- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Polemik Keras Rukyatul Hilal di Kalangan Ulama Betawi Abad 19-20 M


TS
uwakna.izzul
Polemik Keras Rukyatul Hilal di Kalangan Ulama Betawi Abad 19-20 M

Dari data hisab Ephemeris tahun 2019, dengan markaz hisab Pulau Karya, Kepulauan Seribu, ketinggilan hilal pada saat matahari terbenam di tanggal 29 Sya`ban 1440 H adalah 6 derajat, 18 menit, 52 detik dan elongasi bulan 7 derajat 26 menit 35 detik.
Ketentuan terkini, yaitu berdasarkan Rekomendasi Jakarta Tahun 2017 yang merupakan penyempurnaan Rekomendasi Istanbul Turki Tahun 2017, menyatakan bahwa hilal dapat terlihat (visibilitas hilal) dengan tinggi bulan minimal 3 derajat dengan elongasi bulan minimal 6,4 derajat. Dengan demikian, ketinggian hilal saat matahari terbenam di tanggal 29 Sya`ban 1440 H sudah memenuhi syarat terlihatnya hilal.
Namun, tidak demikian dengan alim ulama dan umat Islam di Basmol, Jakarta Barat dan di Cipinang Muara, Jakarta Timur yang berpegang pada pendapat Habib Utsman bin Yahya (1822 M-1913 M), Mufti Betawi, sampai hari ini.
Menurut pendapat Habib Utsman bin Yahya, Mufti Betawi, praktik rukyat mustahil dilakukan jika hilal di bawah tujuh derajat. Jadi, penganut pendapat Habib Utsman bin Yahya ini akan mengistikmalkan bulan Sya`ban 1440 H menjadi 30 hari karena hilal di bawah tujuh derajat.
Di sisi lain, ada alim ulama dan umat Islam di Betawi yang berpegang pada pendapat Guru Manshur Jembatan Lima (1878 M-1967 M) yang menyatakan bahwa hilal bisa dirukyat walau kurang dari tujuh derajat.
Tulisan ini tidak dalam rangka menyudutkan pihak mana pun yang terlibat dalam polemik perihal rukyatul hilal. Tulisan ini dibuat sebagai pelajaran bagi generasi masa kini bahwa polemik perihal agama bukan barang terlarang.
Di samping itu, polemik agama yang dicontohkan oleh para ulama Betawi abad ke-19-20 Masehi dapat dipertangguhjawabkan secara akademik-argumentatif dan diekspresikan melalui karya tulis.
Perbedaan pendapat ini telah lama berlangsung, yaitu ketika Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (yang menganut pendapat Habib Utsman bin Yahya) dan Guru Manshur Jembatan Lima masih hidup sezaman.
Perbedaan pendapat ini diwujudkan dalam bentuk risalah bantahan yang ditulis oleh Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (1877 M-1934 M) dengan judul Fadhlurrahman fi Raddi Man Radda Al-Marhum As-Sayyid Utsmanyang jika diterjemahkan artinya Keutamaan Ar-Rahman di Dalam Menolak Orang yang Menolak (pendapat) Al-Marhum As-Sayyid Utsman.
Dalam risalah berjumlah delapan halaman tersebut, Guru Marzuqi bin Mirshod Muara membela pendapat Habib Utsman bin Yahya dan membantah pendapat Guru Manshur Jembatan Lima dalam masalah rukyatul hilal.
Poin-poin penting bantahannya yang saya nukil dari risalah tersebut dengan beberapa perubahan redaksi agar sesuai dengan EYD sebagai berikut: Pertama, penetapan awal Ramadhan atau `Aid oleh qadhi telah berlaku di Betawi dengan terlihatnya bulan yang imkanur rukyah atau dengan istikmal tiga puluh hari.
Terkadang ditetapkan dari jauh-jauh hari jika bulan di malam tiga puluh itu mustahil rukyah karena kurang dari tujuh derajat. Hal ini telah berlaku sejak masa yang begitu lama hingga dekat kepada seratus tahun di era fatwa Al-Marhum Habib Utsman bin Yahya.
Kedua, kemudian sekarang di masa ini ada seorang bernama Haji Muhammad Manshur Kampung Sawah Betawi (maksudnya Guru Manshur Jembatan Lima) yang membuat satu perkumpulan komite untuk menyalahkan fatwa Al-Marhum (Habib Utsman bin Yahya) dan berkata bahwa bulan (hilal) terlihat kurang dari tujuh derajat dan harus menerima saksi yang mengaku melihat bulan di malam kurang dari tujuh derajat tanpa syarat `adalah dan muruah.
Maka inilah pokok persoalan terjadinya perbantahan antara dua pihak ini, yaitu pada qadar imkanur rukyah. Maka masing-masing kedua pihak itu memiliki hujjah dan burhan.
Ketiga, burhan yang pertama dari pihak Habib Utsman bin Yahya. Burhan ini berasal dari pendapat Tuan Hoof Penghulu (pemuka agama) Betawi, Haji Muhammad Hasan, yaitu dua burhan, yaitu aqli dan naqli. Untuk burhan `aqli, yaitu ketokohan dan kepakaran dari Habib Utsman bin Yahya dalam bidang agama, termasuk falakiyah.
Adapun burhan naqli bahwa imkanur rukyah itu sekurang-kurangnya hilal berada di tujuh derajat yaitu istiqra’ut tam memberi faidah yakin. Pasalnya, belum pernah bulan (hilal) dapat dilihat orang di bawah tujuh derajat dan belum pernah pula dapat dilihat orang di Betawi dengan penglihatan yang shahih.
Dengan demikian, jika ada orang yang mendakwah, mengaku melihat bulan (hilal) padahal kurang dari tujuh derajat itu semata-mata dusta belaka. Atau mungkin saja benar jika melihatnya dengan dua mata yang tajam luar biasa atau dengan perantaraan teropong, tapi syar`i tidak meng`itibarkan dua penglihatan itu dan juga tidak membatalkan dengan keyakinan mustahil rukyat bulan yang kurang dari tujuh derajat yang diketahui dengan istiqra’ut tam.
Dan kala di mana atas jalan fardhu kifayah melihat bulan di awal tiap-tiap bulan itu jika telah imkanur rukyah di awal bulan itu dengan tujuh derajat atau lebih. Sedangkan jika bulan itu kurang dari tujuh derajat, maka itu tiada wajib malah tiada sunnah karena `abats, yakni sia-sia sedang syar`i tiada memerintah yang sia-sia.
Dalam risalah berjumlah delapan halaman dengan judul Fadhlurrahman fi Raddi Man Radda Al-Marhum As-Sayyid Utsman, Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (1877 M-1934 M) membela pendapat Habib Utsman bin Yahya (1822 M-1913 M) dan membantah pendapat Guru Manshur Jembatan Lima (1878 M-1967 M) dalam masalah rukyatul hilal.
Pada poin keempat yang menjadi pokok-pokok bantahannya, Guru Marzuqi menyatakan bahwa burhan yang lain atas kebenaran fatwa Sayyid Utsman bin Yahya adalah tentang kewajiban qadhi untuk menolak saksi yang melihat bulan kurang dari tujuh derajat meski saksi itu cukup syarat-syaratnya sebagai saksi, yaitu `adalah dan muruah.
Menurut Guru Marzuqi, masalah ini terkait dengan pandangan jumhur `ulama muhaqqiqin yang berpegang kepada qaul Tuan Syekh As-Subki yang berkata bahwa ditolak akan saksi yang mendakwakan melihat bulan di malam yang mustahil rukyat dan itulah qaul rajih (pendapat yang kuat) yang wajib agar qadhi (hakim) menghukumkan dengan menolak saksi yang melihat hilal kurang dari tujuh derajat.
Begitu pula mufti, ia juga harus memfatwakannya. Sedangkan qaul Tuan Syekh Az-Zarkasyi dan qaul tuan Syekh Ar-Ramli yang mengikut qaul Syekh Az-Zarkasyi mengatakan bahwa diterima saksi yang cukup syarat-syaratnya yang mengaku melihat bulan (hilal) di malam yang mustahil rukyat padahal al-hasanatul qath`iy, maka ini qaul dianggap dhaif.
Guru Marzuqi menambahkan bahwa kedhaifannya diberikan oleh jumhur `ulama muhaqqiqin. Oleh karenanya, qadhi atau mufti yang menghukumkan atau memfatwakan dengan qaul Tuan Zarkasiy itu fasik lagi zhalim karena ijma` ulama tidak menghukumkan dan memfatwakan sesuatu dengan qaul yang dhaif.
Dari poin-poin bantahan di atas, kita bisa menilai tentang kemampuan ulama Betawi terdahulu yang mampu berargumen dengan baik dan membantah dengan cerdas melalui tulisan, dengan kesantunan, bukan debat kusir tak berujung di forum-forum terbuka yang sering kali mempermalukan lawan debatnya.
Bantahan yang dilakukan oleh Guru Marzuqi Cipinang Muara terhadap pendapat Guru Manshur Jembatan Lima mengenai hilal dapat dilihat kurang dari tujuh derajat sebenarnya tidak begitu tepat juga.
Sebab, Guru Manshur Jembatan Lima memiliki alasannya juga yang berbasis pada hisab, bukan pada rukyat. Rukyat, bagi Guru Manshur, dipahami juga dengan hisab. Jika Hilal sudah wujud (wujudul hilal), maka awal bulan hanya untuk menyandarkannya pada Sullamun Nayyirain (Anak Tangga Matahari dan Bulan) menggunakan sistem/teori hasil pengamatan yang dilakukan oleh seorang Zij Sulthan (astronom pemerintah) yang bernama Ulugh Beyk As-Samarkand.
Ulugh Beyk adalah ahli astronomi yang lahir di Salatin pada tahun 1393 Masehi dan meninggal di Iskandaria 1449 Masehi. Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Makmun. Pada masa kepemimpinannya, sang khalifah memerintahkan para ilmuwan untuk mendirikan observatorium, salah satunya yaitu di daerah Samarkand yang dikepalai oleh Ulugh Beyk tersebut.
Ulugh Beyk adalah seorang astronom yang pandai. Ia mengepalai penyelidikan-penyelidikan yang menelan biaya yang tidak sedikit. Ulugh Beyk merupakan keponakan dari cucu Hulago dari keluarga Timur Lenk, Hasan Al-A’raj, Si Pincang.
Pada tahun 1437 M, ia berhasil membuat sebuah Zij berdasarkan observasi yang dilakukannya. Pengertian dari Zij itu sendiri adalah tabel keangkaan yang diterapkan pada planet-planet untuk mengetahui ciri masing-masing, baik jalan gerakannya, kecepatan, kelambatan, kediaman dan geraknya kembali.
Ia menamakannya Zij Ulugh Beyk. Tabel-tabel tersebut masih menggunakan model angka Jumali yang merupakan model angka yang biasa digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk menyajikan data astronomis benda-benda langit.
Kitab Sullamun Nayyirain (Tangga Matahari dan Bulan) adalah karya Guru Manshur Jembatan Lima berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ulugh Beyk tersebut, yang sebelumnya telah ditalhis (dijelaskan) oleh orang tuanya sendiri yang bernama Abdul Hamid bin Muhammad Damiri Al-Batawi dengan taqrir atau ketetapan dari Syekh Abdurrahman bin Ahmad Al-Mishri.
Walau hisab Sullamun Nayyirain telah dikategorikan saat ini sebagai hisab taqribi atau akurasinya masih di bawah hisab hakiki, namun pendapat Guru Manshur Jembatan Lima bahwa hilal bisa dilihat di bawah tujuh derajat telah sesuai dengan perhitungan astronomi modern melalui Rekomendasi Jakarta Tahun 2017 di mana syarat minimal hilal terlihat adalah tiga derajat.
SUMBER
SUMBER
Spoiler for Penulis:
0
928
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan