

TS
santoh
Ini Pun Akan Berlalu
MICHAEL
Sekitar setahun lebih yang lalu seseorang datang menceritakan kesedihannya kepada saya. Kesedihannya akibat ditinggal seseorang yang amat berarti baginya. Sepintas bagi saya ini adalah hal biasa, karena sejak di jaman sekolah dan kuliah pun, saya adalah "tong sampah" bagi semua orang, baik itu mereka yang benar-benar mencari "solusi" atau sekedar untuk "curhat". Namun segera saya menyadari, bahwa kali ini beda. Emosi sedih, sakit, bingung dan putus asa berbaur saling menguatkan, terasa amat kental.
Saya berusaha keras mengingatkan diri agar tidak memberikan "nasehat" apapun, karena kesedihannya bukanlah kesedihan saya, dan saya tidak boleh berpura-pura "memahami" kesedihannya itu. Satu-satunya yang mampu saya lakukan hanyalah menyediakan diri terus-menerus untuk menjadi pendengar yang baik, kapan pun diperlukan. Itu teorinya. Dan tentu saja prosesnya tidak sesederhana teori itu.
Bagi saya, menjadi pendengar yang baik itu tidak mudah. Bisa dikatakan, itu adalah salah satu mata pelajaran seumur hidup saya. Dan berkali-kali dalam proses itu saya gagal. Mungkin dapat dikatakan, sesungguhnyalah saya yang lebih banyak belajar dalam proses tersebut. Kekuatan saya di analisa adalah sekaligus kelemahan terbesar saya sewaktu menjadi "pendengar", karena sang "pikiran analisa" akan selalu menemukan sesuatu yang bisa "dihadiahkan" sebagai nasehat. Nasehat yang sama sekali tidak dinantikan.
Dalam kesadaran penuh, satu-satunya "nasehat" (kalau pun bisa disebut nasehat) yang berani saya sampaikan adalah untuk "memberi ruang agar sang waktu punya kesempatan untuk melakukan sesuatu". Atau dengan kata lain yang lebih "to the point" adalah tidak perlu "mengharapkan" hari ini atau besok akan terasa lebih baik.
Dalam konteks yang lain, sesungguhnya hal ini adalah salah satu "prinsip" saya. Dan bagi sebagian orang dapat diartikan bahwa saya kurang "ngotot" dan cenderung "menunda" penyelesaian sesuatu. Mungkin dari cara pandang mereka itu benar. Tetapi dari akumulasi pengalaman saya sendiri, semakin kita ngotot mempercepat sesuatu, akan semakin banyak mengundang "kecerobohan", yang ujung-ujungnya malah memperlambat keseluruhan proses. Prinsip tidak terlalu ngotot ini bagi saya menjadi cikal bakal prinsip lainnya, yaitu untuk "tidak terlalu sedih saat bersedih, dan tidak terlalu bahagia saat berbahagia".
Dan karena saya tidak terlalu ngotot itulah maka saya paling menghindari keharusan untuk "menjelaskan diri sendiri" kepada orang lain. Rasanya malas sekali untuk menjelaskan sesuatu tentang diri sendiri itu. Bila memang ada orang yang salah pengertian, saya cenderung memilih diam saja, tanpa merasa harus "membetulkan" persepsinya tentang saya. Bila meminjam konteks lain, seperti yang sering kita dengar dari orang tua, "bila memang jodoh, tidak akan kemana". Ya, bila orang itu memang "berjodoh" menjadi teman, sahabat, partner bisnis, atau lainnya, tentu tidak sampai perlu "saling menjelaskan" tentang diri masing-masing. Ini masih keyakinan saya hingga kini.
Dan kalau pun keyakinan itu ternyata "keliru", maka tentu saya harus siap menerima resikonya. Mungkin kehilangan teman, sahabat, partner atau apapun itu. Karena "kehilangan" itu pun tidak harus diartikan permanen, sama seperti saat "ditemukan" pun tidak bisa dianggap permanen pula. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi 5 tahun atau 10 tahun lagi. Bahkan untuk esok pun tidak ada yang bisa memastikan.
Tentu kita setuju semuanya adalah sementara. Yang baik akan berlalu. Yang buruk pun akan berlalu. This too shall pass. Seperti sebuah cerita klasik tentang seorang petani kaya mati dan meninggalkan kedua putranya.
Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.
Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, “Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu.”
Sang adik tersenyum dan berkata, “Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu.” Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah.
Sang adik merenung, “Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?” Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. “Oh, rupanya ini mantra ayah,” gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik itu kemudian mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya kecanduan.
Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan.
Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.
Saya tidak mengatakan bahwa waktu akan menyembuhkan segala hal, dan dengan membiarkan waktu berjalan, semua akan baik-baik saja. Tentu bukan itu maksudnya. Kepedihan yang TELAH TERJADI, memang harus "disembuhkan", bukan "dibiarkan" atau "dilupakan" seiring waktu. Hal itu hanya akan mengundang "kemunculan kembali" (return of the repressed) kepedihan itu dengan kekuatan berkali-kali lipat sebelumnya.
Cerita di atas lebih pada konteks untuk "menyiapkan" sikap mental sebelum kepedihan maupun kebahagiaan itu datang, sehingga kita mampu memberikan sedikit "adjustment" saat menerima semua luapan emosi bahagia dan sedih itu. Dengan sistem "buffer" internal yang tepat, kita akan menjadi lebih "aman" dari serangan "emotional-overload". Apapun konteksnya, kesadaran preventif tentu lebih "menyenangkan" daripada aktivitas kuratif.
This sunday too shall pass. Prepare for your monday, my friends!
Sekitar setahun lebih yang lalu seseorang datang menceritakan kesedihannya kepada saya. Kesedihannya akibat ditinggal seseorang yang amat berarti baginya. Sepintas bagi saya ini adalah hal biasa, karena sejak di jaman sekolah dan kuliah pun, saya adalah "tong sampah" bagi semua orang, baik itu mereka yang benar-benar mencari "solusi" atau sekedar untuk "curhat". Namun segera saya menyadari, bahwa kali ini beda. Emosi sedih, sakit, bingung dan putus asa berbaur saling menguatkan, terasa amat kental.
Saya berusaha keras mengingatkan diri agar tidak memberikan "nasehat" apapun, karena kesedihannya bukanlah kesedihan saya, dan saya tidak boleh berpura-pura "memahami" kesedihannya itu. Satu-satunya yang mampu saya lakukan hanyalah menyediakan diri terus-menerus untuk menjadi pendengar yang baik, kapan pun diperlukan. Itu teorinya. Dan tentu saja prosesnya tidak sesederhana teori itu.
Bagi saya, menjadi pendengar yang baik itu tidak mudah. Bisa dikatakan, itu adalah salah satu mata pelajaran seumur hidup saya. Dan berkali-kali dalam proses itu saya gagal. Mungkin dapat dikatakan, sesungguhnyalah saya yang lebih banyak belajar dalam proses tersebut. Kekuatan saya di analisa adalah sekaligus kelemahan terbesar saya sewaktu menjadi "pendengar", karena sang "pikiran analisa" akan selalu menemukan sesuatu yang bisa "dihadiahkan" sebagai nasehat. Nasehat yang sama sekali tidak dinantikan.
Dalam kesadaran penuh, satu-satunya "nasehat" (kalau pun bisa disebut nasehat) yang berani saya sampaikan adalah untuk "memberi ruang agar sang waktu punya kesempatan untuk melakukan sesuatu". Atau dengan kata lain yang lebih "to the point" adalah tidak perlu "mengharapkan" hari ini atau besok akan terasa lebih baik.
Dalam konteks yang lain, sesungguhnya hal ini adalah salah satu "prinsip" saya. Dan bagi sebagian orang dapat diartikan bahwa saya kurang "ngotot" dan cenderung "menunda" penyelesaian sesuatu. Mungkin dari cara pandang mereka itu benar. Tetapi dari akumulasi pengalaman saya sendiri, semakin kita ngotot mempercepat sesuatu, akan semakin banyak mengundang "kecerobohan", yang ujung-ujungnya malah memperlambat keseluruhan proses. Prinsip tidak terlalu ngotot ini bagi saya menjadi cikal bakal prinsip lainnya, yaitu untuk "tidak terlalu sedih saat bersedih, dan tidak terlalu bahagia saat berbahagia".
Dan karena saya tidak terlalu ngotot itulah maka saya paling menghindari keharusan untuk "menjelaskan diri sendiri" kepada orang lain. Rasanya malas sekali untuk menjelaskan sesuatu tentang diri sendiri itu. Bila memang ada orang yang salah pengertian, saya cenderung memilih diam saja, tanpa merasa harus "membetulkan" persepsinya tentang saya. Bila meminjam konteks lain, seperti yang sering kita dengar dari orang tua, "bila memang jodoh, tidak akan kemana". Ya, bila orang itu memang "berjodoh" menjadi teman, sahabat, partner bisnis, atau lainnya, tentu tidak sampai perlu "saling menjelaskan" tentang diri masing-masing. Ini masih keyakinan saya hingga kini.
Dan kalau pun keyakinan itu ternyata "keliru", maka tentu saya harus siap menerima resikonya. Mungkin kehilangan teman, sahabat, partner atau apapun itu. Karena "kehilangan" itu pun tidak harus diartikan permanen, sama seperti saat "ditemukan" pun tidak bisa dianggap permanen pula. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi 5 tahun atau 10 tahun lagi. Bahkan untuk esok pun tidak ada yang bisa memastikan.
Tentu kita setuju semuanya adalah sementara. Yang baik akan berlalu. Yang buruk pun akan berlalu. This too shall pass. Seperti sebuah cerita klasik tentang seorang petani kaya mati dan meninggalkan kedua putranya.
Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.
Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, “Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu.”
Sang adik tersenyum dan berkata, “Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu.” Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah.
Sang adik merenung, “Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?” Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. “Oh, rupanya ini mantra ayah,” gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik itu kemudian mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya kecanduan.
Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan.
Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.
Saya tidak mengatakan bahwa waktu akan menyembuhkan segala hal, dan dengan membiarkan waktu berjalan, semua akan baik-baik saja. Tentu bukan itu maksudnya. Kepedihan yang TELAH TERJADI, memang harus "disembuhkan", bukan "dibiarkan" atau "dilupakan" seiring waktu. Hal itu hanya akan mengundang "kemunculan kembali" (return of the repressed) kepedihan itu dengan kekuatan berkali-kali lipat sebelumnya.
Cerita di atas lebih pada konteks untuk "menyiapkan" sikap mental sebelum kepedihan maupun kebahagiaan itu datang, sehingga kita mampu memberikan sedikit "adjustment" saat menerima semua luapan emosi bahagia dan sedih itu. Dengan sistem "buffer" internal yang tepat, kita akan menjadi lebih "aman" dari serangan "emotional-overload". Apapun konteksnya, kesadaran preventif tentu lebih "menyenangkan" daripada aktivitas kuratif.
This sunday too shall pass. Prepare for your monday, my friends!
0
225
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan