tsuway.c001Avatar border
TS
tsuway.c001
Memory of Dryad

Memory of Dryad




Kakiku mengayun gontai menyusuri jalanan, langit sudah mulai pekat, aku baru saja pulang setelah bertanding futsal dengan tim dari sekolah manusia. Temaram lampu jalanan yang menuntunku mengenali rumah-rumah yang  terlewati. Aku berhenti sejenak, berjongkok dan merapikan sepatu yang talinya mulai tak beraturan.

Srek ... srek ....

Seperti mendengar rerumputan bergesekan dengan sesuatu, aku menengok ke belakang. Sepi. Tidak ada seorangpun. Aku kembali memperbaiki tali sepatu, lalu berdiri setelahnya . Tiba-tiba seperti ada yang menggerayangi bagian belakang tubuhku, aku membalikkan badan.

"Argh!" jeritku.

Sontak tubuhku jatuh terduduk karena meloncat kaget ke belakang melihat sosok berjubah hitam mengenakan topeng the scream. Kudengar kekehan dari balik jubah hitam itu. Seketika topeng itu tersibak menampakkan wajah asli si pemakai jubah hitam .

"Trick or treat," katanya sambil terkekeh.

"Shit! Jenny, hampir saja jantungku mau loncat," umpatku pada teman sepermainaku yang rumahnya hanya berbeda tiga blok denganku.

Aku lupa ini sudah tanggal tiga puluh Oktober. Minggu lalu Jenny memang mengajakku merayakan haloween bersama, tapi seingatku tanggal itu ada pertandingan futsal melawan sekolahnya, jadi aku menolaknya.

"Masa vampire takut sama beginian, yang benar saja, Liz?" Jenny kembali tertawa, kali ini agak keras.

Oh ya, namaku Elizabeth, tapi mereka lebih suka memanggilku Lizzie. Aku lahir sebagai dhampir dengan ibu seorang manusia dan ayah dari bangsa vampire. Jenny adalah sahabatku sejak ayah dan ibuku memutuskan pindah ke komplek ini.

"Main ke rumah yuk, Jen! Nginep kalo perlu ... lagi suntuk nih butuh ditemani," rayuku.

"Elah ... dasar vampire jomblo!" ledeknya.

"Bodo ah!" Aku pura-pura merajuk dan melangkah pergi.

"Iya deh ... iya, tapi ga nginep ya! Mama sendirian di rumah, papa lagi ke luar kota," jawabnya sambil mengikutiku dari belakang

Kami masuk ke rumah yang paling mewah dan luas di komplek ini, ayahku sendiri yang mendesainnya. Meskipun luas tapi rumahku minim perabot. Bangsa vampire memang terkenal menyukai rumah besar dan mewah.

"Kamu duluan ke kamar ya, Jen. Aku ambil minum dulu, 'kay!" kataku.

"Yang seger ... seger ya," Jenny lalu melanjutkan langkah ke kamar, sementara aku berjalan ke dapur.

Aku membuatkan minuman untuk Jenny, setelahnya kubuka lemari pembeku berharap  masih ada stok darah yang tersisa disana karena saat ini aku sangat lapar. Namun didalamnya tak terlihat satupun kantung darah tersisa.

"Shit! Masa tengah malam harus sembelih kelinci," umpatku.

Kami memiliki kandang dengan beberapa puluh ekor kelinci di halaman belakang rumah, ayah selalu menangkapnya dari hutan dan memeliharanya di rumah untuk diambil darahnya, dagingnya bisa untuk kami makan bersama ibu.

Dalam hitungan detik aku sudah berada di halaman belakang dengan seekor kelinci di tangan. Kubuka mulut dan memamerkan sepasang gigi tajamku. Ibu sebenarnya paling tidak suka jika aku dan ayah langsung menancapkan taring kami pada binatang lucu itu, ibu lebih suka menyembelihnya dahulu dan menampung darahnya ke dalam wajan. Lebih manusiawi katanya. Wajar, karena ibu bukan dari jenis kami. Bagi kaum vampire, kami tidak terlalu memperdulikan bagaimana cara kami makan, yang terpenting insting lapar kami terpenuhi.

Langsung kutancapkan taring di leher kelinci malang itu, satu ekor belum cukup, lalu kuraih seekor lagi.

"Liz ... eww ... disgusting!" Jenny memergokiku yang sedang menghisap darah kelinci.

Kuseka darah yang masih menempel di sekitar bibir.

"Ah ... maaf, Jen, kamu jadi harus melihat ini. Aku sangat lapar, stok darah di lemari pembeku sedang kosong, jadi terpaksa seperti ini," jelasku.

"Lalu ini ... apa?" tanyanya bingung sembari mengangkat gelas berisi cairan merah yang telah berkurang setengah isinya.

Tiba-tiba otak nakalku muncul, ingin sekali mengerjai Jenny.

"Hah ... jadi kamu sudah meminumnya? Bagaimana rasanya darah manusia? Manis bukan?" tanyaku sambil tertawa jahil.

"Yakz!" ungkapnya jijik.

Spontan Jenny langsung memasukan dua jarinya ke mulut dan mulai menyodok-nyodok rongga mulutnya, berharap minuman itu dapat dimuntahkan. Mirip seperti penderita bulimia dan anoreksia. Aku tertawa geli.

"Stop Jen, stop! Aku bahkan belum pernah merasakan darah manusia sejak lahir, itu hanya jus buah naga," kataku.

Menurut ayah darah manusia sangat nikmat dan menggairahkan tapi kami tetap tidak mengkonsumsinya demi menghormati ibu.

Jenny kesal. Dia berbalik badan dan berlalu. Sepertinya dia marah. Kulihat ayah berdiri di mulut pintu sambil berkacak pinggang.

"Jenny pulang, paman J!" Jenny berpamitan pada ayahku.

"Okay, Jen!"

"Jenny, aku minta maaf. Hanya bercanda, Jen! Jangan marah," Aku memohon pengampunan Jenny, tapi dia mengacuhkanku .

"Ck ... Lizzie, ibumu pasti akan marah jika melihatmu makan seperti ini," jelas sang ayah.

"Kapan ibu pulang, Dad?" tanyaku.

"Sudah dalam perjalanan, mungkin tengah malam nanti dia sampai di rumah. Bersihkan tubuhmu dan kubur dua bangkai kelinci ini, Daddy mau tidur," kata ayah.

Aku mengubur bangkai dua kelinci manis tersebut, kemudian pergi mandi. Setelah merasa segar aku ke kamar dan bermain laptop. Sengaja jendela kamar kubuka sedikit, agar udara luar menyusup ke kamarku. Terasa segar.

Srek ... srek ... srek ....

Kudengar kembali suara itu, seperti ranting pepohonan yang bergesekan dengan tembok atau sejenisnya. Benar saja, tidak lama kemudian sulur-sulur yang entah darimana asalnya muncul dan mulai merambat masuk ke kamarku melalui celah jendela.

Brak!

Aku terjungkal dari kursi, mencoba merayap untuk mencari pertolongan, tapi kalah cepat. Sulur-sulur itu lebih dahulu merambat ditubuhku, tak bisa bergerak dan semakin sesak. Sosok perempuan lusuh yang dibalut sulur, dedaunan dan ranting pohon seketika muncul di hadapanku.

"Daddy, tolong aku!" teriakku.

"Tolong! Daddy ... help me!"

Aku berusaha berteriak sekeras dan sesering mungkin agar ayah segera menolongku. Tepat ketika mulutku diredam paksa oleh dedaunan, seketika itu pula ayah datang.

"Lizzie, ada ap--," Ayah tidak mampu menyelesaikan ucapannya karena melihat kamarku seperti semak di hutan rimba.

"Jeremy," Tiba-tiba makhluk itu bersuara.

"Dryad?" balas ayah.

"Jeremy, kau masih mengingatku?" kata monster itu.

Ah ... dia lebih mirip seorang monster daripada peri pohon, bagiku. Dedaunan tidak lagi menghalangi mulutku untuk berbicara.

"Daddy, apa kamu kenal moster ini?" tanyaku dengan suara lantang.

"Dryad, kumohon ... lepaskan anakku!"

"Kau sudah menikah, Jeremy?" tanya sang monster.

"Daddy, lakukan sesuatu ... aku mulai sesak!" pintaku.

"Bahkan dulu, kau menanggalkan kemanusiaanmu dan memutuskan menjadi vampire agar kita bisa abadi bersama. Kenapa kau mengkhianati janji kita, J?" Monster itu seperti tidak rela kehilangan ayahku.

"Itu dulu, Dryad. Setelah jadi vampire aku sempat kehilangan ingatanku, dan akhirnya menikah dengan seorang manusia, hingga sekarang ingatanku telah pulih kembali. Biarkan aku hidup bersama mereka, Dryad!" pinta ayah.

Dalam situasi genting seperti ini, ibuku muncul di muka pintu. Wajahnya nampak kebingungan mengamati seisi kamarku yang berantakan.

"Lizzie, ada apa ini?" Ibu nampak heran.

Belum sempat aku menjawab, tubuh ibu sudah sama sepertiku, tak berdaya terlilit sulur-sulur monster pohon itu.

"Inikah wanita yang merusak keabadian cinta kita?" Dryad nampak geram.

"J, apa ini? Lakukan sesuatu, J. Sekarang!" kata ibu.

Kata-kata ibu seperti perintah yang mencambuk otak ayah agak secepat mungkin menyelamatkan keluarganya. Secepat kilat ayah ke kamarnya, dan kembali lagi dengan tembakan panah ditangannya. Sebelum sulur-sulur itu melilitnya juga, ayah segera melepaskan anak panah tepat ke arah jantung Dryad menembus hingga ke belakang. Monster itu tersungkur. Seketika lilitan kami terlepas.

"J, aku masih sangat mencintaimu! Aku tahu kau tak pernah mengkhianatiku, mungkin takdir yang tidak mengingikan kita bersama," ucapnya sembari menahan sakit yang teramat sangat.

"Maafkan aku, Dryad!" Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut ayah.

"J, aku ingin mati bersama alam. Tolong bawa aku keluar," pintanya.

Ayah menggendong peri pohon itu layaknya sang kekasih, membaringkannya di halaman depan rumah kami.

"Terima kasih, J! Aku akan tetap berada di dekatmu," Kata terakhir yang terucap oleh Dryad, yang menjadi sebuah salam perpisahan abadi baginya.

Sulur-sulur itu mulai keluar dari tubuhnya, merambat dan menancapkan diri ke tanah. Tiba-tiba sebuah pohon besar muncul, menggantikan tubuh Dryad. Pohon itu sangat cantik dan kokoh, dedaunannya mirip seperti sekumpulan cahaya lampu yang menyala sangat terang.

END.

Klender, 25 April 2019
Diubah oleh tsuway.c001 17-05-2019 13:31
makolaAvatar border
IztaLorieAvatar border
embunsuciAvatar border
embunsuci dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1K
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan