- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fenomena Pengantin ISIS: Makin Banyak Ibu Jadi Pelaku Bom Bunuh Diri


TS
pasti2periode
Fenomena Pengantin ISIS: Makin Banyak Ibu Jadi Pelaku Bom Bunuh Diri
Quote:
Terdapat fenomena baru mematikan para wanita yang teradikalisasi oleh ideologi ISIS yang menjadi pelaku bom bunuh diri beserta anak-anak mereka dalam upaya jihad. Para ahli mengatakan bahwa peningkatan radikalisasi pasangan menikah membahayakan seluruh keluarga. Bagi para wanita tersebut, naluri keibuan untuk melindungi anak-anak mereka digantikan oleh pencarian untuk “jalan cepat” ke surga, menurut Nasir Abbas, seorang mantan pemimpin Jamaah Islamiah (JI) yang terkait dengan al-Qaeda dan dulu merupakan seorang jihadis yang dicari di Asia Tenggara.
Ketika malam tiba di Sri Lanka setelah serangkaian bom bunuh diri hari Minggu Paskah (21/4) bulan lalu, polisi mengetuk pintu rumah di kawasan hunian kelas atas, tepatnya di rumah dua pelaku bom bunuh diri.
Mereka disambut oleh Fatima Ibrahim, istri dari pengebom Ilham Ibrahim yang sedang hamil. Ketika melihat polisi, Fatima berlari ke dalam dan meledakkan alat peledak, membunuh dirinya sendiri, anaknya yang belum lahir, beserta tiga putranya yang berusia lima dan empat tahun serta sembilan bulan. Tiga petugas polisi juga tewas dalam ledakan itu.
Dalam kasus serupa di bulan Maret 2019, polisi anti-teror menangkap seseorang yang diduga sebagaipembuat bom sekaligus simpatisan ISIS, Abu Hamzah, di Indonesia. Ketika mereka pergi ke rumahnya untuk menangkap istrinya, Solimah, yang telah membantu Abu Hamzah membuat bom, wanita itu meledakkan diri, membunuh serta anaknya yang berumur dua tahun.
Dari Sri Lanka ke Indonesia, muncul sebuah fenomena baru yang mematikan: para wanita yang teradikalisasi oleh ideologi ISIS membunuh diri mereka sendiri dan anak-anak mereka dalam upaya untuk mati syahid.
Para wanita pelaku serangan bom bunuh diri selalu tampil sepanjang sejarah jihadis, sejak kelompok Islamis Chechnya di Rusia yang dikenal sebagai Black Widows. Namun, serangan bunuh diri yang melibatkan anak-anak oleh para radikal wanita telah membawa dimensi baru yang berbahaya bagi terorisme.
“Kita tidak memiliki ini di al-Qaeda,” kata Sofyan Tsauri, mantan anggota al-Qaeda Asia Tenggara. “Dalam Islam, jihad bagi seorang wanita adalah mengurus rumah tangga serta mengasuh dan mendidik anak-anak, bukan mengangkat senjata.”
Bagi para wanita tersebut, naluri keibuan untuk melindungi anak-anak mereka digantikan oleh pencarian untuk “jalan cepat” ke surga, menurut Nasir Abbas, seorang mantan pemimpin Jamaah Islamiah (JI) yang terkait dengan al-Qaeda dan dulu merupakan seorang jihadis yang dicari di Asia Tenggara.
Nasir kemudian membelot dari jaringan terorisme dan sekarang terlibat dalam upaya deradikalisasi serta sejumlah inisiatif lain untuk melawan kekerasan ekstremisme di Indonesia. “Para wanita pelaku bom bunuh diri itu percaya bahwa melindungi anak-anak ialah dengan melindungi mereka dari kemungkinan beralih menjadi kafir ketika mereka pergi,” katanya kepada This Week in Asia, dilansir Minggu (5/5). “Dalam keyakinan mereka, mereka yakin bahwa anak-anak mereka juga akan masuk surga jika mereka mati bersama mereka atau melakukan tindakan yang sama (bom bunuh diri).”
Perkembangan signifikan yang merujuk pada fenomena baru ini terjadi ketika sebuah keluarga beranggotakan enam orang melakukan serangan bom bunuh diri terhadap tiga gereja di Surabaya bulan Mei 2018. Para pelakunya adalah seorang ayah, ibu, dan empat anak berusia antara sembilan dan 18 tahun, menurut Nasir dan kepolisian Indonesia.

Sang ayah, seorang pengusaha sukses bernama Dita Oepriarto, mengikatkan bom pada istri dan dua putrinya, yang meledakkan diri mereka di sebuah gereja. Dia menyuruh kedua putranya mengendarai sepeda motor yang dilengkapi bom ke gereja lain, tempat mereka meledakkan diri.
Dita kemudian mengendarai mobilnya, yang penuh dengan bahan peledak, ke gereja ketiga. Dalam waktu 10 menit, seluruh keluarga sudah tewas. Putra bungsu Dita, Firman Halim yang berusia 16 tahun, terlihat menangis saat salat subuh di sebuah masjid sekitar dua jam sebelum serangan bom.
“Sepertinya pada malam sebelum pengeboman, sang ayah mengatakan kepada anak-anaknya untuk bersiap mati,” kata Rizka Nurul, seorang peneliti di Institute for International Peace Building (IIPB), organisasi deradikalisasi swasta pertama di Indonesia.
Meningkatnya radikalisasi pada pasangan menikah terbukti menimbulkan bahaya bagi kehidupan anak-anak mereka. “Anak-anak berada dalam bahaya besar jika kedua orang tua mereka yakin bahwa mereka harus melakukan jihad untuk menebus dosa-dosa mereka dalam kehidupan ini dengan melakukan serangan teror,” kata Nasir, mantan pemimpin JI. “Orang tua percaya mereka membawa anak-anak mereka ke surga.”
Para wanita mampu menjadi lebih radikal dan militan daripada pria, menurut para peneliti di bidang perlawanan terhadap ekstremisme kekerasan. “Ini karena wanita menggunakan hati mereka. Mereka bisa lebih berbahaya karena mereka lebih rela berkorban, dibandingkan dengan pria yang cenderung lebih rasional karena mereka mempertimbangkan biaya dan manfaat,” kata Rizka dari IIPB.
Demikian halnya dengan Solimah, yang meledakkan dirinya sendiri di rumahnya setelah penangkapan suaminya, Abu Hamzah. Selama interogasi, Abu Hamzah memberi tahu penyelidik bahwa istrinya jauh lebih radikal daripada dirinya.
Pasangan itu diyakini telah diradikalisasi secara online dengan membaca ajaran dari ideolog ISIS Indonesia terkemuka, Aman Abdurrahman, yang saat ini telah dijatuhi hukuman mati karena menghasut orang-orang untuk melakukan berbagai serangan teror di Indonesia.
Banyak dari para wanita tersebut diyakini diradikalisasi oleh suami mereka dan menyetujui ajaran itu sebagai wujud kepatuhan kepada pasangan.
“Saya tidak terkejut dengan bunuh diri wanita dalam ledakan Sri Lanka karena dia tinggal di lingkungan kelompok teroris,” kata Ani Rufaida, dosen psikologi sosial di Universitas Islam Nahdlatul Ulama Indonesia.
“Dalam penelitian saya sebelumnya tentang istri-istri teroris, kebanyakan menyatakan kepatuhan pada suami mereka. Hanya sejumlah kecil istri yang bisa menolak ideologi ekstrem dari suami mereka, tetapi mereka menghadapi konsekuensi, misalnya, berpisah dari suami mereka,” katanya. “Kelompok ekstremis membutuhkan kepatuhan mutlak dari para istri.”

Dalam perkembangan yang mengerikan, sejumlah wanita Indonesia yang teradikalisasi meminta rompi bunuh diri sebagai mahar dari calon suami mereka
, menurut mantan pemimpin JI Nasir. “Para wanita tersebut berencana untuk melakukan bom bunuh diri setelah mereka menikah. Beberapa dari mereka telah ditangkap,” katanya.
Seorang petugas kontraterorisme mengatakan kepada This Week in Asia bahwa seorang wanita yang meminta rompi seperti itu telah ditangkap di Klaten, Jawa Tengah bulan Maret 2018.
Melawan fenomena ini membutuhkan pendekatan yang lunak dan keras, menurut Nasir. “Ajaran menyimpang dari jaringan teror perlu diumumkan kepada publik. Kita perlu memiliki deradikalisasi berkelanjutan dan melawan program ekstremisme kekerasan,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini akan membantu membongkar jaringan teror dan menahan anggota mereka sebelum serangan dilakukan.
Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membentuk program deradikalisasi bagi narapidana, yang bekerja untuk merehabilitasi gagasan mereka tentang Islam melalui kontra-narasi oleh para pemimpin agama dan psikolog, serta melengkapi mereka dengan keterampilan yang dapat mereka gunakan ketika mereka akhirnya diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat. BNPT juga berfokus untuk memerangi kekerasan ekstremisme di berbagai universitas.
Para analis mengatakan bahwa mengajak para mantan pemimpin militan untuk bekerja dengan universitas dan polisi dalam deradikalisasi akan membuat program-program ini lebih efektif, karena mereka memiliki wawasan yang tak tertandingi terhadap pola pikir para pelaku serangan.
Mantan anggota JI lainnya, Ali Fauzi, adik dari dua pelaku bom Bali yang telah dieksekusi mati, memulai LSM yang disebut Circle of Peace, yang sangat terlibat dalam upaya melawan ekstremisme dan deradikalisasi kekerasan.
Wanita sekarang harus menjadi fokus khusus dari program-program ini dan beragam upaya masyarakat lainnya untuk mencegah radikalisasi, menurut para analis.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) baru-baru ini menyerukan agar lebih banyak perempuan direkrut oleh pasukan polisi kontra-terorisme Indonesia, Densus 88, mengingat meningkatnya jumlah militan perempuan. “Persentase wanita di kepolisian umumnya tetap sangat rendah, hanya sedikit di atas 8 persen,” katanya.
Program-program yang lebih baik juga diperlukan untuk tahanan perempuan pro-ISIS. Saat ini terdapat 15 wanita yang ditahan, beberapa di antaranya terlibat dalam kekerasan. Menurut IPAC, memahami latar belakang dan motivasi para wanita tersebut sangat penting untuk program rehabilitasi yang lebih tepat sasaran.
“ISIS mungkin dengan enggan menerima perempuan sebagai pejuang, tetapi mereka sekarang didorong untuk mengambil bagian dalam operasi,” menurut laporan itu. “Sangat mudah untuk mengabaikan kompetensi para teroris di Indonesia, tetapi selama mereka terus mendukung ideologi ISIS, mereka tetap menjadi ancaman serius.”
Ketika malam tiba di Sri Lanka setelah serangkaian bom bunuh diri hari Minggu Paskah (21/4) bulan lalu, polisi mengetuk pintu rumah di kawasan hunian kelas atas, tepatnya di rumah dua pelaku bom bunuh diri.
Mereka disambut oleh Fatima Ibrahim, istri dari pengebom Ilham Ibrahim yang sedang hamil. Ketika melihat polisi, Fatima berlari ke dalam dan meledakkan alat peledak, membunuh dirinya sendiri, anaknya yang belum lahir, beserta tiga putranya yang berusia lima dan empat tahun serta sembilan bulan. Tiga petugas polisi juga tewas dalam ledakan itu.
Dalam kasus serupa di bulan Maret 2019, polisi anti-teror menangkap seseorang yang diduga sebagaipembuat bom sekaligus simpatisan ISIS, Abu Hamzah, di Indonesia. Ketika mereka pergi ke rumahnya untuk menangkap istrinya, Solimah, yang telah membantu Abu Hamzah membuat bom, wanita itu meledakkan diri, membunuh serta anaknya yang berumur dua tahun.
Dari Sri Lanka ke Indonesia, muncul sebuah fenomena baru yang mematikan: para wanita yang teradikalisasi oleh ideologi ISIS membunuh diri mereka sendiri dan anak-anak mereka dalam upaya untuk mati syahid.
Para wanita pelaku serangan bom bunuh diri selalu tampil sepanjang sejarah jihadis, sejak kelompok Islamis Chechnya di Rusia yang dikenal sebagai Black Widows. Namun, serangan bunuh diri yang melibatkan anak-anak oleh para radikal wanita telah membawa dimensi baru yang berbahaya bagi terorisme.
“Kita tidak memiliki ini di al-Qaeda,” kata Sofyan Tsauri, mantan anggota al-Qaeda Asia Tenggara. “Dalam Islam, jihad bagi seorang wanita adalah mengurus rumah tangga serta mengasuh dan mendidik anak-anak, bukan mengangkat senjata.”
Bagi para wanita tersebut, naluri keibuan untuk melindungi anak-anak mereka digantikan oleh pencarian untuk “jalan cepat” ke surga, menurut Nasir Abbas, seorang mantan pemimpin Jamaah Islamiah (JI) yang terkait dengan al-Qaeda dan dulu merupakan seorang jihadis yang dicari di Asia Tenggara.
Nasir kemudian membelot dari jaringan terorisme dan sekarang terlibat dalam upaya deradikalisasi serta sejumlah inisiatif lain untuk melawan kekerasan ekstremisme di Indonesia. “Para wanita pelaku bom bunuh diri itu percaya bahwa melindungi anak-anak ialah dengan melindungi mereka dari kemungkinan beralih menjadi kafir ketika mereka pergi,” katanya kepada This Week in Asia, dilansir Minggu (5/5). “Dalam keyakinan mereka, mereka yakin bahwa anak-anak mereka juga akan masuk surga jika mereka mati bersama mereka atau melakukan tindakan yang sama (bom bunuh diri).”
Perkembangan signifikan yang merujuk pada fenomena baru ini terjadi ketika sebuah keluarga beranggotakan enam orang melakukan serangan bom bunuh diri terhadap tiga gereja di Surabaya bulan Mei 2018. Para pelakunya adalah seorang ayah, ibu, dan empat anak berusia antara sembilan dan 18 tahun, menurut Nasir dan kepolisian Indonesia.

Sang ayah, seorang pengusaha sukses bernama Dita Oepriarto, mengikatkan bom pada istri dan dua putrinya, yang meledakkan diri mereka di sebuah gereja. Dia menyuruh kedua putranya mengendarai sepeda motor yang dilengkapi bom ke gereja lain, tempat mereka meledakkan diri.
Dita kemudian mengendarai mobilnya, yang penuh dengan bahan peledak, ke gereja ketiga. Dalam waktu 10 menit, seluruh keluarga sudah tewas. Putra bungsu Dita, Firman Halim yang berusia 16 tahun, terlihat menangis saat salat subuh di sebuah masjid sekitar dua jam sebelum serangan bom.
“Sepertinya pada malam sebelum pengeboman, sang ayah mengatakan kepada anak-anaknya untuk bersiap mati,” kata Rizka Nurul, seorang peneliti di Institute for International Peace Building (IIPB), organisasi deradikalisasi swasta pertama di Indonesia.
Meningkatnya radikalisasi pada pasangan menikah terbukti menimbulkan bahaya bagi kehidupan anak-anak mereka. “Anak-anak berada dalam bahaya besar jika kedua orang tua mereka yakin bahwa mereka harus melakukan jihad untuk menebus dosa-dosa mereka dalam kehidupan ini dengan melakukan serangan teror,” kata Nasir, mantan pemimpin JI. “Orang tua percaya mereka membawa anak-anak mereka ke surga.”
Para wanita mampu menjadi lebih radikal dan militan daripada pria, menurut para peneliti di bidang perlawanan terhadap ekstremisme kekerasan. “Ini karena wanita menggunakan hati mereka. Mereka bisa lebih berbahaya karena mereka lebih rela berkorban, dibandingkan dengan pria yang cenderung lebih rasional karena mereka mempertimbangkan biaya dan manfaat,” kata Rizka dari IIPB.

Demikian halnya dengan Solimah, yang meledakkan dirinya sendiri di rumahnya setelah penangkapan suaminya, Abu Hamzah. Selama interogasi, Abu Hamzah memberi tahu penyelidik bahwa istrinya jauh lebih radikal daripada dirinya.
Pasangan itu diyakini telah diradikalisasi secara online dengan membaca ajaran dari ideolog ISIS Indonesia terkemuka, Aman Abdurrahman, yang saat ini telah dijatuhi hukuman mati karena menghasut orang-orang untuk melakukan berbagai serangan teror di Indonesia.
Banyak dari para wanita tersebut diyakini diradikalisasi oleh suami mereka dan menyetujui ajaran itu sebagai wujud kepatuhan kepada pasangan.
“Saya tidak terkejut dengan bunuh diri wanita dalam ledakan Sri Lanka karena dia tinggal di lingkungan kelompok teroris,” kata Ani Rufaida, dosen psikologi sosial di Universitas Islam Nahdlatul Ulama Indonesia.
“Dalam penelitian saya sebelumnya tentang istri-istri teroris, kebanyakan menyatakan kepatuhan pada suami mereka. Hanya sejumlah kecil istri yang bisa menolak ideologi ekstrem dari suami mereka, tetapi mereka menghadapi konsekuensi, misalnya, berpisah dari suami mereka,” katanya. “Kelompok ekstremis membutuhkan kepatuhan mutlak dari para istri.”

Dalam perkembangan yang mengerikan, sejumlah wanita Indonesia yang teradikalisasi meminta rompi bunuh diri sebagai mahar dari calon suami mereka

Seorang petugas kontraterorisme mengatakan kepada This Week in Asia bahwa seorang wanita yang meminta rompi seperti itu telah ditangkap di Klaten, Jawa Tengah bulan Maret 2018.
Melawan fenomena ini membutuhkan pendekatan yang lunak dan keras, menurut Nasir. “Ajaran menyimpang dari jaringan teror perlu diumumkan kepada publik. Kita perlu memiliki deradikalisasi berkelanjutan dan melawan program ekstremisme kekerasan,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini akan membantu membongkar jaringan teror dan menahan anggota mereka sebelum serangan dilakukan.
Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membentuk program deradikalisasi bagi narapidana, yang bekerja untuk merehabilitasi gagasan mereka tentang Islam melalui kontra-narasi oleh para pemimpin agama dan psikolog, serta melengkapi mereka dengan keterampilan yang dapat mereka gunakan ketika mereka akhirnya diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat. BNPT juga berfokus untuk memerangi kekerasan ekstremisme di berbagai universitas.
Para analis mengatakan bahwa mengajak para mantan pemimpin militan untuk bekerja dengan universitas dan polisi dalam deradikalisasi akan membuat program-program ini lebih efektif, karena mereka memiliki wawasan yang tak tertandingi terhadap pola pikir para pelaku serangan.
Mantan anggota JI lainnya, Ali Fauzi, adik dari dua pelaku bom Bali yang telah dieksekusi mati, memulai LSM yang disebut Circle of Peace, yang sangat terlibat dalam upaya melawan ekstremisme dan deradikalisasi kekerasan.
Wanita sekarang harus menjadi fokus khusus dari program-program ini dan beragam upaya masyarakat lainnya untuk mencegah radikalisasi, menurut para analis.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) baru-baru ini menyerukan agar lebih banyak perempuan direkrut oleh pasukan polisi kontra-terorisme Indonesia, Densus 88, mengingat meningkatnya jumlah militan perempuan. “Persentase wanita di kepolisian umumnya tetap sangat rendah, hanya sedikit di atas 8 persen,” katanya.
Program-program yang lebih baik juga diperlukan untuk tahanan perempuan pro-ISIS. Saat ini terdapat 15 wanita yang ditahan, beberapa di antaranya terlibat dalam kekerasan. Menurut IPAC, memahami latar belakang dan motivasi para wanita tersebut sangat penting untuk program rehabilitasi yang lebih tepat sasaran.
“ISIS mungkin dengan enggan menerima perempuan sebagai pejuang, tetapi mereka sekarang didorong untuk mengambil bagian dalam operasi,” menurut laporan itu. “Sangat mudah untuk mengabaikan kompetensi para teroris di Indonesia, tetapi selama mereka terus mendukung ideologi ISIS, mereka tetap menjadi ancaman serius.”
https://www.scmp.com/week-asia/socie...de-bombers-and
sumber lainnya yg sama hanya di terjemahkan saja

Quote:
“ISIS mungkin dengan enggan menerima perempuan sebagai pejuang, tetapi mereka sekarang didorong untuk mengambil bagian dalam operasi,” menurut laporan itu. “Sangat mudah untuk mengabaikan kompetensi para teroris di Indonesia, tetapi selama mereka terus mendukung ideologi ISIS, mereka tetap menjadi ancaman serius.”


https://www.change.org/p/menteri-dal...1-d604b5ce919a







caramel36 dan 26 lainnya memberi reputasi
27
8.6K
Kutip
147
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan