- Beranda
- Komunitas
- News
- SINDOnews.com
Rekor Defisit Neraca Perdagangan Genapi Kegagalan Pemerintahan Jokowi
TS
sindonews.com
Rekor Defisit Neraca Perdagangan Genapi Kegagalan Pemerintahan Jokowi

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data kinerja perdagangan Indonesia merosot drastis pada April 2019. Tidak tanggung-tanggung, neraca perdagangan pada bulan lalu dilaporkan mengalami defisit hingga USD2,5 miliar. Ini adalah rekor defisit bulanan terparah sejak tahun 1975. Menurut BPS, defisit tersebut disumbang oleh defisit sektor migas sebesar USD1,49 miliar serta defisit sektor nonmigas mencapai USD1 miliar.
Merujuk pada data historis, selama kurun waktu 1975 hingga 2018, neraca perdagangan kita sebenarnya hanya pernah mengalami defisit lima kali, yaitu pada 1975, 2012, 2013, 2014 dan 2018.
Dalam berbagai periode defisit tersebut, defisit tahunan pada 2018 adalah yang terbesar, yaitu mencapai USD8,5 miliar. Sehingga, jika April kemarin defisit bulanan kita mencapai USD2,5 miliar, itu artinya sudah sepertiga dari rekor defisit tahunan pada 2018 silam.
Baca Juga:
- Caketum HIPMI Ajib Hamdani Bertekad Ciptakan Jutaan Pengusaha Baru
- Kemenhub Minta Anggaran Rp500 Miliar untuk Perbaiki Terminal Bus
- Penuhi Kebutuhan Bisnis Anak Muda, Paramount Land Luncurkan Sorrento Square
Secara kumulatif, meski sempat surplus pada bulan Februari sebesar USD329,9 juta, dan surplus USD670,8 juta pada Maret lalu, namun karena pada Januari lalu kita juga mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar USD1,1 miliar. Maka sepanjang tahun ini defisit neraca perdagangan kita sudah mencapai angka USD2,6 miliar.
"Ada potensi, selama setahun 2019 ini akan terjadi rekor yang mematahkan rekor defisit tahun lalu. Menurut saya ini adalah berita buruk," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon di Jakarta, Sabtu (18/5/2019).
Dalam sebulan terakhir, Fadli mencatat setidaknya ada empat kabar buruk ekonomi yang muncul secara berturut-turut. Pertama, terus meningkatnya utang Pemerintah. Per 31 Desember 2018, posisi utang adalah Rp4.418,13 triliun. Pada akhir April 2019 kemarin, jumlahnya telah meningkat menjadi Rp4.528,45 triliun.
"Artinya, ada penambahan jumlah utang sebesar Rp110,32 triliun sejak Januari 2019 lalu, atau meningkat sebesar Rp347,84 triliun jika dihitung sejak April 2018, yang angkanya Rp4.180,61 triliun," ujarnya.
Kedua, pertumbuhan ekonomi 2019 berada di bawah perkiraan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Kita tahu, BI baru saja mengumumkan turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi di bawah 5,2%, dari sebelumnya diproyeksikan sekitar 5,4%.
Jika dibandingkan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 juga turun. Tahun lalu, kuartal pertama kita masih bisa tumbuh 5,18%. Sementara, kuartal pertama tahun ini pertumbuhan kita tercatat hanya 5,07%.
Ketiga, kurs rupiah yang mulai melemah. Nilai tukar rupiah pada pertengahan Mei 2019 tercatat melemah 1,45% secara point to point dibandingkan dengan level akhir April lalu. Atau melemah sekitar 1,36% secara rerata jika dibandingkan rerata bulan lalu.
Dan keempat, tentu saja adalah berita defisit neraca perdagangan yang memecahkan rekor sejarah tadi.
Meski secara nominal defisit neraca perdagangan terutama disumbang oleh sektor migas, namun secara kinerja defisit tersebut sebenarnya disumbang oleh anjloknya surplus sektor non-migas. Pada 2017, surplus non-migas masih menyumbang angka USD20,4 miliar. Tapi tahun 2018, angkanya anjlok tinggal USD3,8 miliar. Artinya, ada penurunan surplus sebesar USD16,6 miliar.
Di sisi lain, kenaikam defisit yang terjadi di sektor migas sebenarnya relatif kecil, hanya naik USD3,9 miliar. Jadi, melonjaknya defisit neraca perdagangan sepanjang bulan April kemarin sebenarnya disumbang oleh anjloknya kinerja sektor non-migas.
Fadli mencatat, pada 2018, ekspor non-migas tumbuh sebesar 6,2%, tapi impornya tumbuh sebesar 19,7%. Di sisi lain, meskipun impor migas pada 2018 tumbuh 22,6%, lebih besar tapi sektor non-migas, namun ekspor sektor migas lebih tinggi dari non-migas, yaitu mencapai 10,1%.
"Inilah yang menjelaskan kenapa surplus neraca perdagangan non-migas anjlok cukup tajam, sehingga defisit neraca perdagangan kita secara keseluruhan jadi mencatatkan rekor terburuk sepanjang sejarah. Jika tren ini terus berlanjut, saya kira defisit akan kian melebar," ujar Fadli yang juga Wakil Ketua DPR.
Menghadapi situasi tersebut, Fadli melihat pemerintah justru cenderung abai. Perhatian mereka bahkan melenceng ke mana-mana. Wacana pemindahan ibukota adalah contohnya. "Bagaimana bisa pemerintah berpikir akan memindahkan ibukota di tengah kondisi ekonomi yang tidak perform semacam itu?!"
Defisitnya neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi yang di bawah target, serta defisit APBN yang akan terus membesar, menunjukkan buruknya kinerja ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tingginya impor non-migas, yang sekitar 90% merupakan impor bahan baku dan barang modal, ternyata tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Artinya, impor tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Buktinya, sesudah lima tahun pertumbuhan ekonomi kita di bawah Jokowi terus stagnan di angka 5%.
Kegagalan Pemerintah mendongkrak perekonomian ini kian menggenapi kegagalan mereka dalam menjaga demokrasi dan kebebasan sipil. Kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free) menurut Freedom House.
Tak heran, peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya ada di posisi 48 pada 2016 menjadi 68 pada 2018 silam menurut data The Economist Intelligence (EIU).
Ditambah dengan kecurangan Pemilu 2019 yang demikian massif, adanya korban jiwa pesta demokrasi yang jumlahnya sudah lebih dari 600 orang, yang kini telah mendapatkan perhatian internasional, peringkat demokrasi Indonesia tahun ini mungkin akan makin memburuk. Sesudah 20 tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme.
Jadi, jika demokrasi gagal ditegakkan, hukum gagal diangkat, dan kini ekonomi juga kian amburadul, maka rezim ini memang pantas disebut rezim gagal.
Sumber : https://ekbis.sindonews.com/read/140...owi-1558191313
---
Kumpulan Berita Terkait :
-
Penuhi Pasar Domestik dan Ekspor, Kemenperin Tingkatkan Industri Kacamata-
Rekor Defisit Neraca Perdagangan Genapi Kegagalan Pemerintahan Jokowi-
Kejar Target Serasi, Kementan Mencari Lahan Rawa di Kalteng0
146
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan