Quote:
Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman terbaru yang dilayangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Minggu (5/5/2019), melalui akun Twitter-nya, untuk menaikkan tarif impor terhadap barang-barang China telah membuat ekonomi dunia bergejolak.
Trump mengancam akan menaikkan bea masuk bagi US$200 miliar barang China dari 10% menjadi 25% pada 10 Mei. Ia juga mengancam akan menerapkan tarif impor baru sebesar 35% pada US$ 325 miliar barang China lainnya dalam waktu dekat.
Ancamannya tersebut disampaikan setelah kedua ekonomi terbesar dunia itu mengadakan pembicaraan dagang selama berbulan-bulan untuk menghasilkan perjanjian. Bahkan, saat ancaman itu keluar, kedua negara dikabarkan sudah hampir melahirkan kesepakatan.
Meski begitu, sekelompok delegasi yang berisi negosiator dagang China, termasuk Wakil Perdana Menteri Liu He, akan tetap mengunjungi Washington pada Kamis dan Jumat nanti untuk melanjutkan perundingan.Bagi pelaku pasar, kehadiran Liu He merupakan tanda positif. Namun, banyak juga yang yakin Trump akan merealisasikan ancamannya jika Liu He tidak menghadiri perundingan.
Meskipun tindakan proteksionisme Trump telah menghantui pasar, petani, dan anggota perlemennya, namun presiden kontroversial itu juga telah berhasil membuat kemajuan dalam perdagangan. Tahun lalu Trump telah berhasil merombak Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dengan Meksiko dan Kanada.
Pasar saham juga telah mencatatkan kinerja yang memuaskan di tahun 2019, yang didorong oleh perkembangan positif dalam perundingan dagang antara AS-China. Namun, Senin kemarin kinerja saham memburuk setelah ancamannya dilayangkan.
Pada tahun 2018, AS mengimpor total US$ 539,5 miliar barang dari China dan defisit perdagangannya mencapai US$ 419,2 miliar, menurut Kantor Perwakilan Perdagangan AS. Jika Trump menindaklanjuti ancamannya, maka hampir semua barang yang diimpor dari China ke AS akan terpapar tarif.
sumber:
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...agang-as-china
ew Trump makin menjadi-jadi
but yeah we are Lannister, always pay their debt