"Ada upaya untuk membuat suasana lebih dramatis, sehingga timbul rasa marah ke publik, ada backgroundnya. Apa backroundnya? karena tidak mungkin suasana hasil pemilu ini diubah oleh cara-cara konstitusional oleh yang kalah," kata Feri, Minggu (12/5/2019).

"Kalau ternyata ada kecurangan pemilu dan harus mengubah hasil suara yaitu 15-20 juta suara milik yang kalah, bukan yang menang. Bagaimana cara membuktikannya? Perlu 100 ribu-200 ribu TPS untuk menyatakan telah terjadi kecurangan dengan selisih suara yang diambil oleh yang menang 100 suara per TPS," ujar Feri.

"Bagaimana ke MK membuktikan agar 100-200 ribu TPS dicurangi? Pasti berat sekali," sambung Feri yang juga disampaikan dalam seminar nasional 'Ancaman People Power Terhadap Demokrasi Konstitusional' yang digelar Puskapsi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/5) kemarin.

"Sedangkan video yang beredar, TPS yang direkam, jumlahnya dikapitalisasi di medsos seolah-olah sudah 100 ribu kecurangan. Apakah saya menyetujui kecurangan? Tidak. Kecurangan bisa dipidanakan pelakunya. Tapi suara yang berkembang, agar pemilu ini diulang. Kalau setiap orang yang kalah bisa menyatakan pemilu diulang, berbasis video tanpa diketahui TPS di mana, bisa gawat demokrasi," cetus Feri.

"Karena 10 ribu yang terbukti itu tidak mengubah hasil. Siapa yang sadar betapa sulitnya mengubah konstruksi hukum ini? Pihak yang kalah. Sehingga mereka merasa nggak mungkin bisa membuktikan 100-200 ribu TPS di Mahkamah Konstitusi, itu berat. Kalau lah itu tergambar berat, ya sia-sia ke MK, sia-sia ke Bawaslu," papar Feri.