- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Sejarah Kerajaan Kediri


TS
ojelhtcmandiri
Sejarah Kerajaan Kediri
Sejarah Kerajaan Kediri
AWAL MULA
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.
Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
gurupendidikan.co.id - Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakimpoi Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.
Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.
Raja-Raja Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.
Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1. Sri Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.
3. Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.
Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.
Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat.
4. Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.
6. Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
7. Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakimpoi Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri
Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
AWAL MULA
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.
Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
gurupendidikan.co.id - Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakimpoi Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.
Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.
Raja-Raja Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.
Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1. Sri Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.
3. Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.
Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.
Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat.
4. Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.
6. Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
7. Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakimpoi Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri
Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Diubah oleh ojelhtcmandiri 09-05-2019 05:46
0
1.3K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan