- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bungkam Kritik, Menunda Jatuhnya Rezim?


TS
wolfvenom88
Bungkam Kritik, Menunda Jatuhnya Rezim?
Rampungnya pesta demokrasi pada pemilu 2019 yang mengalami kericuhan juga bertabur isu kecurangan, nampaknya membuat gerah Wiranto. Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) ini, selama masa Pemilu telah terjadi banyak peristiwa yang menganggu ketertiban dan keamanan nasional, termasuk di media sosial.( Detik.com). Untuk itu beliau mengumpulkan jajaran menteri dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas) di kantor Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat. Seperti dilansir dari Suara.com, rapat tingkat menteri ini juga dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Wakil Kepala Kepolisian RI (Wakapolri) Komjen Ari Dono.
Sebelum memulai rakortas, Wiranto sempat menjelaskan kepada awak media bahwa yang akan dibahas mengenai pelanggaran hukum pra dan pasca kampanye pada Pemilu 2019. " Hari ini kita akan membahas berbagai hal terutama fakta-fakta tentang pelanggaran hukum yang terjadi sebelum dan sesudah masa kampanye," ujarnya. Wiranto juga mengimbau kepada jajaran TNI maupun Polri untuk dapat menindak tegas pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum agar tidak menganggu ketertiban dan keamanan nasional. "Saya sudah sampaikan kepada Kapolri pada Panglima TNI maupun menteri Kumham bahwa kita tidak mentolerir aksi-aksi yang nyata melanggar hukum dan juga menggangu ketertiban dan keamanan nasional," ungkapnya. (okezone.com, 6/5).
Rupanya, gagasan tersebut langsung disambut kritik oleh Ahli hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Miko Ginting. Beliau berpendapat bahwa pembentukan Tim Hukum Nasional justru akan memperbesar kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah semakin represif dan kebal terhadap kritik. "Apabila memang dianggap sebagai tindak pidana, sudah ada mekanisme sistem peradilan pidana yang seharusnya merespons hal tersebut," katanya, Miko mengatakan upaya penegakan hukum seharusnya sejalan dengan konstitusi, bukan justru mengeluarkan kebijakan yang tak jelas dasar dan kewenangannya. (Tempo.co, 6/5).
Senada dengan Miko Ginting, Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga Uno, Andre Rosiade, menilai pernyataan Wiranto yang ingin menyaring ucapan tokoh dengan membredel media (dengan Tim Hukum Nasional) dan orang yang memprovokasi adalah pernyataan yang menimbulkan kegaduhan baru. "Pemerintah di bulan suci Ramadan ini bukan mengeluarkan pernyataan yang sejuk tapi cenderung menakut-nakuti, menimbulkan kegaduhan baru, dan cenderung pernyataannya bermental otoritarian," kata Andre (6/5). Bahkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra ini, turut memberi saran agar Wiranto dicopot saja. (Tempo.co).
Pakar hukum pers Wina Armada Sukardi, turut bersuara terkait pernyataan Wiranto menyoal keinginannya menutup media yang dianggap melawan hukum. "Saya mengingatkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan pembredelan dan penyensoran, oleh siapapun. Pembredelan dan penyensoran bukan hanya melanggar UU Pers 40/1999 tetapi juga mengancam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia dan karena itu sekaligus melanggar UUD 1945,". Beliau juga menambahkan, salah satu peranan pers adalah melakukan koreksi, terhadap kepentingan umum. Artinya, tugas pers antara lain memang melakukan kritik, pungkas Wina (Gelora.News, 7/5).
Politikus vs Rakyat
Fenomena politik yang memanas akhir-akhir ini tentu sangat mengejutkan berbagai pihak. Bahkan politisi gadungan pun terperanjat. Tidak bisa lagi dipungkiri bahwa sikap dan perilaku masyarakat telah berubah. Walaupun penghitungan suara belum final, berdasarkan data yang terkumpul, telah membuktikan bahwa aspirasi masyarakat tidak dapat dibendung untuk berubah. Baik oleh berbagai slogan politik pecitraan atau tindakan intimidasi sekalipun.
Masih ingat ketika dalam kampanye petahana di GBK menjelang debat paslon terakhir malah beredar video-video di sosmed yang justru menunjukkan “perlawanan” rakyat. Mereka hadir kampanye, tapi malah unjuk pose dua jari. Atau minta selfi sama capres 01, sambil nunjukin pose yang sama. Ini fenomena apa, kalau bukan ingin “melawan” ?
Apalagi media “seolah satu nada” ketika menyampaikan hasil hitung cepat. Paslon 01 menang! Lebih parah lagi ketika Situng KPU yang merilis real count justru “mencoba menyesuaikan” dengan QC. Sungguh rakyat merasa “tak didengar”. Pakar IT Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Soegianto Soelistiono mengungkap temuan 57 ribu daftar kesalahan Situng KPU. Yang terbaru Beliau mengungkap lagi bahwa suara 02 berkurang 107.807 persis saat umat muslim terawih di malam pertama Ramadhan 1440 H. Untuk file bukti maka dicantumkan log Situng KPU yang ia unggah di GoooleDrive. (eramuslim.com, 7/5). Sekali lagi rakyat makin merasa dikibuli.
Sungguh cara berpikir masyarakat telah meningkat ketika melihat dan memahami kondisi politik dan politisi kekinian. Berangkat dari berbagai persoalan yang bertentangan dengan aspirasi dan kepentingannya, masyarakat telah merasa diabaikan serta dikhianati oleh banyak politisi abal abal yang mengusung jargon revolusi mental. Pergeseran sikap dan pemikiran di tengah masyarakat inilah rupanya yang berusaha dibungkam dengan mandat sakti Mr W.
Tapi justru malah makin memantik berbagai komunitas masyarakat maupun akademisi untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Sungguh kesadaran yang muncul dipicu oleh berbagai kekecewaan, memicu mereka memperlihatkan sikap kritis. Ini merupakan tanda menguatnya kesadaran masyarakat (bahkan ke level bawah) bahwa jika suara mulai dibungkam maka kedaulatan rakyat mulai roboh di tangan demokrasi yang otoriter.
Meneropong roda politik Demokrasi terkini, bak melaju di antara kepentingan pribadi untuk meraih kekuasaan. Bahkan hukum tak mampu membatasi kekuasaan. Jika menilik kasus di atas, nampak jelas bahwa kekuasaan yang sedang mengintervensi penegakan hukum. Berbagai kalangan baik praktisi maupun politisi gemar membicarakan asas demokrasi tanpa memahami sistematika dan tabiatnya, sehingga mudah dibelokkan oleh berbagai kepentingan.
Seolah tidak memiliki pilihan yang objektif untuk membantu masyarakat dalam memahami perubahan situasi politik yang sebenarnya. Justru malah memunculkan huru hara sebagai upaya menghambat terbentuknya kecerdasan politik masyarakat. Miris, kondisi rakyat yang makin tersudut padahal mereka selama ini telah menjadi korban dari kesewenang-wenangan para tikus-tikus politik.
Pada akhirnya, demokrasi pun dikebiri oleh sekumpulan orang yang menggunakan atribut kekuasaan tanpa memikirkan aspirasi rakyatnya, padahal katanya “Suara Tuhan”. Apa masih bisa dipertahankan sistem yang sangat mudah dikebiri dan lumpuh ketika dijadikan pijakan untuk mengelola bangsa ?? Bagaimana harapan masyarakat akan perubahan nasib ke depan, jika rezim justru berusaha menghadang dengan sangat refresif ?
Politik dan Sistem Alternatif
Ibarat air bah, aspirasi kekecewaan dan upaya masyarakat keluar dari kondisi tak sehat ini harus disalurkan. Karena bendungan sekuat apapun yang menahan luapan air, pada suatu ketika akan jebol juga. Maka luapan ketaksukaan dan ketiakpuasan ini, jika terus disumbat akan berujung “sesuatu” yang membahayakan posisi Rezim. Bahkan isu people power seperti makin nyata!
Namun nafsu berkuasa dan “tekanan” pemilik modal yang tak rela kalah, membuat nalar sehat kadang diabaikan. Prinsipnya : Berapapun biaya dan tumbal nyawa akan dikeluarkan dan dikorbankan, asalkan bisa menang ! Duh, kontestasi berbiaya fantastis ini telah merusak manusia. Inilah tabiat asli sistem Demokrasi yang merusak, dengan simbiosis antara penguasa dan pengusaha yang tak bisa dihindari. Bagaikan lingkaran setan.
Berbeda dengan Islam, sebagai sebuah sistem politik Ilahiyah (berasal dari Allah Swt). Justru menjadi kewajiban seorang muslim untuk tidak diam terhadap kerusakan yang terjadi. Apalagi terkait dengan problema kekinian, betul-betul mengharuskan setiap muslim bersuara “keras”. Karena Rasul telah bersabda: “.... Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR. Al- Hakim dan al- Khatib dari Hudzaifah ra.).
Adalah vital agar kaum muslimin selalu mampu menyikapi dan memberi solusi atas berbagai peristiwa yang menimpanya. Melek politik dan menjadi para politikus Islam. Karena dampak penerapan sistem Kapitalis yang dipaksakan di tengah umat Islam, telah menimbulkan banyak korban. Tak boleh dibiarkan.
Namun saat ini, kesadaran politik umat belum terbentuk secara baik, karena arus kerusakan telah dikemas sedemikian rupa. Membuat umat masih enggan dan sungkan terhadap pemikiran dan sistem politik Islam. Dibutuhkan kemampuan men-counter opini rusak dan menyuguhkan solusi bernas persfektif Islam. Sehingga masyarakat bisa melihat dan mengkomparasi sistem sekarang, dan sistem alternatif.
Sungguh dakwah Islam justru harus semakin masif, walaupun rezim makin kelihatan taring dan kebenciannya terhadap Islam dan para pejuangnya. Perlu upaya serius mensosialisikan pemikiran politik Islam yang luhur, di tengah upaya pembungkaman, juga stigma dan islamopobhia.
Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik (khairu ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (TQS. Ali Imron: 110).
Maka ketika umat makin sadar dan kembali kepada Islam, seluruh upaya pembungkaman media dan aspirasi masyarakat sudah tak ada guna. Keruntuhan rezim tinggal menunggu waktu saja!
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.” (TQS. An Nur : 55)[]
http://konfrontasi.com/content/opini...jatuhnya-rezim
Sebelum memulai rakortas, Wiranto sempat menjelaskan kepada awak media bahwa yang akan dibahas mengenai pelanggaran hukum pra dan pasca kampanye pada Pemilu 2019. " Hari ini kita akan membahas berbagai hal terutama fakta-fakta tentang pelanggaran hukum yang terjadi sebelum dan sesudah masa kampanye," ujarnya. Wiranto juga mengimbau kepada jajaran TNI maupun Polri untuk dapat menindak tegas pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum agar tidak menganggu ketertiban dan keamanan nasional. "Saya sudah sampaikan kepada Kapolri pada Panglima TNI maupun menteri Kumham bahwa kita tidak mentolerir aksi-aksi yang nyata melanggar hukum dan juga menggangu ketertiban dan keamanan nasional," ungkapnya. (okezone.com, 6/5).
Rupanya, gagasan tersebut langsung disambut kritik oleh Ahli hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Miko Ginting. Beliau berpendapat bahwa pembentukan Tim Hukum Nasional justru akan memperbesar kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah semakin represif dan kebal terhadap kritik. "Apabila memang dianggap sebagai tindak pidana, sudah ada mekanisme sistem peradilan pidana yang seharusnya merespons hal tersebut," katanya, Miko mengatakan upaya penegakan hukum seharusnya sejalan dengan konstitusi, bukan justru mengeluarkan kebijakan yang tak jelas dasar dan kewenangannya. (Tempo.co, 6/5).
Senada dengan Miko Ginting, Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga Uno, Andre Rosiade, menilai pernyataan Wiranto yang ingin menyaring ucapan tokoh dengan membredel media (dengan Tim Hukum Nasional) dan orang yang memprovokasi adalah pernyataan yang menimbulkan kegaduhan baru. "Pemerintah di bulan suci Ramadan ini bukan mengeluarkan pernyataan yang sejuk tapi cenderung menakut-nakuti, menimbulkan kegaduhan baru, dan cenderung pernyataannya bermental otoritarian," kata Andre (6/5). Bahkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra ini, turut memberi saran agar Wiranto dicopot saja. (Tempo.co).
Pakar hukum pers Wina Armada Sukardi, turut bersuara terkait pernyataan Wiranto menyoal keinginannya menutup media yang dianggap melawan hukum. "Saya mengingatkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan pembredelan dan penyensoran, oleh siapapun. Pembredelan dan penyensoran bukan hanya melanggar UU Pers 40/1999 tetapi juga mengancam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia dan karena itu sekaligus melanggar UUD 1945,". Beliau juga menambahkan, salah satu peranan pers adalah melakukan koreksi, terhadap kepentingan umum. Artinya, tugas pers antara lain memang melakukan kritik, pungkas Wina (Gelora.News, 7/5).
Politikus vs Rakyat
Fenomena politik yang memanas akhir-akhir ini tentu sangat mengejutkan berbagai pihak. Bahkan politisi gadungan pun terperanjat. Tidak bisa lagi dipungkiri bahwa sikap dan perilaku masyarakat telah berubah. Walaupun penghitungan suara belum final, berdasarkan data yang terkumpul, telah membuktikan bahwa aspirasi masyarakat tidak dapat dibendung untuk berubah. Baik oleh berbagai slogan politik pecitraan atau tindakan intimidasi sekalipun.
Masih ingat ketika dalam kampanye petahana di GBK menjelang debat paslon terakhir malah beredar video-video di sosmed yang justru menunjukkan “perlawanan” rakyat. Mereka hadir kampanye, tapi malah unjuk pose dua jari. Atau minta selfi sama capres 01, sambil nunjukin pose yang sama. Ini fenomena apa, kalau bukan ingin “melawan” ?
Apalagi media “seolah satu nada” ketika menyampaikan hasil hitung cepat. Paslon 01 menang! Lebih parah lagi ketika Situng KPU yang merilis real count justru “mencoba menyesuaikan” dengan QC. Sungguh rakyat merasa “tak didengar”. Pakar IT Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Soegianto Soelistiono mengungkap temuan 57 ribu daftar kesalahan Situng KPU. Yang terbaru Beliau mengungkap lagi bahwa suara 02 berkurang 107.807 persis saat umat muslim terawih di malam pertama Ramadhan 1440 H. Untuk file bukti maka dicantumkan log Situng KPU yang ia unggah di GoooleDrive. (eramuslim.com, 7/5). Sekali lagi rakyat makin merasa dikibuli.
Sungguh cara berpikir masyarakat telah meningkat ketika melihat dan memahami kondisi politik dan politisi kekinian. Berangkat dari berbagai persoalan yang bertentangan dengan aspirasi dan kepentingannya, masyarakat telah merasa diabaikan serta dikhianati oleh banyak politisi abal abal yang mengusung jargon revolusi mental. Pergeseran sikap dan pemikiran di tengah masyarakat inilah rupanya yang berusaha dibungkam dengan mandat sakti Mr W.
Tapi justru malah makin memantik berbagai komunitas masyarakat maupun akademisi untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Sungguh kesadaran yang muncul dipicu oleh berbagai kekecewaan, memicu mereka memperlihatkan sikap kritis. Ini merupakan tanda menguatnya kesadaran masyarakat (bahkan ke level bawah) bahwa jika suara mulai dibungkam maka kedaulatan rakyat mulai roboh di tangan demokrasi yang otoriter.
Meneropong roda politik Demokrasi terkini, bak melaju di antara kepentingan pribadi untuk meraih kekuasaan. Bahkan hukum tak mampu membatasi kekuasaan. Jika menilik kasus di atas, nampak jelas bahwa kekuasaan yang sedang mengintervensi penegakan hukum. Berbagai kalangan baik praktisi maupun politisi gemar membicarakan asas demokrasi tanpa memahami sistematika dan tabiatnya, sehingga mudah dibelokkan oleh berbagai kepentingan.
Seolah tidak memiliki pilihan yang objektif untuk membantu masyarakat dalam memahami perubahan situasi politik yang sebenarnya. Justru malah memunculkan huru hara sebagai upaya menghambat terbentuknya kecerdasan politik masyarakat. Miris, kondisi rakyat yang makin tersudut padahal mereka selama ini telah menjadi korban dari kesewenang-wenangan para tikus-tikus politik.
Pada akhirnya, demokrasi pun dikebiri oleh sekumpulan orang yang menggunakan atribut kekuasaan tanpa memikirkan aspirasi rakyatnya, padahal katanya “Suara Tuhan”. Apa masih bisa dipertahankan sistem yang sangat mudah dikebiri dan lumpuh ketika dijadikan pijakan untuk mengelola bangsa ?? Bagaimana harapan masyarakat akan perubahan nasib ke depan, jika rezim justru berusaha menghadang dengan sangat refresif ?
Politik dan Sistem Alternatif
Ibarat air bah, aspirasi kekecewaan dan upaya masyarakat keluar dari kondisi tak sehat ini harus disalurkan. Karena bendungan sekuat apapun yang menahan luapan air, pada suatu ketika akan jebol juga. Maka luapan ketaksukaan dan ketiakpuasan ini, jika terus disumbat akan berujung “sesuatu” yang membahayakan posisi Rezim. Bahkan isu people power seperti makin nyata!
Namun nafsu berkuasa dan “tekanan” pemilik modal yang tak rela kalah, membuat nalar sehat kadang diabaikan. Prinsipnya : Berapapun biaya dan tumbal nyawa akan dikeluarkan dan dikorbankan, asalkan bisa menang ! Duh, kontestasi berbiaya fantastis ini telah merusak manusia. Inilah tabiat asli sistem Demokrasi yang merusak, dengan simbiosis antara penguasa dan pengusaha yang tak bisa dihindari. Bagaikan lingkaran setan.
Berbeda dengan Islam, sebagai sebuah sistem politik Ilahiyah (berasal dari Allah Swt). Justru menjadi kewajiban seorang muslim untuk tidak diam terhadap kerusakan yang terjadi. Apalagi terkait dengan problema kekinian, betul-betul mengharuskan setiap muslim bersuara “keras”. Karena Rasul telah bersabda: “.... Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR. Al- Hakim dan al- Khatib dari Hudzaifah ra.).
Adalah vital agar kaum muslimin selalu mampu menyikapi dan memberi solusi atas berbagai peristiwa yang menimpanya. Melek politik dan menjadi para politikus Islam. Karena dampak penerapan sistem Kapitalis yang dipaksakan di tengah umat Islam, telah menimbulkan banyak korban. Tak boleh dibiarkan.
Namun saat ini, kesadaran politik umat belum terbentuk secara baik, karena arus kerusakan telah dikemas sedemikian rupa. Membuat umat masih enggan dan sungkan terhadap pemikiran dan sistem politik Islam. Dibutuhkan kemampuan men-counter opini rusak dan menyuguhkan solusi bernas persfektif Islam. Sehingga masyarakat bisa melihat dan mengkomparasi sistem sekarang, dan sistem alternatif.
Sungguh dakwah Islam justru harus semakin masif, walaupun rezim makin kelihatan taring dan kebenciannya terhadap Islam dan para pejuangnya. Perlu upaya serius mensosialisikan pemikiran politik Islam yang luhur, di tengah upaya pembungkaman, juga stigma dan islamopobhia.
Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik (khairu ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (TQS. Ali Imron: 110).
Maka ketika umat makin sadar dan kembali kepada Islam, seluruh upaya pembungkaman media dan aspirasi masyarakat sudah tak ada guna. Keruntuhan rezim tinggal menunggu waktu saja!
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.” (TQS. An Nur : 55)[]
http://konfrontasi.com/content/opini...jatuhnya-rezim






hercule2008 dan 4 lainnya memberi reputasi
-3
1.6K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan