Riak terakhir di telinga, deru angin yang masih terdengar sama. 
Tapi dinginnya kini menelanjangi, sebab arang tak lagi bernama api. Di sana, mengalir hamparan air yang tak pernah wujud pada mata. Mahsyur namanya, kemudian dalam sejarah hidupku jadi cerita. Ada jembatan mimpi yang tak sempat diseberangi. Mengganti nama cinta menjadi doa, dinyatakan berulang kali sambil terus melapangkan hati. 

Kapuas. 
Kepada yang kerap melemparkan kerikil pada arusmu. Ia yang bersorak-sorai di tepian, saat udang menyambar umpan. Tak berwajah aku menyebut namanya. Jengah. Kuhaturkan maaf, bilamana padamu terlampiaskan segenap rasa yang pernah ada. Segala kesumat yang pernah memberangus isi dadanya.

Di sana pada derasmu, mungkin jasadku telah dilarung. Sisa dingin yang nyata. Biar saja namaku terus diziarahi. Menjadi tokoh hidup dalam imajinasi. Lalu didongengkannya pada mereka sebelum tidur atau saat senja hari. Mereka yang akan menjuduli hidupnya nanti. 

Sementara hidup berjudul kita telah menemukan akhirannya. Meski tak serupa dongeng yang menjanjikan akhir bahagia, kita terus berusaha mencari maknanya. Saling melambaikan tangan di tepi jurang yang berbeda. Melanjutkan langkah, sambil terus menahan rongga dada yang menganga. 

Kapuas, kutitip surat dalam untaian doa. Padanya, nama yang tak sanggup lagi kueja. 

Cirebon, 18 Juli 2018.