

TS
noviyanti96
Cinta Dalam Diam
"Ya Rabb".
Malam gelap berpayung langit dengan taburan bintang, membuat tatapku sulit berpaling, hembusan bayu yang menyusup di sela kain hingga menembus kulit membuat romaku bergidik, tak lagi kudengar suara bising kenderaan, yang ada hanya hening. Hidung bangirku menarik napas dalam, lalu kuembuskan lewat mulut, ada uap yang ikut terembus.
Aku sangat merindu sosok dia, sesorang yang hanya bisa kupandangi dari jarak sekian meter, bukan tak bisa, hanya saja tak punya keberanian sekedar menatapnya. Masih kuingat saat pertemuan pertama kami di kantin, aku tak sengaja menumpahkan kuah mie ke seragamnya. Lelaki itu tak marah sedikit pun, hanya berpesan padaku untuk berhati-hati. Hampir seminggu ini, aku tak lagi melihatnya, semua proses ujian akhir kelas tiga memang sudah selesai, makanya siswa-siswi senior itu jarang kelihatan di sekolah.
Reihan, yah! itu namanya. Anak kelas tiga IPA yang sering menjadi buah bibir gadis-gadis di sekolah. Allah sudah menganugrahkan banyak kelebihan padanya, paras yang tampan, perangai yang baik, juga kepintaran yang tak sedikit pun membuatnya sombong, tapi sayang ... saking banyaknya gadis yang suka padanya, aku tak berani untuk mendekat.
Malam ini, di sepertiga malam yang hening, aku ingin bermunajat pada Rabbku. Terserah apa kata kalian, aku bukanlah budak cinta, hanya saja rasa ini terus saja menggangu. Gemercik air saat membasuh satu persatu tanganku, bagai denting yang menenangkan. Ditangkap telinga, di proses oleh otak, lalu mengalir menuju relung hati. Inikah yang dinamakan damai itu?
Kugelar sajadah biru di atas tikar tua, mukena putih yang mendekati usang mulai kukenakan, tak lupa kuluruskan kembali niat. Di akhir shalat aku berdoa, "Ya Rabb, Tuhan semesta alam ... tiada tempat terbaik untuk kucurhakan seluruh isi hati ini selain Kamu. Engkaulah yang tahu apa keinginan hati ini, dan Engkau pula yang paling tau apa-apa yang terbaik untuk hambaMu. Jika memang Reihan jodohku, pertemukan kami dalam ikatan suci, tapi jika tidak bantu aku menghapus rasa ini, Aamiin Ya Rabbal Alaamiin."
****
Pagi yang sangat cerah, anak-anak sekolah mulai berdatangan, yang piket untuk kebersihan tampak sedang mengerjakan tugas masing-masing. Mataku tak mau mengikut kata hati, ia terus saja menyusuri setiap sudut mencari sosok Reihan. Sudahlah ... dia tak akan datang, mungkin saja sedang sibuk mengurus keperluannya untuk lanjut kuliah.
Namun, samar-samar di antara beberapa anak lelaki kulihat Reihan di sana. Apakah aku salah lihat? Mereka berjalan ke arah sini. Ya Rabb, jantungku berdegup tak karuan, bagaimana ini? Tak ada pilihan lain, selain diam.
"Mie goreng satu!" seru Reihan.
"Aku sama Doni, mie kuah aja!" seru salah satu temannya.
"Gak baik pagi-pagi makan mie!" tegurku, entah mengapa kali ini mulutku berani berkata-kata di hadapanya. Kulihat Raihan hanya tersenyum. Oh no ... Pleace, Boy! Stop smile like this. Senyumanmu bisa saja menyihirku.
"Udah, buat aja ... gak usah protes, atau kami gak jadi beli?" ucap cowok songong yang duduk di sisi Reihan. Shit! Mentang-mentang jadi pembeli bertingkah seenaknya.
Segera kusiapkan tiga mangkuk mie untuk mereka dengan rasa hati tak karuan.
"Kamu kenapa Lin?" tanya mama yang sedang menggoreng pisang.
"Eh, aku ... gapapa, Ma!"
Sesekali mataku melirik ke meja tempat tiga cowok itu duduk, kali ini ada dua cewek yang menemani mereka. Sudah jalas cewek itu Dita dan Vina. Senior paling alay menurutku, gaya rok span dengan kemeja sekolah membentuk lekuk tubuh mereka, kalau bicara suka dimanja-manjakan, tapi tak bisa di pungkiri keduanya memang cantik dan pintar. Terlebih Dita, anak salah satu guru di sekolah ini, makanya ia suka besar kepala sendiri.
Mie sudah siap, dengan asap masih mengepul segera ku antar ke meja mereka.
"Kita pindah ke meja sebelah aja yuk, takut ganggu sama yang baru jadian!" cetus Vina yang mengundang deham dari anak-anak lain, kecuali Reihan dan Dita. Keduanya nampak senyum malu-malu.
Apa? Jadi Reihan dan Dita suda resmi jadian, mereka pacaran? Sekujur tubuhku terasa lemas, untuk memegang mangkuk saja rasanya tak mampu.
"Aaarrrrgh ... panas!" pekik Dita saat kuah Mie panas tumpah ke roknya. Berulang kali aku meminta maaf, tapi suaraku seakan lenyap dari sumpah serapah gadis ini. Namun, bukan itu yang membuat hatiku luluh lantak, tapi kamu Reihan. Tak pernah ku sangkah lelaki sebaik kamu bisa membentakku sekeras itu, tak pernah terbayangkan kau akan menatapku sebengis ini. Apakah karena wanita kesayanganmu tersakiti? Reihan dia hanya sakit fisik, tapi kamu tak tahu betapa sakitnya qalbuku, dan kamu tak pernah tahu itu.
Langkah kaki cepat membawaku ke belakang, dua butir air mengalir deras di pipi, sembari mengutuk semua rasa cinta yang pernah ku jaga untukmu Reihan. Mengapa harus kamu yang pertama hadir menyapa relung hatiku dan menggoreskan luka di sana. Mengapa?
Mulai hari ini, aku berjanji untuk berhenti mengangumimu, kau tak pantas mendapat ruang di hatiku, lagi pula apalah aku, hanya anak seorang ibu kantin. "Sekarang aku mengerti Ya Rabb!"
Sekian 😉
Malam gelap berpayung langit dengan taburan bintang, membuat tatapku sulit berpaling, hembusan bayu yang menyusup di sela kain hingga menembus kulit membuat romaku bergidik, tak lagi kudengar suara bising kenderaan, yang ada hanya hening. Hidung bangirku menarik napas dalam, lalu kuembuskan lewat mulut, ada uap yang ikut terembus.
Aku sangat merindu sosok dia, sesorang yang hanya bisa kupandangi dari jarak sekian meter, bukan tak bisa, hanya saja tak punya keberanian sekedar menatapnya. Masih kuingat saat pertemuan pertama kami di kantin, aku tak sengaja menumpahkan kuah mie ke seragamnya. Lelaki itu tak marah sedikit pun, hanya berpesan padaku untuk berhati-hati. Hampir seminggu ini, aku tak lagi melihatnya, semua proses ujian akhir kelas tiga memang sudah selesai, makanya siswa-siswi senior itu jarang kelihatan di sekolah.
Reihan, yah! itu namanya. Anak kelas tiga IPA yang sering menjadi buah bibir gadis-gadis di sekolah. Allah sudah menganugrahkan banyak kelebihan padanya, paras yang tampan, perangai yang baik, juga kepintaran yang tak sedikit pun membuatnya sombong, tapi sayang ... saking banyaknya gadis yang suka padanya, aku tak berani untuk mendekat.
Malam ini, di sepertiga malam yang hening, aku ingin bermunajat pada Rabbku. Terserah apa kata kalian, aku bukanlah budak cinta, hanya saja rasa ini terus saja menggangu. Gemercik air saat membasuh satu persatu tanganku, bagai denting yang menenangkan. Ditangkap telinga, di proses oleh otak, lalu mengalir menuju relung hati. Inikah yang dinamakan damai itu?
Kugelar sajadah biru di atas tikar tua, mukena putih yang mendekati usang mulai kukenakan, tak lupa kuluruskan kembali niat. Di akhir shalat aku berdoa, "Ya Rabb, Tuhan semesta alam ... tiada tempat terbaik untuk kucurhakan seluruh isi hati ini selain Kamu. Engkaulah yang tahu apa keinginan hati ini, dan Engkau pula yang paling tau apa-apa yang terbaik untuk hambaMu. Jika memang Reihan jodohku, pertemukan kami dalam ikatan suci, tapi jika tidak bantu aku menghapus rasa ini, Aamiin Ya Rabbal Alaamiin."
****
Pagi yang sangat cerah, anak-anak sekolah mulai berdatangan, yang piket untuk kebersihan tampak sedang mengerjakan tugas masing-masing. Mataku tak mau mengikut kata hati, ia terus saja menyusuri setiap sudut mencari sosok Reihan. Sudahlah ... dia tak akan datang, mungkin saja sedang sibuk mengurus keperluannya untuk lanjut kuliah.
Namun, samar-samar di antara beberapa anak lelaki kulihat Reihan di sana. Apakah aku salah lihat? Mereka berjalan ke arah sini. Ya Rabb, jantungku berdegup tak karuan, bagaimana ini? Tak ada pilihan lain, selain diam.
"Mie goreng satu!" seru Reihan.
"Aku sama Doni, mie kuah aja!" seru salah satu temannya.
"Gak baik pagi-pagi makan mie!" tegurku, entah mengapa kali ini mulutku berani berkata-kata di hadapanya. Kulihat Raihan hanya tersenyum. Oh no ... Pleace, Boy! Stop smile like this. Senyumanmu bisa saja menyihirku.
"Udah, buat aja ... gak usah protes, atau kami gak jadi beli?" ucap cowok songong yang duduk di sisi Reihan. Shit! Mentang-mentang jadi pembeli bertingkah seenaknya.
Segera kusiapkan tiga mangkuk mie untuk mereka dengan rasa hati tak karuan.
"Kamu kenapa Lin?" tanya mama yang sedang menggoreng pisang.
"Eh, aku ... gapapa, Ma!"
Sesekali mataku melirik ke meja tempat tiga cowok itu duduk, kali ini ada dua cewek yang menemani mereka. Sudah jalas cewek itu Dita dan Vina. Senior paling alay menurutku, gaya rok span dengan kemeja sekolah membentuk lekuk tubuh mereka, kalau bicara suka dimanja-manjakan, tapi tak bisa di pungkiri keduanya memang cantik dan pintar. Terlebih Dita, anak salah satu guru di sekolah ini, makanya ia suka besar kepala sendiri.
Mie sudah siap, dengan asap masih mengepul segera ku antar ke meja mereka.
"Kita pindah ke meja sebelah aja yuk, takut ganggu sama yang baru jadian!" cetus Vina yang mengundang deham dari anak-anak lain, kecuali Reihan dan Dita. Keduanya nampak senyum malu-malu.
Apa? Jadi Reihan dan Dita suda resmi jadian, mereka pacaran? Sekujur tubuhku terasa lemas, untuk memegang mangkuk saja rasanya tak mampu.
"Aaarrrrgh ... panas!" pekik Dita saat kuah Mie panas tumpah ke roknya. Berulang kali aku meminta maaf, tapi suaraku seakan lenyap dari sumpah serapah gadis ini. Namun, bukan itu yang membuat hatiku luluh lantak, tapi kamu Reihan. Tak pernah ku sangkah lelaki sebaik kamu bisa membentakku sekeras itu, tak pernah terbayangkan kau akan menatapku sebengis ini. Apakah karena wanita kesayanganmu tersakiti? Reihan dia hanya sakit fisik, tapi kamu tak tahu betapa sakitnya qalbuku, dan kamu tak pernah tahu itu.
Langkah kaki cepat membawaku ke belakang, dua butir air mengalir deras di pipi, sembari mengutuk semua rasa cinta yang pernah ku jaga untukmu Reihan. Mengapa harus kamu yang pertama hadir menyapa relung hatiku dan menggoreskan luka di sana. Mengapa?
Mulai hari ini, aku berjanji untuk berhenti mengangumimu, kau tak pantas mendapat ruang di hatiku, lagi pula apalah aku, hanya anak seorang ibu kantin. "Sekarang aku mengerti Ya Rabb!"
Sekian 😉
0
255
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan