- Beranda
- Komunitas
- Story
- Girls & Boys Corner
AKHWAT LABIL (Part 02)


TS
noviyanti96
AKHWAT LABIL (Part 02)
BAB 2. Menuju Batas Kota
Setelah mendapat izin dari mama, aku segera berkemas, hanya beberapa lembar pakaian yang kumasukkan dalam ransel pink, selebihnya kuisi dua buah buku. Wiwi masih tertidur pulas di atas ranjang.
Hari pun mulai sore, kubangunkan Wiwi untuk bersiap-siap, sebab sebentar lagi bus menuju desanya akan berangkat. Gamis warna cokelat sepadan dengan jilbab menutupi sekujur tubuh dan ransel pink menempel di bahuku.
"Ma, aku berangkat yah!" Pamitku sembari cupika-cipiki dengan mama, Wiwi pun demikian.
"Hati-hati yah, jaga diri baik-baik!" pesan mama.
Awalmya kami naik angkot menuju terminal, lalu pindah tumpangan ke bus jurusan Desa Sekar. Desa yang letaknya cukup jauh, berada di batas kota dengan jarak tempuh sekitar empat jam.
Aku duduk di dekat jendela, sedangkan Wiwi duduk di sebelahku, di dalam sini aroma bercampur aduk, aroma parfum dari tiap-tiap penumpang, aroma balsam, aroma uap mesin bus, bahkan aroma ikan asin sungguh membuatku ingin muntah. Tanganku sibuk mencari masker dari dalam ransel, setelah ketemu segera kututup hidung dan mulut dengan benda itu. Kupandangi sekeliling, orang-orang tampak sibuk sendiri, terutama seorang ibu yang membawa balitanya, ia sangat kerepotan. Bayi perempuan berkerudung itu tak berhenti merengek, mungkin kepanasan. Di belakang kursinya, ada pria paruh baya yang kewalahan dengan ayam bawaan, kulihat ke lantai bus banyak kotoran ayam di sana. Ya ampun, sanggup kah aku empat jam dalam bus ini? Kalau saja tak ingat Fatir, aku ingin balik ke rumah saja.
"Kamu kenapa, Bil?" tanya Wiwi. Mungkin ia bisa membaca raut wajahku yang merasa tidak nyaman.
"Eh, tidak apa-apa. I'm fine, Baby!" Setelah semua penumpang naik, bus mulai bergerak meninggalkan terminal, entah mengapa jantungku berdegup tak karuan, senyumku tak bisa tertahankan. Oh ... I'm coming up, Fatir! Tunggu aku. Sengaja tak kuberitahu perihal kedatangan ini, biar menjadi kejutan untuknya. Semoga saja Fatir akan terkejut dan senang.
Bus putih besar ini mulai melewati jalan menanjak dan menurun, sedikit membuat perutku tergelitik. Kedua netraku terus saja menatap ke luar jendela, melihat barisan pohon pinus yang tumbuh di pinggir jalan, samar-samar terlihat bias kemilau dari senja. Maha Besar Allah yang sudah menciptakan bumi beserta isinya. Ini benar-benar indah. Di jalan yang sempit itu, kadang ada anak-anak kecil yang jalan bergerombol, mungkin saja baru pulang bermain, senyum sumringah di wajah mereka membuatku ikut tersenyum. Selama ini aku hanya berdiam diri di rumah, yang kulihat hanya rumah beserta isinya, aku tak tahu ada keindahan seperti ini di belahan bumi lainnya.
Akhirnya bus berhenti sejenak di salah satu tempat persinggahan, tempat ini banyak yang menjajakan makanan, tapi mama membawakan kami bekal, katanya biar irit ongkos. Sebelum makan aku dan Wiwi mencari tempat untuk shalat karena memang beberapa menit yang lalu adzan magrib sudah berkumandang.
Setelah shalat kami duduk di kursi panjang yang ada di bawah pohon beringin, menghadap jurang yang dalam, tapi tak begitu mengngerikan sebab di bawah sana banyak lampu-lampu dari rumah warga yang tinggal di pesisir pantai. Indah.
"Makan, Wi!" seruku sambil membuka rantang.
"Cie ... yang mau ketemu pujaan hatinya!" ledek Wiwi, rasanya rona di pipiku timbul lagi.
"Apaan sih, Wi ...," ucapku ngeles. Padahal taman bunga di hati ikut bermekaran.
****
Bus kembali jalan setelah istirahat hampir setengah jam. Kini yang tampak hanya kegelapan dan semilir angin malam, hembusannya seakan membelai pipiku. Alunan lagu nostalgia yang di putar sopir bus membawaku hanyut dalam kerinduan mendalam. Fatir, mantra apa yang sudah kau pakai untuk menyihirku? Aku yang seharusnya jatuh cinta pada pria seumuranku atau yang lebih dewasa, malah terjebak di zona nyaman seperti ini. Kamu anak baru kemarin katamu. Arrgh! Inikah cinta itu?
Kata Wiwi sebentar lagi kami akan tiba. Dan ... yah! Benar saja, tiba-tiba bus berhenti. Rupanya supir bus sudah hafal betul letak rumah Wiwi. Mungkin karena seringnya naik bus ini. Pelan aku berdiri, rasanya sedikit oleng, Wiwi berjalan menuju kursi sopir menyerahkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu, lalu kami segera turun. Tak lama kemudian bus kembali jalan, sekeliling nampak hening, jalanan pun lenggang, hanya sesekali kudengar bunyi jangkrik.
"Masuk yuk, Bil" ajak Wiwi, gadis itu berjalan pelan sama sepertiku. Naik kenderaan berjam-jam memang sangat melelahkan. Ibunya Wiwi menyambut dengan hangatnya, dua cangkir saraba dan sepiring ubi goreng disuguhkan untuk kami.
****
Udara pagi pedesaan benar-benar sejuk, aku dan sahabatku berjalan kaki di jalan aspal yang setiap sisinya ada hamparan sawah, banyak burung bangau di sana, terbang sesuka hati. Sesekali kami berpapasan dengan orang yang hendak ke gunung dan sawah tentunya untuk mengais rezeki, mereka tersenyum ramah. Tak sedikit pula anak sekolahan berseragam SD, SMP dan SMA kami temui, harapku sangat besar. Pagi ini aku ingin melihat Fatir, ingin melihat dirinya berseragam putih Abu-abu. Akhh, aku merasa seperti ibu atau kakaknya saat ini. Ha ha.
"Bil, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya sahabatku.
"Gak sabar mau ketemu Fatir!"
"Sabar, ntar lagi anaknya pasti lewat."
Sebentar kami berhenti di bawah pohon mangga yang ada di pinggir jalan, aku tergoda dengan gunung yang berdiri kokoh di seberang sana, hijau dan menjulang di hiasi awan putih pada sumit.
"Nabil!" Ada yang memanggilku.
Suara itu .... Hampir saja jantungku melompat, lelaki bertubuh jangkung dengan seragam SMA berdiri di sisi kanan, ada teman ceweknya menemani dan ikut menatapku.
"Fatir?" Ya Rabb, sungguh aku sangat sulit mengatur gerak tubuh, aku harus apa? Kenapa juga harus salah tingkah pada bocah-bocah ini. kugaruk kepala yang sama sekali tak merasa gatal, lirik mataku tak menentu, nahasnya Fatir malah tersenyum.
"Datang kok gak bilang-bilang?" tanya lelaki tampan ini, sungguh sekalipun ia berseragam anak sekolah, sikap dewasanya masih bisa kurasakan, suara tegas nan lembut, tatapan matanya sungguh, Arrgh! Fatir, kau buat aku jatuh hati berulang kali. Kalau saja Wiwi tak menyenggol bahuku, aku masih terus terbuai dalam khayal.
"Eh, apa? Oh iya ... biar surprise!" jawabku gelagapan. Kumohon Fatir berhentilah tersenyum seperti itu.
"Aku ke sekolah dulu ... sebentar sore kita ketemuan di dermaga," tawar Fatir sebelum beranjak.
Masih saja kutatap punggung tegap Fatir yang semakin menjauh, dalam benak bertanya-tanya tentang gadis tadi, mereka nampak akrab, bahkan dari sorot mata cewek berrambut panjang itu saat melihat Fatir selalu berbinar, kecuali saat Fatir bicara denganku, samar-samar ia tampak murung. Sisi baikku berbisik agar semua pikiran buruk itu harus kubuang, toh Fatir masih saja bersikap hangat padaku.
Namun, ada yang lebih aneh dari semua itu, sepertinya ada yang salah dengan rindu ini, sudah bertemu sang empu bukannya berkurang malah semakin menjerit.
****
Aku pikir jika bertemu kamu, rindu ini akan mencair. Rupanya aku salah ... rindu itu tak semata karena jarak, melainkan ada rasa yang ingin selalu terbalas.
Nabil
Setelah mendapat izin dari mama, aku segera berkemas, hanya beberapa lembar pakaian yang kumasukkan dalam ransel pink, selebihnya kuisi dua buah buku. Wiwi masih tertidur pulas di atas ranjang.
Hari pun mulai sore, kubangunkan Wiwi untuk bersiap-siap, sebab sebentar lagi bus menuju desanya akan berangkat. Gamis warna cokelat sepadan dengan jilbab menutupi sekujur tubuh dan ransel pink menempel di bahuku.
"Ma, aku berangkat yah!" Pamitku sembari cupika-cipiki dengan mama, Wiwi pun demikian.
"Hati-hati yah, jaga diri baik-baik!" pesan mama.
Awalmya kami naik angkot menuju terminal, lalu pindah tumpangan ke bus jurusan Desa Sekar. Desa yang letaknya cukup jauh, berada di batas kota dengan jarak tempuh sekitar empat jam.
Aku duduk di dekat jendela, sedangkan Wiwi duduk di sebelahku, di dalam sini aroma bercampur aduk, aroma parfum dari tiap-tiap penumpang, aroma balsam, aroma uap mesin bus, bahkan aroma ikan asin sungguh membuatku ingin muntah. Tanganku sibuk mencari masker dari dalam ransel, setelah ketemu segera kututup hidung dan mulut dengan benda itu. Kupandangi sekeliling, orang-orang tampak sibuk sendiri, terutama seorang ibu yang membawa balitanya, ia sangat kerepotan. Bayi perempuan berkerudung itu tak berhenti merengek, mungkin kepanasan. Di belakang kursinya, ada pria paruh baya yang kewalahan dengan ayam bawaan, kulihat ke lantai bus banyak kotoran ayam di sana. Ya ampun, sanggup kah aku empat jam dalam bus ini? Kalau saja tak ingat Fatir, aku ingin balik ke rumah saja.
"Kamu kenapa, Bil?" tanya Wiwi. Mungkin ia bisa membaca raut wajahku yang merasa tidak nyaman.
"Eh, tidak apa-apa. I'm fine, Baby!" Setelah semua penumpang naik, bus mulai bergerak meninggalkan terminal, entah mengapa jantungku berdegup tak karuan, senyumku tak bisa tertahankan. Oh ... I'm coming up, Fatir! Tunggu aku. Sengaja tak kuberitahu perihal kedatangan ini, biar menjadi kejutan untuknya. Semoga saja Fatir akan terkejut dan senang.
Bus putih besar ini mulai melewati jalan menanjak dan menurun, sedikit membuat perutku tergelitik. Kedua netraku terus saja menatap ke luar jendela, melihat barisan pohon pinus yang tumbuh di pinggir jalan, samar-samar terlihat bias kemilau dari senja. Maha Besar Allah yang sudah menciptakan bumi beserta isinya. Ini benar-benar indah. Di jalan yang sempit itu, kadang ada anak-anak kecil yang jalan bergerombol, mungkin saja baru pulang bermain, senyum sumringah di wajah mereka membuatku ikut tersenyum. Selama ini aku hanya berdiam diri di rumah, yang kulihat hanya rumah beserta isinya, aku tak tahu ada keindahan seperti ini di belahan bumi lainnya.
Akhirnya bus berhenti sejenak di salah satu tempat persinggahan, tempat ini banyak yang menjajakan makanan, tapi mama membawakan kami bekal, katanya biar irit ongkos. Sebelum makan aku dan Wiwi mencari tempat untuk shalat karena memang beberapa menit yang lalu adzan magrib sudah berkumandang.
Setelah shalat kami duduk di kursi panjang yang ada di bawah pohon beringin, menghadap jurang yang dalam, tapi tak begitu mengngerikan sebab di bawah sana banyak lampu-lampu dari rumah warga yang tinggal di pesisir pantai. Indah.
"Makan, Wi!" seruku sambil membuka rantang.
"Cie ... yang mau ketemu pujaan hatinya!" ledek Wiwi, rasanya rona di pipiku timbul lagi.
"Apaan sih, Wi ...," ucapku ngeles. Padahal taman bunga di hati ikut bermekaran.
****
Bus kembali jalan setelah istirahat hampir setengah jam. Kini yang tampak hanya kegelapan dan semilir angin malam, hembusannya seakan membelai pipiku. Alunan lagu nostalgia yang di putar sopir bus membawaku hanyut dalam kerinduan mendalam. Fatir, mantra apa yang sudah kau pakai untuk menyihirku? Aku yang seharusnya jatuh cinta pada pria seumuranku atau yang lebih dewasa, malah terjebak di zona nyaman seperti ini. Kamu anak baru kemarin katamu. Arrgh! Inikah cinta itu?
Kata Wiwi sebentar lagi kami akan tiba. Dan ... yah! Benar saja, tiba-tiba bus berhenti. Rupanya supir bus sudah hafal betul letak rumah Wiwi. Mungkin karena seringnya naik bus ini. Pelan aku berdiri, rasanya sedikit oleng, Wiwi berjalan menuju kursi sopir menyerahkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu, lalu kami segera turun. Tak lama kemudian bus kembali jalan, sekeliling nampak hening, jalanan pun lenggang, hanya sesekali kudengar bunyi jangkrik.
"Masuk yuk, Bil" ajak Wiwi, gadis itu berjalan pelan sama sepertiku. Naik kenderaan berjam-jam memang sangat melelahkan. Ibunya Wiwi menyambut dengan hangatnya, dua cangkir saraba dan sepiring ubi goreng disuguhkan untuk kami.
****
Udara pagi pedesaan benar-benar sejuk, aku dan sahabatku berjalan kaki di jalan aspal yang setiap sisinya ada hamparan sawah, banyak burung bangau di sana, terbang sesuka hati. Sesekali kami berpapasan dengan orang yang hendak ke gunung dan sawah tentunya untuk mengais rezeki, mereka tersenyum ramah. Tak sedikit pula anak sekolahan berseragam SD, SMP dan SMA kami temui, harapku sangat besar. Pagi ini aku ingin melihat Fatir, ingin melihat dirinya berseragam putih Abu-abu. Akhh, aku merasa seperti ibu atau kakaknya saat ini. Ha ha.
"Bil, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya sahabatku.
"Gak sabar mau ketemu Fatir!"
"Sabar, ntar lagi anaknya pasti lewat."
Sebentar kami berhenti di bawah pohon mangga yang ada di pinggir jalan, aku tergoda dengan gunung yang berdiri kokoh di seberang sana, hijau dan menjulang di hiasi awan putih pada sumit.
"Nabil!" Ada yang memanggilku.
Suara itu .... Hampir saja jantungku melompat, lelaki bertubuh jangkung dengan seragam SMA berdiri di sisi kanan, ada teman ceweknya menemani dan ikut menatapku.
"Fatir?" Ya Rabb, sungguh aku sangat sulit mengatur gerak tubuh, aku harus apa? Kenapa juga harus salah tingkah pada bocah-bocah ini. kugaruk kepala yang sama sekali tak merasa gatal, lirik mataku tak menentu, nahasnya Fatir malah tersenyum.
"Datang kok gak bilang-bilang?" tanya lelaki tampan ini, sungguh sekalipun ia berseragam anak sekolah, sikap dewasanya masih bisa kurasakan, suara tegas nan lembut, tatapan matanya sungguh, Arrgh! Fatir, kau buat aku jatuh hati berulang kali. Kalau saja Wiwi tak menyenggol bahuku, aku masih terus terbuai dalam khayal.
"Eh, apa? Oh iya ... biar surprise!" jawabku gelagapan. Kumohon Fatir berhentilah tersenyum seperti itu.
"Aku ke sekolah dulu ... sebentar sore kita ketemuan di dermaga," tawar Fatir sebelum beranjak.
Masih saja kutatap punggung tegap Fatir yang semakin menjauh, dalam benak bertanya-tanya tentang gadis tadi, mereka nampak akrab, bahkan dari sorot mata cewek berrambut panjang itu saat melihat Fatir selalu berbinar, kecuali saat Fatir bicara denganku, samar-samar ia tampak murung. Sisi baikku berbisik agar semua pikiran buruk itu harus kubuang, toh Fatir masih saja bersikap hangat padaku.
Namun, ada yang lebih aneh dari semua itu, sepertinya ada yang salah dengan rindu ini, sudah bertemu sang empu bukannya berkurang malah semakin menjerit.
****
Aku pikir jika bertemu kamu, rindu ini akan mencair. Rupanya aku salah ... rindu itu tak semata karena jarak, melainkan ada rasa yang ingin selalu terbalas.
Nabil

Diubah oleh noviyanti96 05-05-2019 05:41


tata604 memberi reputasi
1
308
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan