TS
babygani86
Papua Terang, Upaya Pemerintah Menutupi Gap Layanan Listrik
Sekarang adik adik kita di desa Eleim Papua sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah (PR) pada malam hari. Listrik baru masuk ke desa itu pada pertengahan tahun lalu, sebelum itu rumah mereka hanya berpenerangan dari sinar matahari.
Medio Juli tahun lalu, sebanyak 18 kampung di Kabupaten Yalimo tersambung jaringan listrik. Melalui program “Papua Terang”, Perusahaan Listrik Negara Wilayah Papua dan Papua Barat (PLN WPZ B) mengoperasikan listrik di wilayah pegunungan tengah Papua itu.

Rasio elektrifikasi di wilayah kerja Papua mencapai 55,14% pada 2018. Per Maret 2019, naik menjadi 76,28%. Desa yang belum terlistriki ada 1.745 desa dengan rincian di Papua sebanyak 1.207 desa dan Papua Barat mencapai 538 desa.
Untuk pembangunan pembangkit isolated, PLN mengedepankan sistem perluasan jaringan dan mengutamakan energi terbarukan yang ada di sekitar desa. Mayoritas dengan memanfaatkan air atau matahari sebagai sumber energi. Kebanyakan desa saat ini juga telah menggunakan pifobidro, yakni pembangkit listrik dengan menggunakan air berkapasitas lebih kecil dari microhidro.
Biasanya satu pembangkit pirobidro bisa menerangi 10-15 kepala keluarga. Menjadikan terang desa-desa yang selama ini belum tersentuh jaringan listrik PLN memang merupakan tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian ESDM membagikan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) di daerah pra-elektrifikasi.
Kebanyakan desa yang belum teraliri listrik berada di wilayah pegunungan tengah Papua yang memang sulit diakses. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi seluruh Indonesia pada 2018 sudah mencapai 98,3 % atau melebihi target Rencana Pembangunan jangka Menengah (RPJMN) yang sebesar 97,1%. Meski melampui target, masih ada 1,7% atau lima juta masyarakat yang belum menikmati akses listrik. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan target rasio elektrifikasi pada 2019 menjadi 99%.

Desa—desa yang belum terlistriki sebagian besar berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau secara geografis. Dari sisi perencanaan, pemerintah memprioritaskan pemanfaatan energy terbarukan (EBT) sebagai sumber energi di kawasan yang terisolasi, meski EBT tidak bisa berdiri sendiri.
Ada tiga pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk pemerataan listrik dan mencapai target rasio elektrifikasi 99% tersebut. Pertama, mengembangkan microgrid-off grid. Ini adalah upaya penyediaan energi listrik skala kecil sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38/2016.
Regulasi ini memungkinkan masyarakat di kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dilistriki oleh badan usaha lain semisal badan usaha milik daerah (BUMD), perusahaan swasta, atau koperasi yang diberi wilayah usaha tersendiri oleh pemerintah.
Kedua, perluasan jaringan listrik bagi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan instalasi listrik PLN melalui program Listrik Perdesaan yang diinisiasi PLN. Lisdes melistriki desa baru yang belum berlistrik sama sekali dan desa lama yang sebagian dusunnya belum tersambung jaringan listrik. Caranya, memperluas jaringan distribusi dari sistem kelistrikan eksisting yang berdekatan, disertai penambahan kapasitas pembangkit yang diperlukan sistem tersebut.

Pendekatan ketiga, memberikan pra-elektrifikasi melalui pembagian LTHSE yang dibiayai kas negara. Ini untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman atau permukimannya tersebar renggang, dan jaraknya jauh dari instalasi listrik PLN. LTSHE merupakan lampu terintegrasi dengan sumber energy baterai dari pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik. Prinsip kerjanya, energi dari matahari ditangkap oleh panel surya, lalu diubah menjadi energi listrik yang disimpan dalam baterai. Daya tahan LTSHE maksimum 60 jam.
Lampu ini merupakan desa-desa yang masih gelap gulita program temporer tiga tahun sambal menunggu jaringan listrik permanen dari PLN. Menjadi terobosan sementara untuk menerangi desa desa yang masih gelap gulita pada malam hari. Payung hukum program ini adalah Peraturan Presiden Nomor 47/2017. Karena 2.519 desa belum terlistriki sampai akhir 2016. Desa-desa ini berada di wilayah sangat terpencil. Kalau membangun sistem jaringan transmisi dan distribusi di daerah itu membutuhkan waktu lama.
Persoalan lain adalah hal yang berkaitan dengan tantangan konstruksi dan biaya yang juga besar sekali. LTSHE diberikan sementara sampai listrik PLN masuk. Setidaknya, keberadaan LTSHE menyumbang 0,12% dari rasio elektrifikasi nasional. Keputusan Pemerintah membangun LTSHE menutupi gap layanan listrik untuk daerah-daerah yang sangat terpencil.

Medio Juli tahun lalu, sebanyak 18 kampung di Kabupaten Yalimo tersambung jaringan listrik. Melalui program “Papua Terang”, Perusahaan Listrik Negara Wilayah Papua dan Papua Barat (PLN WPZ B) mengoperasikan listrik di wilayah pegunungan tengah Papua itu.

Rasio elektrifikasi di wilayah kerja Papua mencapai 55,14% pada 2018. Per Maret 2019, naik menjadi 76,28%. Desa yang belum terlistriki ada 1.745 desa dengan rincian di Papua sebanyak 1.207 desa dan Papua Barat mencapai 538 desa.
Untuk pembangunan pembangkit isolated, PLN mengedepankan sistem perluasan jaringan dan mengutamakan energi terbarukan yang ada di sekitar desa. Mayoritas dengan memanfaatkan air atau matahari sebagai sumber energi. Kebanyakan desa saat ini juga telah menggunakan pifobidro, yakni pembangkit listrik dengan menggunakan air berkapasitas lebih kecil dari microhidro.
Biasanya satu pembangkit pirobidro bisa menerangi 10-15 kepala keluarga. Menjadikan terang desa-desa yang selama ini belum tersentuh jaringan listrik PLN memang merupakan tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian ESDM membagikan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) di daerah pra-elektrifikasi.
Kebanyakan desa yang belum teraliri listrik berada di wilayah pegunungan tengah Papua yang memang sulit diakses. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi seluruh Indonesia pada 2018 sudah mencapai 98,3 % atau melebihi target Rencana Pembangunan jangka Menengah (RPJMN) yang sebesar 97,1%. Meski melampui target, masih ada 1,7% atau lima juta masyarakat yang belum menikmati akses listrik. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan target rasio elektrifikasi pada 2019 menjadi 99%.

Desa—desa yang belum terlistriki sebagian besar berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau secara geografis. Dari sisi perencanaan, pemerintah memprioritaskan pemanfaatan energy terbarukan (EBT) sebagai sumber energi di kawasan yang terisolasi, meski EBT tidak bisa berdiri sendiri.
Ada tiga pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk pemerataan listrik dan mencapai target rasio elektrifikasi 99% tersebut. Pertama, mengembangkan microgrid-off grid. Ini adalah upaya penyediaan energi listrik skala kecil sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38/2016.
Regulasi ini memungkinkan masyarakat di kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dilistriki oleh badan usaha lain semisal badan usaha milik daerah (BUMD), perusahaan swasta, atau koperasi yang diberi wilayah usaha tersendiri oleh pemerintah.
Kedua, perluasan jaringan listrik bagi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan instalasi listrik PLN melalui program Listrik Perdesaan yang diinisiasi PLN. Lisdes melistriki desa baru yang belum berlistrik sama sekali dan desa lama yang sebagian dusunnya belum tersambung jaringan listrik. Caranya, memperluas jaringan distribusi dari sistem kelistrikan eksisting yang berdekatan, disertai penambahan kapasitas pembangkit yang diperlukan sistem tersebut.

Pendekatan ketiga, memberikan pra-elektrifikasi melalui pembagian LTHSE yang dibiayai kas negara. Ini untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman atau permukimannya tersebar renggang, dan jaraknya jauh dari instalasi listrik PLN. LTSHE merupakan lampu terintegrasi dengan sumber energy baterai dari pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik. Prinsip kerjanya, energi dari matahari ditangkap oleh panel surya, lalu diubah menjadi energi listrik yang disimpan dalam baterai. Daya tahan LTSHE maksimum 60 jam.
Lampu ini merupakan desa-desa yang masih gelap gulita program temporer tiga tahun sambal menunggu jaringan listrik permanen dari PLN. Menjadi terobosan sementara untuk menerangi desa desa yang masih gelap gulita pada malam hari. Payung hukum program ini adalah Peraturan Presiden Nomor 47/2017. Karena 2.519 desa belum terlistriki sampai akhir 2016. Desa-desa ini berada di wilayah sangat terpencil. Kalau membangun sistem jaringan transmisi dan distribusi di daerah itu membutuhkan waktu lama.
Persoalan lain adalah hal yang berkaitan dengan tantangan konstruksi dan biaya yang juga besar sekali. LTSHE diberikan sementara sampai listrik PLN masuk. Setidaknya, keberadaan LTSHE menyumbang 0,12% dari rasio elektrifikasi nasional. Keputusan Pemerintah membangun LTSHE menutupi gap layanan listrik untuk daerah-daerah yang sangat terpencil.

Spoiler for Referensi:
0
471
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan