahat. Aku sudah terlalu letih."
Seketika sang pohon berkata dengan riang, "Kalau begitu, mendekatlah dan duduklah di sisa batang dan akarku ini. Ini tempat yang cocok untuk beristirahat." Maka duduklah si anak di onggokan pohon yang tersisa, sambil mengenang segalanya, dan mencoba melepas segalanya. Dan sang pohon pun berbahagia.
Tentu cerita ini tidak mengatakan bahwa seharusnya si anak tidak pergi meninggalkan pohon, dan harus bersama-sama sang pohon sampai tua. Tentu tidak begitu, karena siklus ini adalah hal yang wajar pada semua manusia, bahkan pada semua makhluk. Cerita ini akan berakhir dengan keduanya bahagia, bila si anak yang sudah renta tersebut pulang dengan "melepas" segala kemelekatan dan ekspektasi yang masih ada. Pada saat itu sang pohon dan si anak bisa sama-sama bersyukur atas segala masa yang telah dilalui, dan mereka bisa "duduk di sofa yang sama" sambil melihat tontonan di layar TV yang memutar kembali "kisah-kisah lama" mereka. Itulah keindahan dan kebahagiaan yang terutama.
Tanpa sadar kita terlalu banyak melihat dunia dari kacamata diri sendiri. Dan seperti yang dikatakan Gopal Das dalam video di atas, ego memunculkan ekspektasi. Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu Ajahn Brahm di acaranya yang berjudul "Let Go Ego", yang masih sangat relevan sepanjang masa. Hanya ini "obatnya" agar kita bisa terlepas dari segala ekspektasi itu.
Pernah saya baca sebuah studi yang menemukan bahwa terjadi peningkatan ego oada orang-orang yang teratur melakukan meditasi. Lho kok bisa? Bukankah kehidupan spiritual seharusnya menjauhkan kita dari ego dan kemelekatan? Mungkin ini terjadi karena manusia sering terjebak dengan "my way", yang tidak berhenti di diri sendiri, tapi selalu ingin kita proyeksikan ke orang lain.
Tadi pagi ada sebuah "meme" di FB, dengan teks seperti ini,
A: "My religion said I can't do that."
B: "Okay."
A: "My religion said you can't do that."
B: "F*ck off!!"
Gopal Das berkata, mengapa kita selalu meminta hal ini dan hal itu kepada tuhan. Mengapa kita tidak memberikan sesuatu kepada tuhan. Apakah kau yakin kau begitu tidak berdayanya sehingga tidak bisa "memberikan" sesuatu kepada tuhanmu?
What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Trying to make his way home?
Apa yang akan kau lakukan pada saat kau "tahu" bahwa tuhan sedang menjelma menjadi salah satu orang yang kau jumpai di keramaian? Akankah seperti seorang artis tenar yang berjalan di tempat ramai? Diserbu untuk didekati, diminta tanda tangan, atau yang populer sekarang, diajak selfie? Bila terhadap seorang artis kau bisa berbuat seperti itu, mengapa terhadap tuhan kau tidak bisa begitu pula?
Apakah tuhan tidak mungkin hadir di tempat keramaian? Tidak mungkin kau temui diantara manusia-manusia? Jadi tuhan ada di mana? Bolehkah tuhan muncul sebagai pengemis di pinggir jalan? Sebagai orang buta penjual kerupuk di perempatan? Ibu tua yang menjual kue dan buah di atas tikar lusuh? Kapan kita berhenti berekspektasi?
If you were faced with Him in all His glory
What would you ask if you had just one question?
Aku menerima hadiah dari semesta. Apapun yang diberikan semesta padaku, itulah yang terbaik. Aku menerima hadiah itu tanpa syarat apapun, dan karenanya aku tidak pernah menolak apapun. Dan hadiah itu bukan milikku. Aku meneruskan hadiah itu kepada orang lain. Karena dengan memberi, aku menerima lebih banyak. Semesta tidak terbatas. Saat aku memberi tanpa batas, aku menerima tanpa batas.
Terjadilah padaku menurut kehendakmu.
What if God was one of us?
Seorang anak berumur 5 tahun datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "I love you too."
Di saat anak itu berumur 16 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Berapa banyak uang yang kamu perlukan?"
Saat anak itu berumur 25 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Siapa gadis itu? Dimana dia tinggal? Kapan kamu akan melamarnya?"
Saat anak itu berumur 40 tahun, dia datang pada ibunya dan berkata, "I love you mom." Dan ibunya menjawab, "Sudah aku bilang kan, jangan menikah dengan dia."
Itulah cuplikan video oleh Gaur Gopal Das yang di-share Karina @Karina Yang Shanti di FB nya tadi pagi. Sebenarnya video itu bercerita tentang "satu huruf yang paling egois", yaitu "I". Katanya, manusia modern saat ini selalu memulai apa saja dari "sudut pandang" diri sendiri. Aku, milikku, caraku, perasaanku, kesenanganku, keinginanku. Tapi bukankah itu yang selalu "diajarkan" selama ini? Semuanya mulai dari diri sendiri kan? Tiba-tiba saya teringat sebuah cerita lama dari sekitar 9 tahun yang lalu, tentang "unconditional love" sebatang pohon.
Sebuah pohon berdiri kekar di tanah berumput hijau. Pohon itu berteman dan mencintai seorang anak lelaki. Tiap hari pohon itu menunggu si anak datang bermain-main, memanjat batangnya dan berayun-ayun di dahannya. Daun-daunnya dibuat menjadi topi mahkota oleh si anak. Setiap hari selalu ada permainan yang seru. Dan setelah lelah bermain, si anak pun akan tertidur lelap di bawah teduhnya sang pohon. Dan sang pohon pun berbahagia.
Si anak bertambah usianya dan jatuh cinta pada seorang gadis, maka sudah jarang baginya untuk mengunjungi sang pohon. Ketika suatu hari si anak datang mengunjungi, betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, berayun-ayunlah di dahan-dahanku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku sudah terlalu besar untuk bermain-main seperti itu. Dan lagi, banyak yang aku inginkan saat ini, tapi semuanya memerlukan uang, yang aku tak punya. Apakah kau bisa membantuku?". Sang pohon berkata, "Aku tidak punya uang nak, tetapi kau bisa mengambil seluruh buah-buah yang ada di pohonku, juallah buah itu dan kau bisa mendapatkan uangmu."
Maka demikianlah si anak mengambil seluruh buah-buah yang ada di pohon itu, menjualnya ke pasar dan mendapatkan uang untuk membeli apa yang dia inginkan. Dan sang pohon pun berbahagia.
Lama berselang ketika si anak kembali lagi mengunjungi sang pohon. Betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, berayun-ayunlah di dahan-dahanku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku terlalu sibuk untuk bisa bermain-main sekarang. Aku akan memiliki istri dan anak-anak, maka aku memerlukan rumah untuk tempat tinggal. Apakah kau bisa memberikan aku sebuah rumah?" Sang pohon berkata, "Aku tidak bisa memberikanmu rumah nak, tetapi potonglah dahan-dahanku, dan buatlah sebuah rumah darinya."
Maka demikianlah si anak memotong seluruh dahan sang pohon, mengambil kayu-kayunya dan darinya dibangun sebuah rumah untuknya dan keluarga berteduh. Dan sang pohon pun berbahagia.
Kembali waktu berlalu, dan si anak akhirnya mengunjungi sang pohon juga. Betapa bahagianya sang pohon, dan berkata, "Ayo nak, panjatlah aku, ayo kita bermain." Tapi si anak berkata, "Aku sudah tua untuk bermain-main seperti itu. Saat ini aku hanya ingin dapat bepergian mengelilingi dunia, ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Apakah kau bisa memberikan aku sebuah kapal?" Sang pohon berkata, "Aku tidak punya kapal nak. Tetapi potonglah batangku ini, dan buatlah sebuah perahu daripadanya, yang bisa membawamu ke mana saja."
Maka demikianlah si anak memotong pokok batang sang pohon, mengambilnya untuk dibuat mejadi sebuah perahu. Yang tertinggal dari sang pohon itu saat ini hanyalah seonggok sisa batang, sedikit di atas permukaan tanah. Dan sang pohon pun berbahagia.
Bertahun-tahun berselang, si anak pun kembali pada sang pohon. Dengan langkah-langkah yang sudah lemah dan perlahan, si anak mendekati sang pohon. Sang pohon pun berkata, "Maafkan aku nak, aku sudah tidak punya apa-apa. Aku sudah tidak bisa memberikanmu buah-buahan untuk dimakan. Tidak ada lagi dahan-dahan untukmu berayun-ayun. Dan tidak ada lagi batang pohon untuk kau panjat." Si anak menjawab, "Aku sudah terlalu tua untuk segalanya ini. Aku pun sudah tidak punya gigi untuk memakan buah apapun. Aku sudah terlalu tua untuk berayun-ayun di dahan. Dan aku sudah terlalu lemah untuk bisa memanjat. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah tempat untuk duduk dan beristirahat. Aku sudah terlalu letih."
Seketika sang pohon berkata dengan riang, "Kalau begitu, mendekatlah dan duduklah di sisa batang dan akarku ini. Ini tempat yang cocok untuk beristirahat." Maka duduklah si anak di onggokan pohon yang tersisa, sambil mengenang segalanya, dan mencoba melepas segalanya. Dan sang pohon pun berbahagia.
Tentu cerita ini tidak mengatakan bahwa seharusnya si anak tidak pergi meninggalkan pohon, dan harus bersama-sama sang pohon sampai tua. Tentu tidak begitu, karena siklus ini adalah hal yang wajar pada semua manusia, bahkan pada semua makhluk. Cerita ini akan berakhir dengan keduanya bahagia, bila si anak yang sudah renta tersebut pulang dengan "melepas" segala kemelekatan dan ekspektasi yang masih ada. Pada saat itu sang pohon dan si anak bisa sama-sama bersyukur atas segala masa yang telah dilalui, dan mereka bisa "duduk di sofa yang sama" sambil melihat tontonan di layar TV yang memutar kembali "kisah-kisah lama" mereka. Itulah keindahan dan kebahagiaan yang terutama.
Tanpa sadar kita terlalu banyak melihat dunia dari kacamata diri sendiri. Dan seperti yang dikatakan Gopal Das dalam video di atas, ego memunculkan ekspektasi. Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu Ajahn Brahm di acaranya yang berjudul "Let Go Ego", yang masih sangat relevan sepanjang masa. Hanya ini "obatnya" agar kita bisa terlepas dari segala ekspektasi itu.
Pernah saya baca sebuah studi yang menemukan bahwa terjadi peningkatan ego oada orang-orang yang teratur melakukan meditasi. Lho kok bisa? Bukankah kehidupan spiritual seharusnya menjauhkan kita dari ego dan kemelekatan? Mungkin ini terjadi karena manusia sering terjebak dengan "my way", yang tidak berhenti di diri sendiri, tapi selalu ingin kita proyeksikan ke orang lain.
Tadi pagi ada sebuah "meme" di FB, dengan teks seperti ini,
A: "My religion said I can't do that."
B: "Okay."
A: "My religion said you can't do that."
B: "F*ck off!!"
Gopal Das berkata, mengapa kita selalu meminta hal ini dan hal itu kepada tuhan. Mengapa kita tidak memberikan sesuatu kepada tuhan. Apakah kau yakin kau begitu tidak berdayanya sehingga tidak bisa "memberikan" sesuatu kepada tuhanmu?
What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Trying to make his way home?
Apa yang akan kau lakukan pada saat kau "tahu" bahwa tuhan sedang menjelma menjadi salah satu orang yang kau jumpai di keramaian? Akankah seperti seorang artis tenar yang berjalan di tempat ramai? Diserbu untuk didekati, diminta tanda tangan, atau yang populer sekarang, diajak selfie? Bila terhadap seorang artis kau bisa berbuat seperti itu, mengapa terhadap tuhan kau tidak bisa begitu pula?
Apakah tuhan tidak mungkin hadir di tempat keramaian? Tidak mungkin kau temui diantara manusia-manusia? Jadi tuhan ada di mana? Bolehkah tuhan muncul sebagai pengemis di pinggir jalan? Sebagai orang buta penjual kerupuk di perempatan? Ibu tua yang menjual kue dan buah di atas tikar lusuh? Kapan kita berhenti berekspektasi?
If you were faced with Him in all His glory
What would you ask if you had just one question?
Aku menerima hadiah dari semesta. Apapun yang diberikan semesta padaku, itulah yang terbaik. Aku menerima hadiah itu tanpa syarat apapun, dan karenanya aku tidak pernah menolak apapun. Dan hadiah itu bukan milikku. Aku meneruskan hadiah itu kepada orang lain. Karena dengan memberi, aku menerima lebih banyak. Semesta tidak terbatas. Saat aku memberi tanpa batas, aku menerima tanpa batas.
Terjadilah padaku menurut kehendakmu.
0
261
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan