- Beranda
- Komunitas
- Story
- B-Log Personal
Jablay Bukan Sembarang Jablay


TS
bayudug
Jablay Bukan Sembarang Jablay
Jablay Bukan Sembarang Jablay
Malam itu selepas isya, saya berkunjung ke sebuah warung remang-remang di pinggir kota. Sengaja memilih tempat ini, selain untuk mencari hiburan yang murah juga demi menghindar dari orang-orang yang saya kenal. Ternyata saya masih punya rasa malu juga walaupun itu hanya terhadap manusia, entahlah terhadap Tuhan. Mungkin karena Dia tidak melihat, jadinya saya tidak takut bertemu denganNya.
Suntuk dan stress dari pekerjaan membuat saya ingin berlari dari hal itu dengan mencari hiburan. Sepertinya beberapa botol minuman diiringi dengan suara musik dangdut dan yang paling penting adalah ditemani seorang wanita akan menjadi obat bagi jiwa saya. Tuhan? entahlah, mungkin dia opsi terakhir dari beribu cara untuk menghilangkan kepenatan jiwa ini.
Tiba di sebuah warung, tidaklah terlihat ada sebuah keramaian layaknya tempat hiburan karena tempat itu dari nama yang terpampang di dinding adalah sebuah warung makan. Saya parkirkan motor agak terlindung dari jalan mencoba menyembunyikan pelat nomor dari jangkauan pandangan orang-orang yang lewat.
Beres memarkirkan motor, tengok kanan dan kiri, demi dirasa aman cepat-cepat saya masuk. Di dalam, tampak beberapa wanita sedang merokok sambil menonton televisi yang memutar lagu dangdut.
Tertarik saya dengan penyanyi yang sedang bergoyang di layar. Begitu bergairah, erotis dan mengundang birahi. Ah, tak kuasa saya untuk menahan agar sesuatu yang ada di celana tidak berdiri tegar. Mungkin sebuah naluri tidak bisa berbohong. Walau samar-samar sebuah peringatan melintas sekelebat yang mengatakan "jaga pandanganmu", mungkin nafsu ini energinya lebih besar karena sering diberi makan dibanding hati ini sehingga peringatan itu layaknya angin lalu saja.
"Mas, mau makan atau mau minum?" tegur seorang wanita muda yang sedang duduk di meja sambil tersenyum ramah. Di tangannya sebuah rokok ringan mengepulkan asap.
Penampilannya membuat saya bergetar. Dengan kaos dan celana ketat yang memperlihatkan tubuhnya yang sintal serta bagian atasnya yang rendah memperlihatkan sebagian dada membuat mata saya tertuju ke sana.
"Mau minum, Mba," sahut saya sambil duduk di sampingnya.
"Oh, mau minum. Mau ditemani sama siapa. Ini Maya, itu Desi, yang depan Bunga dan saya Mawar silahkan dipilih," sebutnya sambil memperkenalkan teman-teman yang ada di samping dan depan tempat ia duduk.
Sayapun langsung melihat-lihat wajah dan penampilan mereka. Setelah menimbang sebentar akhirnya saya putuskan untuk memilih Mawar. Selain wajah dan tubuhnya yang enak dipandang, riasan sederhana juga karena ia mau menyapa duluan. Biasanya wanita seperti ini asyik untuk diajak ngobrol dan terbuka pikir saya.
"Saya sama Mba aja, yang lain maaf yah," jawab saya sambil memandang wanita yang lainnya.
"Gak apa-apa," terdengar beberapa orang menyahut membuat saya lega.
"Ya udah kalau begitu, yuk kita minumnya di kamar atas," ajak Mawar kepada saya sambil memegang tangan dan menarik mesra dari tempat duduk.
"Ayo," sahut saya sambil berdiri dan mengikuti langkah wanita itu.
Tiba di atas, nampak sebuah ruangan yang redup diterangi dengan lampu warna-warni. Kursi dan meja menghadap sebuah televisi seperti di bawah tadi mengisi perabotan ruangan. Di atas meja penuh dengan minuman keras beraneka merk ditemani dengan gelas dan asbak.
Setelah kami masuk, Mawar dengan sigap menutup pintu kemudian menyalakan televisi dan memutar CD. Beres itu ia menghampiri saya, tubuhnya menempel di badan ini membuat saya panas dingin.
"Mau minum apa?" terdengar suaranya mesra seolah rayuan untuk membuat tangan saya merogoh kantong dalam-dalam.
"Itu saja," jawab saya sambil menunjuk sebuah minuman yang beralkohol ringan. Sengaja saya memilih minuman tersebut karena tidak ingin mabuk.
"Oh yang ini," sahutnya sambil cekatan membuka minuman dan menuangkannya ke gelas, kemudian menyodorkan minuman itu ke hadapan saya.
"Mau rokok apa?" lanjutnya. Kembali tangan dia mendekap saya.
"Nggak, saya sudah membawa rokok sendiri," jawab saya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju kemudian menyalakannya.
"Rokok saya habis nih mas, saya dibelikan yah," rayunya sambil mengelus-elus tangan membuat saya luluh.
"Ya sudah ambil saja," sahut saya santai.
"Makasih yah. Bentar saya ambil dulu rokoknya, gak lama kok," ucapnya sumringah.
"Ok," angguk saya acuh tak acuh.
Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa sebungkus rokok mild sambil tersenyum. Senyum yang tulus, entahlah jika ia tidak mendapatkan rokok itu masihkah ada senyum di bibirnya. Saya tidak perduli.
"Mau lagu apa?" tanya dia sambil tangannya memegang remote.
"Lagu apa saja, yang penting enak didengar," jawab saya sambil menenggak minuman dalam gelas.
"Ya udah lagu ini saja yah," ucapnya sambil memindahkan lagu dan memilih satu lagu, sepertinya lagu favorit dia.
"Ok," sahut saya sambil menyedot dalam-dalam rokok lalu meniupkan asapnya ke atas.
"Lagi suntuk yah," tanyanya sambil mengelus mesra tangan ini.
"Begitulah," jawab saya pendek.
"Sering ke tempat seperti ini?" lanjutnya.
"Jarang. Paling kalo lagi mau saja."
"Ow, kok sendiri, gak bawa teman?"
"Saya lebih senang sendiri."
"Sudah berkeluarga?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Belum dapat jodohnya."
"Ah masa sih, terlalu pilih-pilih kali masnya."
"Boleh dong pilih-pilih, yang sudah punya isteri aja milih perawan kalo bisa yang cantik, apalagi saya yang bujangan," elak saya sambil tertawa.
"Hehehe bener, sekarang banyak yang tua dan beristeri kimpoi lagi sama perawan, cantik pula apalagi si mas ini. Memang usianya berapa?"
"Yah cukup matanglah untuk segera berkeluarga."
"Wah, cepetan nikah biar ada yang ngurus entar keabisan sama yang lain."
"Hehe... masa sih kehabisan. Itu yang kuliah banyak, yang smp dan sma banyak dan yang jomblo kaya saya juga banyak pastinya. Ngomong-ngomong mba mawar sudah berkeluarga?"
"Sudah, anak saya satu."
"Suaminya orang mana?"
"Tetangga kampung, namun sudah meninggal dua tahun yang lalu."
"Oh, sendiri ternyata."
"Iyah."
"Belum ada calon pengganti?"
"Belum mas, mana ada sih yang mau sama saya."
"Ah jangan suka merendah begitu. Mba kan cantik, tubuh semok begini, ga percaya saya kalo tidak ada yang mau."
"Ih pake gak percaya segala, lah ini buktinya sekarang saya masih sendiri mas," rungutnya manja.
"Apa tidak ada seseorang yang mendekati mba?"
"Ada sih beberapa orang, namun setelah tahu pekerjaan saya, mereka mundur teratur."
"Oh begitu."
"Iyah, saya sih faham. Pastinya mereka ingin mempunyai isteri baik-baik dari keluarga baik-baik pula. Seperti si mas ini, pasti tidak mau sama cewek kayak saya ini kan?" tanyanya membuat saya sedikit terbengong dan kaget, tidak menyangka bakal ditanya begitu.
"Oh hehe... gimana yah. Memang sih jujur saja, untuk saat ini saya seperti kebanyakan lelaki menginginkan wanita dengan kriteria yang mba sebutkan tadi," sahut saya dengan sedikit ragu, takut menyinggung perasaannya.
"Tuh kan, seperti saya katakan tadi dan saya faham betul dengan hal tersebut."
"Memang kalo saya mau sama mba kira-kira mba mau sama saya?" canda saya mencoba mendalami hatinya.
"Hahaha... si mas ini becanda tidak mungkinlah jika si mas mau sama saya."
"Kalau misalnya saya serius mau."
"Tidak.... tidak mungkinlah, saya begini keadaannya sudah punya anak pula."
"Siapa tahu kalau jodoh, kita kan tidak tahu apa yang akan terjadi. Gimana?"
"Hmm... walau satu dari seribu kemungkinan, jika memang si mas jodoh dan serius dengan saya, ada beberapa permintaan yang mesti mas penuhi. Pertama, tolong angkat saya dari tempat ini. Kedua, saya minta si mas tidak datang-datang lagi ke tempat seperti ini," ucapnya kali ini agak serius dan jawabannya sedikit membuat saya tertarik.
"Kenapa saya mesti mengangkat mba dari tempat ini, apakah mba tidak betah di sini?"
"Tidak dan sudah lama saya ingin keluar dari tempat ini."
"Maksudnya mau pindah ke tempat lain yang lebih ramai?"
"Bukan mas, sebenarnya saya tidak ingin berada di tempat seperti ini. Saya ingin berada di rumah dan mengurus suami serta anak seperti layaknya wanita kebanyakan."
"Pasti mba ini tulang punggung keluarga?"
"Betul dan saya terpaksa ada di sini, jika tidak, darimana kami makan."
"Apa tidak ada pekerjaan lain?"
"Saya hanya lulusan smp mas dan dari kampung pula. Di sana paling kami kerja menanam dan menuai padi milik orang lain, tapi itu tidak setiap hari dan setiap bulan, sedangkan kami makan tiap hari. Jadi, ketika tetangga menawarkan pekerjaan ini saya tidak dapat menolaknya terdesak oleh kebutuhan."
"Anaknya sudah sekolah?"
"Sudah di PAUD."
"Di kampung?"
"Iyah sama neneknya, keluarga saya satu-satunya."
"Oh berat juga yah beban hidup mba."
"Begitulah."
"Lalu larangan untuk saya agar tidak datang ke tempat seperti ini lagi?"
"Maaf yah mas kalau nanti jawaban saya membuat mas tersinggung."
"Gak apa-apa santai saja."
"Saya di sini karena terpaksa dan menunggu kesempatan untuk keluar sedangkan si mas tidak. Mungkin si mas ke sini karena tidak ada teman curhat, teman untuk mengadu atau tempat pelarian dari segala masalah yang ada.
Padahal jalan untuk itu terbuka lebar, misalnya menikah biar ada teman untuk berbagi dan saling menyayangi, jalan-jalan ke tempat wisata menjelajah dunia yang baru, pergi dengan orang-orang yang mempunyai hobi sama misalnya ke laut untuk memancing atau ke tempat pengajian karena sumber penghasilan sudah ada tidak seperti saya saat ini, kalau tidak begini dari mana kami makan?" ujarnya membuat saya terpana untuk sesaat. Sebuah jawaban yang menohok ulu hati. Niat bercanda tadi kini mulai berubah, ada suatu rasa aneh mengalir di hati, suatu rasa yang beda.
Untuk sesaat ia terdiam menatap saya seperti mencari-cari apa yang ada dalam hati dan untuk sesaat pula saya terdiam.
"Mas tersinggung yah?" ucapnya dengan mimik muka penuh rasa khawatir. Tangannya meraih tangan saya dan meremasnya lembut.
"Tidak, saya tidak tersinggung. Memang begitulah keadaannya."
"Maaf yah mas kalau tersinggung, mungkin kita ganti topik pembicaraan yang lain saja atau kita menyanyi saja yuk, gimana?" tanyanya masih digayuti perasaan bersalah.
"Nggak kok, beneran saya nggak tersinggung," sahut saya.
"Ah, saya takut mas, kelihatannya mas jadi memikirkan sesuatu gara-gara ucapan saya tadi."
"Hehe... beneran mba saya tidak tersinggung. Saya memang sedang memikirkan sesuatu, tapi bukan rasa tersinggung karena ucapan mba tadi."
"Kalau boleh tahu, sedang memikirkan apa dong?"
"Sebentar yah, nanti saya kasih tahu," sahut saya.
"Baik mas."
Saya tatap wajahnya dengan seksama, "cantik juga nih cewek," batin saya.
Lama kami terdiam hingga saya kembali membuka obrolan.
"Begini mba, setelah menimang-nimang dan memikirkan ucapan mba tadi sepertinya saya memang harus segera menikah agar hidup ini terarah dan mempunyai teman untuk berbagi, baik suka maupun duka. Kira-kira mba mau nggak menikah dengan saya?" ucap saya membuat dia terkejut dengan pandangan seakan tidak percaya.
"Hehe becanda lagi nih si mas." cibirnya sambil tertawa.
"Nggak mba, saya serius dan tidak main-main," balas saya, kali ini dengan ekspresi wajah sungguh-sungguh.
"Darimana saya tahu kalau si mas serius ingin menikah dengan saya?"
"Begini saja deh, saya balik, apa kira-kira yang bisa membuat mba yakin kalau saya tidak sedang main-main?" tantang saya.
"Hmm... coba perlihatkan KTP mas kepada saya," pintanya.
Tanpa banyak bicara saya membuka dompet dan mengeluarkan KTP kemudian menyerahkannya kepada dia. Tampak ia membaca data diri saya sebentar kemudian menyerahkan kembali KTP itu pada saya.
"Apalagi?"
"Berapa uang yang mas pegang di dompet?"
"Dua juta."
"Berikan kepada saya satu setengah juta."
"Nih," ucap saya sambil menyerahkan uang yang diminta setelah beres menghitung dan mengambilnya dari dompet. Entah kenapa saya tidak ragu.
Tampak air mata tiba-tiba menggenang di kedua sudut matanya ketika uang itu telah digenggamnya.
"Alhamdulillah ya Allah," lirihnya parau menahan tangis. Saya hanya diam mencoba mereka-reka apa yang ada di pikirannya.
"Mas, tunggu saya di sini sebentar," pintanya sambil berdiri.
"Mau kemana?" tanya saya penasaran.
"Saya mau mengambil sesuatu." jawabnya sambil melangkah keluar. Tak butuh lima menit ia sudah kembali. Di tangannya nampak tergenggam sobekan bungkus rokok.
"Mas, ini alamat kampung dan nomor telepon saya yang bisa dihubungi jika memang serius ingin menikah dengan saya," ucapnya sambil mengulurkan sobekan bungkus rokok itu ke tangan saya. Dengan cepat saya terima sobekan itu, melihatnya sekilas kemudian memasukannya ke dalam saku jaket.
"Saya tunggu kedatangannya tanggal satu bulan depan di rumah. Dan satu lagi permintaan saya, pulang dan istirahatlah ke rumah saat ini juga agar mas bisa berpikir lebih jernih lagi," lanjutnya.
"Baiklah," jawab saya sambil berdiri dan melangkah keluar.
"Langsung bayar di kasir mas." ucapnya ketika kami di bawah.
Tanpa banyak basa-basi saya langsung membayar tagihan. Beres membayar, saya melangkah ke luar diiringi olehnya.
"Makasih yah mas," ucapnya sambil mengulurkan tangan mengajak salaman. Saya menerima uluran tangannya dengan cepat kemudian melangkah ke tempat parkir. Motor saya lajukan ke jalan menuju rumah secara perlahan, ketika saya menengok ke belakang tampak ia masih berdiri di pintu menatap saya, tangannya melambai. Ada sebuah perasaan aneh yang menyelusup ke dalam bathin. Cintakah?
Tiba di rumah, saya diam dan merenung, memikirkan apa saja yang baru terjadi. Gilakah? tepatkah? tidak terburu-burukah? kenapa saya mengambil keputusan itu? bukannya saya belum mengenalnya? dan segala macam pikiran bercampur aduk hingga saya tertidur.
Akhirnya tanggal itu tiba, di pagi hari yang indah saya bergegas melajukan motor menuju kampung mawar. Sedikit berbunga-bunga hati ini, merasa yakin bahwa keputusan menikah dengan Mawar adalah keputusan yang tepat. Seminggu sepertinya waktu berpikir yang tidak sebentar.
Tiba di rumahnya yang sederhana ia yang membukakan pintu. Cukup terperanjat saya ketika melihat tampilannya. Jilbab putih yang dikenakan membuatnya tampil beda, cantik sekali. Sesaat saya terpana. Benarkah ini dia?
"Apa kabar mas, sehat?" tanyanya sambil tangan dia terulur mengajak salaman membuyarkan kekagetan saya.
"Alhamdulillah baik, bagaimana keadaan kamu?" jawab saya.
"Seperti yang mas lihat, saya sehat-sehat saja. Ayo duduk mas," ajaknya sambil menunjuk pada sebuah kursi usang. Sayapun mengikutinya.
Tak lama kemudian keluar ibu dan anaknya. Mereka menyalami saya satu persatu. Ibunya terlihat sudah tua sekali, wajah keriput dengan uban menyelimuti kepalanya, seseorang yang patut dikasihani. Anaknya... ah ini dia yang membuat saya tertarik. Kulitnya putih, pipinya kembung dan selalu tersenyum. Seorang anak yang cantik.
"Namanya siapa?" tanya saya sambil mengelus pipinya.
"Naila," jawabnya sambil tersenyum malu-malu.
"Oh Naila, umurnya berapa?" lanjut saya sambil meraihnya dalam rangkulan. Nailapun pasrah dalam rengkuhan saya.
"Lima tahun dan aku sudah sekolah loh," jawabnya menggemaskan membuat saya tidak dapat menahan diri untuk menciumnya. Sekilas saya lihat mata Mawar berkaca-kaca dan memalingkan muka sambil mengusap sesuatu di matanya. Sepertinya ia menangis.
Cukup lama kami berbasa-basi hingga obrolan serius dimulai ketika selesai makan.
"Mas, apakah maksud kedatangan mas ke sini sebenarnya?" tanya Mawar membuka obrolan kami.
"Seperti yang saya ucapkan kemarin, saya datang ke sini untuk menikahi kamu," jawab saya sedikit heran dengan pertanyaannya.
"Tidak ada maksud lain?"
"Maksud lain bagaimana?"
"Mungkin kedatangan mas ke sini ingin membatalkan niat mas menikahi saya dan mengambil kembali uang ini karena kemarin mas lagi dalam keadaan kacau dan banyak pikiran namun mas ragu serta merasa kasihan melihat keadaan saya saat ini sehingga tidak jadi mengurungkan niat tersebut," sahutnya sambil mengambil amplop dari atas rak kemudian menyimpannya di atas meja. Sepertinya berisi uang yang saya berikan kemarin.
"Tidak. Memang untuk beberapa saat saya ragu, ada beberapa hal yang membuat saya mempertimbangkan keputusan ini matang-matang. Namun saya menepis keragu-raguan itu dan kini tekad saya sudah bulat untuk mengawini kamu."
"Serius mas? Saya tidak apa-apa kok kalau mas mau membatalkan niat tersebut, jangan sampai ada perasaan terpaksa."
"Serius sekali. Tidak ada selintaspun pikiran kasihan, niat ini sudah ada semenjak dari rumah, tidak datang hanya karena melihat keadaan rumah atau keluarga ini," jawab saya dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu saya percaya keseriusan mas kali ini. Ini saya kembalikan uang mas, saya tidak berhak memilikinya."
"Apakah kamu tidak mau saya nikahi?" tanya saya dengan terheran-heran.
"Mau."
"Lalu kenapa kamu kembalikan uang ini?"
"Uang itu kan punya mas bukan punya saya, maka saya kembalikan."
"Hm... tidak salah memang keputusan saya ini dan dengan sikap kamu ini saya makin yakin kalau kamu wanita yang layak untuk diperjuangkan dan menghilangkan salah satu keraguan yang selama ini masih terus menghantui pikiran."
"Saya tahu keraguan mas."
"Oh ya, coba sebutkan."
"Mas ragu apakah saya cewek matre atau bukan, begitukan."
"Hehe... lupakan saja, sudah terjawab kok. Sekarang begini saja, uang itu adalah mahar saya untuk perkimpoian kita. Dan ini saya tambah untuk biaya pernikahannya," ucap saya sambil menyodorkan amplop dari saku jaket.
"Alhamdulillah," terdengar ibunya mengucapkan kata itu sedang Mawar menangis bahagia di pangkuan beliau.
Akhirnya kamipun menikah dengan acara yang sederhana. Ternyata setelah menikah saya sangat merasa tenang dan damai. Mawar isteri yang sangat pengertian dan sabar sekali. Kami bersama-sama mencoba untuk kembali ke jalan yang lurus, ingat kepada Tuhan kalau Dia maha melihat. Semenjak itu pula saya tidak pernah dan tidak ingin datang ke tempat minum-minum lagi.
Saya mengangkat Mawar dari dunianya dan ia mengangkat saya dari dunia saya. Jika karena pekerjaannya dulu dia disebut jablay, tentunya dia bukan sembarang jablay dan saya tidak berhak mengatakan dia jablay karena dulu sayapun adalah lelaki jablay. Apalagi sekarang, dia adalah isteri saya... yang tercinta tentunya.
Kunjungi blog saya:
https://bundelanilmu.blogspot.com
Atau bisa langsung baca artikel ini:
Ketemu Cewek Bening di Ranca Upas
Atau yang ini:
Rezeki dari Copet
Malam itu selepas isya, saya berkunjung ke sebuah warung remang-remang di pinggir kota. Sengaja memilih tempat ini, selain untuk mencari hiburan yang murah juga demi menghindar dari orang-orang yang saya kenal. Ternyata saya masih punya rasa malu juga walaupun itu hanya terhadap manusia, entahlah terhadap Tuhan. Mungkin karena Dia tidak melihat, jadinya saya tidak takut bertemu denganNya.
Suntuk dan stress dari pekerjaan membuat saya ingin berlari dari hal itu dengan mencari hiburan. Sepertinya beberapa botol minuman diiringi dengan suara musik dangdut dan yang paling penting adalah ditemani seorang wanita akan menjadi obat bagi jiwa saya. Tuhan? entahlah, mungkin dia opsi terakhir dari beribu cara untuk menghilangkan kepenatan jiwa ini.
Tiba di sebuah warung, tidaklah terlihat ada sebuah keramaian layaknya tempat hiburan karena tempat itu dari nama yang terpampang di dinding adalah sebuah warung makan. Saya parkirkan motor agak terlindung dari jalan mencoba menyembunyikan pelat nomor dari jangkauan pandangan orang-orang yang lewat.
Beres memarkirkan motor, tengok kanan dan kiri, demi dirasa aman cepat-cepat saya masuk. Di dalam, tampak beberapa wanita sedang merokok sambil menonton televisi yang memutar lagu dangdut.
Tertarik saya dengan penyanyi yang sedang bergoyang di layar. Begitu bergairah, erotis dan mengundang birahi. Ah, tak kuasa saya untuk menahan agar sesuatu yang ada di celana tidak berdiri tegar. Mungkin sebuah naluri tidak bisa berbohong. Walau samar-samar sebuah peringatan melintas sekelebat yang mengatakan "jaga pandanganmu", mungkin nafsu ini energinya lebih besar karena sering diberi makan dibanding hati ini sehingga peringatan itu layaknya angin lalu saja.
"Mas, mau makan atau mau minum?" tegur seorang wanita muda yang sedang duduk di meja sambil tersenyum ramah. Di tangannya sebuah rokok ringan mengepulkan asap.
Penampilannya membuat saya bergetar. Dengan kaos dan celana ketat yang memperlihatkan tubuhnya yang sintal serta bagian atasnya yang rendah memperlihatkan sebagian dada membuat mata saya tertuju ke sana.
"Mau minum, Mba," sahut saya sambil duduk di sampingnya.
"Oh, mau minum. Mau ditemani sama siapa. Ini Maya, itu Desi, yang depan Bunga dan saya Mawar silahkan dipilih," sebutnya sambil memperkenalkan teman-teman yang ada di samping dan depan tempat ia duduk.
Sayapun langsung melihat-lihat wajah dan penampilan mereka. Setelah menimbang sebentar akhirnya saya putuskan untuk memilih Mawar. Selain wajah dan tubuhnya yang enak dipandang, riasan sederhana juga karena ia mau menyapa duluan. Biasanya wanita seperti ini asyik untuk diajak ngobrol dan terbuka pikir saya.
"Saya sama Mba aja, yang lain maaf yah," jawab saya sambil memandang wanita yang lainnya.
"Gak apa-apa," terdengar beberapa orang menyahut membuat saya lega.
"Ya udah kalau begitu, yuk kita minumnya di kamar atas," ajak Mawar kepada saya sambil memegang tangan dan menarik mesra dari tempat duduk.
"Ayo," sahut saya sambil berdiri dan mengikuti langkah wanita itu.
Tiba di atas, nampak sebuah ruangan yang redup diterangi dengan lampu warna-warni. Kursi dan meja menghadap sebuah televisi seperti di bawah tadi mengisi perabotan ruangan. Di atas meja penuh dengan minuman keras beraneka merk ditemani dengan gelas dan asbak.
Setelah kami masuk, Mawar dengan sigap menutup pintu kemudian menyalakan televisi dan memutar CD. Beres itu ia menghampiri saya, tubuhnya menempel di badan ini membuat saya panas dingin.
"Mau minum apa?" terdengar suaranya mesra seolah rayuan untuk membuat tangan saya merogoh kantong dalam-dalam.
"Itu saja," jawab saya sambil menunjuk sebuah minuman yang beralkohol ringan. Sengaja saya memilih minuman tersebut karena tidak ingin mabuk.
"Oh yang ini," sahutnya sambil cekatan membuka minuman dan menuangkannya ke gelas, kemudian menyodorkan minuman itu ke hadapan saya.
"Mau rokok apa?" lanjutnya. Kembali tangan dia mendekap saya.
"Nggak, saya sudah membawa rokok sendiri," jawab saya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju kemudian menyalakannya.
"Rokok saya habis nih mas, saya dibelikan yah," rayunya sambil mengelus-elus tangan membuat saya luluh.
"Ya sudah ambil saja," sahut saya santai.
"Makasih yah. Bentar saya ambil dulu rokoknya, gak lama kok," ucapnya sumringah.
"Ok," angguk saya acuh tak acuh.
Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa sebungkus rokok mild sambil tersenyum. Senyum yang tulus, entahlah jika ia tidak mendapatkan rokok itu masihkah ada senyum di bibirnya. Saya tidak perduli.
"Mau lagu apa?" tanya dia sambil tangannya memegang remote.
"Lagu apa saja, yang penting enak didengar," jawab saya sambil menenggak minuman dalam gelas.
"Ya udah lagu ini saja yah," ucapnya sambil memindahkan lagu dan memilih satu lagu, sepertinya lagu favorit dia.
"Ok," sahut saya sambil menyedot dalam-dalam rokok lalu meniupkan asapnya ke atas.
"Lagi suntuk yah," tanyanya sambil mengelus mesra tangan ini.
"Begitulah," jawab saya pendek.
"Sering ke tempat seperti ini?" lanjutnya.
"Jarang. Paling kalo lagi mau saja."
"Ow, kok sendiri, gak bawa teman?"
"Saya lebih senang sendiri."
"Sudah berkeluarga?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Belum dapat jodohnya."
"Ah masa sih, terlalu pilih-pilih kali masnya."
"Boleh dong pilih-pilih, yang sudah punya isteri aja milih perawan kalo bisa yang cantik, apalagi saya yang bujangan," elak saya sambil tertawa.
"Hehehe bener, sekarang banyak yang tua dan beristeri kimpoi lagi sama perawan, cantik pula apalagi si mas ini. Memang usianya berapa?"
"Yah cukup matanglah untuk segera berkeluarga."
"Wah, cepetan nikah biar ada yang ngurus entar keabisan sama yang lain."
"Hehe... masa sih kehabisan. Itu yang kuliah banyak, yang smp dan sma banyak dan yang jomblo kaya saya juga banyak pastinya. Ngomong-ngomong mba mawar sudah berkeluarga?"
"Sudah, anak saya satu."
"Suaminya orang mana?"
"Tetangga kampung, namun sudah meninggal dua tahun yang lalu."
"Oh, sendiri ternyata."
"Iyah."
"Belum ada calon pengganti?"
"Belum mas, mana ada sih yang mau sama saya."
"Ah jangan suka merendah begitu. Mba kan cantik, tubuh semok begini, ga percaya saya kalo tidak ada yang mau."
"Ih pake gak percaya segala, lah ini buktinya sekarang saya masih sendiri mas," rungutnya manja.
"Apa tidak ada seseorang yang mendekati mba?"
"Ada sih beberapa orang, namun setelah tahu pekerjaan saya, mereka mundur teratur."
"Oh begitu."
"Iyah, saya sih faham. Pastinya mereka ingin mempunyai isteri baik-baik dari keluarga baik-baik pula. Seperti si mas ini, pasti tidak mau sama cewek kayak saya ini kan?" tanyanya membuat saya sedikit terbengong dan kaget, tidak menyangka bakal ditanya begitu.
"Oh hehe... gimana yah. Memang sih jujur saja, untuk saat ini saya seperti kebanyakan lelaki menginginkan wanita dengan kriteria yang mba sebutkan tadi," sahut saya dengan sedikit ragu, takut menyinggung perasaannya.
"Tuh kan, seperti saya katakan tadi dan saya faham betul dengan hal tersebut."
"Memang kalo saya mau sama mba kira-kira mba mau sama saya?" canda saya mencoba mendalami hatinya.
"Hahaha... si mas ini becanda tidak mungkinlah jika si mas mau sama saya."
"Kalau misalnya saya serius mau."
"Tidak.... tidak mungkinlah, saya begini keadaannya sudah punya anak pula."
"Siapa tahu kalau jodoh, kita kan tidak tahu apa yang akan terjadi. Gimana?"
"Hmm... walau satu dari seribu kemungkinan, jika memang si mas jodoh dan serius dengan saya, ada beberapa permintaan yang mesti mas penuhi. Pertama, tolong angkat saya dari tempat ini. Kedua, saya minta si mas tidak datang-datang lagi ke tempat seperti ini," ucapnya kali ini agak serius dan jawabannya sedikit membuat saya tertarik.
"Kenapa saya mesti mengangkat mba dari tempat ini, apakah mba tidak betah di sini?"
"Tidak dan sudah lama saya ingin keluar dari tempat ini."
"Maksudnya mau pindah ke tempat lain yang lebih ramai?"
"Bukan mas, sebenarnya saya tidak ingin berada di tempat seperti ini. Saya ingin berada di rumah dan mengurus suami serta anak seperti layaknya wanita kebanyakan."
"Pasti mba ini tulang punggung keluarga?"
"Betul dan saya terpaksa ada di sini, jika tidak, darimana kami makan."
"Apa tidak ada pekerjaan lain?"
"Saya hanya lulusan smp mas dan dari kampung pula. Di sana paling kami kerja menanam dan menuai padi milik orang lain, tapi itu tidak setiap hari dan setiap bulan, sedangkan kami makan tiap hari. Jadi, ketika tetangga menawarkan pekerjaan ini saya tidak dapat menolaknya terdesak oleh kebutuhan."
"Anaknya sudah sekolah?"
"Sudah di PAUD."
"Di kampung?"
"Iyah sama neneknya, keluarga saya satu-satunya."
"Oh berat juga yah beban hidup mba."
"Begitulah."
"Lalu larangan untuk saya agar tidak datang ke tempat seperti ini lagi?"
"Maaf yah mas kalau nanti jawaban saya membuat mas tersinggung."
"Gak apa-apa santai saja."
"Saya di sini karena terpaksa dan menunggu kesempatan untuk keluar sedangkan si mas tidak. Mungkin si mas ke sini karena tidak ada teman curhat, teman untuk mengadu atau tempat pelarian dari segala masalah yang ada.
Padahal jalan untuk itu terbuka lebar, misalnya menikah biar ada teman untuk berbagi dan saling menyayangi, jalan-jalan ke tempat wisata menjelajah dunia yang baru, pergi dengan orang-orang yang mempunyai hobi sama misalnya ke laut untuk memancing atau ke tempat pengajian karena sumber penghasilan sudah ada tidak seperti saya saat ini, kalau tidak begini dari mana kami makan?" ujarnya membuat saya terpana untuk sesaat. Sebuah jawaban yang menohok ulu hati. Niat bercanda tadi kini mulai berubah, ada suatu rasa aneh mengalir di hati, suatu rasa yang beda.
Untuk sesaat ia terdiam menatap saya seperti mencari-cari apa yang ada dalam hati dan untuk sesaat pula saya terdiam.
"Mas tersinggung yah?" ucapnya dengan mimik muka penuh rasa khawatir. Tangannya meraih tangan saya dan meremasnya lembut.
"Tidak, saya tidak tersinggung. Memang begitulah keadaannya."
"Maaf yah mas kalau tersinggung, mungkin kita ganti topik pembicaraan yang lain saja atau kita menyanyi saja yuk, gimana?" tanyanya masih digayuti perasaan bersalah.
"Nggak kok, beneran saya nggak tersinggung," sahut saya.
"Ah, saya takut mas, kelihatannya mas jadi memikirkan sesuatu gara-gara ucapan saya tadi."
"Hehe... beneran mba saya tidak tersinggung. Saya memang sedang memikirkan sesuatu, tapi bukan rasa tersinggung karena ucapan mba tadi."
"Kalau boleh tahu, sedang memikirkan apa dong?"
"Sebentar yah, nanti saya kasih tahu," sahut saya.
"Baik mas."
Saya tatap wajahnya dengan seksama, "cantik juga nih cewek," batin saya.
Lama kami terdiam hingga saya kembali membuka obrolan.
"Begini mba, setelah menimang-nimang dan memikirkan ucapan mba tadi sepertinya saya memang harus segera menikah agar hidup ini terarah dan mempunyai teman untuk berbagi, baik suka maupun duka. Kira-kira mba mau nggak menikah dengan saya?" ucap saya membuat dia terkejut dengan pandangan seakan tidak percaya.
"Hehe becanda lagi nih si mas." cibirnya sambil tertawa.
"Nggak mba, saya serius dan tidak main-main," balas saya, kali ini dengan ekspresi wajah sungguh-sungguh.
"Darimana saya tahu kalau si mas serius ingin menikah dengan saya?"
"Begini saja deh, saya balik, apa kira-kira yang bisa membuat mba yakin kalau saya tidak sedang main-main?" tantang saya.
"Hmm... coba perlihatkan KTP mas kepada saya," pintanya.
Tanpa banyak bicara saya membuka dompet dan mengeluarkan KTP kemudian menyerahkannya kepada dia. Tampak ia membaca data diri saya sebentar kemudian menyerahkan kembali KTP itu pada saya.
"Apalagi?"
"Berapa uang yang mas pegang di dompet?"
"Dua juta."
"Berikan kepada saya satu setengah juta."
"Nih," ucap saya sambil menyerahkan uang yang diminta setelah beres menghitung dan mengambilnya dari dompet. Entah kenapa saya tidak ragu.
Tampak air mata tiba-tiba menggenang di kedua sudut matanya ketika uang itu telah digenggamnya.
"Alhamdulillah ya Allah," lirihnya parau menahan tangis. Saya hanya diam mencoba mereka-reka apa yang ada di pikirannya.
"Mas, tunggu saya di sini sebentar," pintanya sambil berdiri.
"Mau kemana?" tanya saya penasaran.
"Saya mau mengambil sesuatu." jawabnya sambil melangkah keluar. Tak butuh lima menit ia sudah kembali. Di tangannya nampak tergenggam sobekan bungkus rokok.
"Mas, ini alamat kampung dan nomor telepon saya yang bisa dihubungi jika memang serius ingin menikah dengan saya," ucapnya sambil mengulurkan sobekan bungkus rokok itu ke tangan saya. Dengan cepat saya terima sobekan itu, melihatnya sekilas kemudian memasukannya ke dalam saku jaket.
"Saya tunggu kedatangannya tanggal satu bulan depan di rumah. Dan satu lagi permintaan saya, pulang dan istirahatlah ke rumah saat ini juga agar mas bisa berpikir lebih jernih lagi," lanjutnya.
"Baiklah," jawab saya sambil berdiri dan melangkah keluar.
"Langsung bayar di kasir mas." ucapnya ketika kami di bawah.
Tanpa banyak basa-basi saya langsung membayar tagihan. Beres membayar, saya melangkah ke luar diiringi olehnya.
"Makasih yah mas," ucapnya sambil mengulurkan tangan mengajak salaman. Saya menerima uluran tangannya dengan cepat kemudian melangkah ke tempat parkir. Motor saya lajukan ke jalan menuju rumah secara perlahan, ketika saya menengok ke belakang tampak ia masih berdiri di pintu menatap saya, tangannya melambai. Ada sebuah perasaan aneh yang menyelusup ke dalam bathin. Cintakah?
Tiba di rumah, saya diam dan merenung, memikirkan apa saja yang baru terjadi. Gilakah? tepatkah? tidak terburu-burukah? kenapa saya mengambil keputusan itu? bukannya saya belum mengenalnya? dan segala macam pikiran bercampur aduk hingga saya tertidur.
Akhirnya tanggal itu tiba, di pagi hari yang indah saya bergegas melajukan motor menuju kampung mawar. Sedikit berbunga-bunga hati ini, merasa yakin bahwa keputusan menikah dengan Mawar adalah keputusan yang tepat. Seminggu sepertinya waktu berpikir yang tidak sebentar.
Tiba di rumahnya yang sederhana ia yang membukakan pintu. Cukup terperanjat saya ketika melihat tampilannya. Jilbab putih yang dikenakan membuatnya tampil beda, cantik sekali. Sesaat saya terpana. Benarkah ini dia?
"Apa kabar mas, sehat?" tanyanya sambil tangan dia terulur mengajak salaman membuyarkan kekagetan saya.
"Alhamdulillah baik, bagaimana keadaan kamu?" jawab saya.
"Seperti yang mas lihat, saya sehat-sehat saja. Ayo duduk mas," ajaknya sambil menunjuk pada sebuah kursi usang. Sayapun mengikutinya.
Tak lama kemudian keluar ibu dan anaknya. Mereka menyalami saya satu persatu. Ibunya terlihat sudah tua sekali, wajah keriput dengan uban menyelimuti kepalanya, seseorang yang patut dikasihani. Anaknya... ah ini dia yang membuat saya tertarik. Kulitnya putih, pipinya kembung dan selalu tersenyum. Seorang anak yang cantik.
"Namanya siapa?" tanya saya sambil mengelus pipinya.
"Naila," jawabnya sambil tersenyum malu-malu.
"Oh Naila, umurnya berapa?" lanjut saya sambil meraihnya dalam rangkulan. Nailapun pasrah dalam rengkuhan saya.
"Lima tahun dan aku sudah sekolah loh," jawabnya menggemaskan membuat saya tidak dapat menahan diri untuk menciumnya. Sekilas saya lihat mata Mawar berkaca-kaca dan memalingkan muka sambil mengusap sesuatu di matanya. Sepertinya ia menangis.
Cukup lama kami berbasa-basi hingga obrolan serius dimulai ketika selesai makan.
"Mas, apakah maksud kedatangan mas ke sini sebenarnya?" tanya Mawar membuka obrolan kami.
"Seperti yang saya ucapkan kemarin, saya datang ke sini untuk menikahi kamu," jawab saya sedikit heran dengan pertanyaannya.
"Tidak ada maksud lain?"
"Maksud lain bagaimana?"
"Mungkin kedatangan mas ke sini ingin membatalkan niat mas menikahi saya dan mengambil kembali uang ini karena kemarin mas lagi dalam keadaan kacau dan banyak pikiran namun mas ragu serta merasa kasihan melihat keadaan saya saat ini sehingga tidak jadi mengurungkan niat tersebut," sahutnya sambil mengambil amplop dari atas rak kemudian menyimpannya di atas meja. Sepertinya berisi uang yang saya berikan kemarin.
"Tidak. Memang untuk beberapa saat saya ragu, ada beberapa hal yang membuat saya mempertimbangkan keputusan ini matang-matang. Namun saya menepis keragu-raguan itu dan kini tekad saya sudah bulat untuk mengawini kamu."
"Serius mas? Saya tidak apa-apa kok kalau mas mau membatalkan niat tersebut, jangan sampai ada perasaan terpaksa."
"Serius sekali. Tidak ada selintaspun pikiran kasihan, niat ini sudah ada semenjak dari rumah, tidak datang hanya karena melihat keadaan rumah atau keluarga ini," jawab saya dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu saya percaya keseriusan mas kali ini. Ini saya kembalikan uang mas, saya tidak berhak memilikinya."
"Apakah kamu tidak mau saya nikahi?" tanya saya dengan terheran-heran.
"Mau."
"Lalu kenapa kamu kembalikan uang ini?"
"Uang itu kan punya mas bukan punya saya, maka saya kembalikan."
"Hm... tidak salah memang keputusan saya ini dan dengan sikap kamu ini saya makin yakin kalau kamu wanita yang layak untuk diperjuangkan dan menghilangkan salah satu keraguan yang selama ini masih terus menghantui pikiran."
"Saya tahu keraguan mas."
"Oh ya, coba sebutkan."
"Mas ragu apakah saya cewek matre atau bukan, begitukan."
"Hehe... lupakan saja, sudah terjawab kok. Sekarang begini saja, uang itu adalah mahar saya untuk perkimpoian kita. Dan ini saya tambah untuk biaya pernikahannya," ucap saya sambil menyodorkan amplop dari saku jaket.
"Alhamdulillah," terdengar ibunya mengucapkan kata itu sedang Mawar menangis bahagia di pangkuan beliau.
Akhirnya kamipun menikah dengan acara yang sederhana. Ternyata setelah menikah saya sangat merasa tenang dan damai. Mawar isteri yang sangat pengertian dan sabar sekali. Kami bersama-sama mencoba untuk kembali ke jalan yang lurus, ingat kepada Tuhan kalau Dia maha melihat. Semenjak itu pula saya tidak pernah dan tidak ingin datang ke tempat minum-minum lagi.
Saya mengangkat Mawar dari dunianya dan ia mengangkat saya dari dunia saya. Jika karena pekerjaannya dulu dia disebut jablay, tentunya dia bukan sembarang jablay dan saya tidak berhak mengatakan dia jablay karena dulu sayapun adalah lelaki jablay. Apalagi sekarang, dia adalah isteri saya... yang tercinta tentunya.
Kunjungi blog saya:
https://bundelanilmu.blogspot.com
Atau bisa langsung baca artikel ini:
Ketemu Cewek Bening di Ranca Upas
Atau yang ini:
Rezeki dari Copet
Diubah oleh bayudug 28-04-2019 23:01


someshitness memberi reputasi
1
661
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan