Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mobagenieAvatar border
TS
mobagenie
Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?








Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?




Saya sedang berada di kafe favorit saat menulis artikel ini. Kopi di sini nikmat, dan koneksi internet yang ada pun cepat. Terkadang saya sulit terhubung dengan jaringan atau kecepatan internetnya lambat—tapi ini jarang terjadi. Hasil standardisasi yang diterapkan oleh para produsen hardware dan developer software menyebabkan berbagai masalah semakin jarang terjadi.

Dunia modern yang kita huni saat ini terdiri dari orang-orang yang hidup dengan peraturan yang berlaku secara umum. Di dunia maya, norma umum bermula dari standar terbuka. Tapi terkadang, ada saja segelintir pihak mencoba mengakali sistem yang berlaku.

Sebagai contoh HTML, bahasa standar pemrograman untuk membangun situs web yang dikembangkan oleh Tim Berners-Lee pada tahun 1990an. Spesifikasi HTML telah berkembang dari tahun ke tahun. World Wide Web Consortium (W3C) bertindak sebagai forum yang bertujuan mencapai konsensus standar dari para pemain besar industri teknologi, seperti Adobe, Apple, Google, Intel, dan Microsoft.

Meski telah tersedia wadahnya, tetap saja terjadi perbedaan pendapat di mana tiap pihak menyodorkan solusi masing-masing. Saat perang browser web pertama terjadi, Netscape mengusulkan Blink Tag, sementara Microsoft menyarankan Marquee sebagai suatu standar.

Tak ada masalah dengan Marquee (di samping estetikanya yang jelek), bukan? Tidak juga. Hanya Netscape Navigator yang mampu memproses Blink, dan hanya Internet Explorer (IE) yang tahu bagaimana merespons Marquee.

Masing-masing pihak berusaha memodifikasi standar yang berlaku, sehingga standar tersebut hanya bisa berfungsi dengan produk masing-masing. Mereka tengah membangun monopoli.Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?Laptop dengan sistem operasi Windows.

Usaha untuk mendominasi


Microsoft memopulerkan strategi “embrace, extend, extinguish“, di mana mereka memasuki suatu kategori produk dengan standar yang berlaku umum, memperluas standar tersebut dengan suatu aturan khusus, dan menggunakan perbedaan unik tersebut untuk menempatkan para kompetitornya pada posisi yang tidak menguntungkan.

Strategi tersebut mereka gunakan untuk mendominasi pasar di mana persaingan merata berkat keberadaan standar terbuka. Begini cara Microsoft mengimplementasikan strateginya.

Mereka ingin agar Office menjadi patokan umum untuk sebuah software produktivitas—dan mereka berhasil melakukannya. Tidak lama setelah menjadi pemain dominan untuk pasar sistem operasi komputer, Microsoft menyadari bahwa tantangan baru sedang menghantuinya.

Penggunaan internet kian merebak, hingga sampai taraf yang tak pernah dibayangkan oleh sebagian besar orang sebelumnya. Orang-orang bisa menjelajahi berbagai situs web yang berada di luar kendali Microsoft. Netscape bahkan memperkenalkan Javascript yang mengizinkan para developer menulis kode program untuk membangun browser web.

Efeknya, Netscape tengah menciptakan sistem operasi komputer baru. Sistem operasi itu terdistribusi di antara browser web pada masing-masing komputer pengguna dan suatu server yang letaknya terpisah.

Lebih buruk (bagi Microsoft), konten dalam web bisa diakses dari semua platform. Semua browser web itu bisa bekerja di Mac, Unix, bahkan Windows. Aplikasi dalam browser berpotensi menghancurkan bisnis model yang telah Microsoft bangun.

Tak tinggal diam, Microsoft merilis IE pada tahun 1995 sebagai pesaing langsung dari Netscape Navigator. IE pada awalnya hanya punya pangsa pasar kecil, kurang dari sepuluh persen pada tahun 1996.

Langkah Microsoft ini tampak seperti mencelupkan kaki ke internet dibanding menyeburkan diri sepenuhnya.

Kondisi persaingan makin panas seiring perilisan IE3 yang dibundel sebagai aplikasi gratis dalam sistem operasi Windows. Browser web ini mengintegrasikan sederet aplikasi yang menjadi bagian dari ekosistem Microsoft: aplikasi manajemen email (yang kemudian berkembang jadi Outlook Express), daftar kontak, dan Windows Media Player.Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?
BACA JUGAMicrosoft kini malah mencoba mengintegrasikan Windows dengan Android



IE4 melanjutkan langkah Microsoft dengan mengikutsertakan aplikasi percakapan pesan teks ataupun panggilan video. Di waktu bersamaan, Microsoft membangun ulang tampilan Windows pada desktop dan membuatnya lebih terasa bagaikan sedang menjelajahi situs web.

Apakah Netscape Navigator bisa berfungsi dalam ekosistem yang telah dibangun Microsoft? Tidak sama sekali. Performanya makin memburuk dalam sistem operasi Windows. Di akhir dekade, IE menguasai 86 persen pangsa pasar browser web. Ini adalah akhir kisah Netscape.

Kini Microsoft tengah berusaha keras menanggalkan reputasi “jahat” yang pernah melekat pada dirinya. Mereka berkontribusi pada sumber dan standar terbuka. Tapi mungkin kita malah punya “antagonis” lain pada saat ini.Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?Tablet dengan sistem operasi Android.

Google, pewaris strategi Microsoft


Pada 31 Maret 2004, dunia teknologi berguncang berkat kabar dari Google.

“Penyedia layanan pencarian internet paling dominan, Google, berencana meningkatkan level kompetisinya dengan Yahoo dan Microsoft lewat layanan surat elektronik baru yang berorientasi pada pengguna.”

Kabar dari Google terdengar tak masuk akal saat itu. Perusahaan pencarian internet? Meluncurkan layanan email gratis? Dengan kapasitas penyimpanan mencapai 1 GB—500 kali lebih besar dibanding layanan Microsoft Hotmail?

Lalu muncul Accelerated Mobile Pages (AMP), teknologi yang memungkinkan laman situs web muncul secara instan pada perangkat mobile. AMP semula diciptakan Google agar media pers bisa berkompetisi dengan Instant Articles (buatan Facebook). Sekarang teknologi ini malah dipakai oleh beragam platform, seperti Reddit, Twitter, dan LinkedIn.

Ada juga peristiwa terkait Google Reader, yang pada akhirnya membunuh RSS. Tingkat penggunaan RSS yang terus turun telah tampak jelas bahkan sebelum Google memutuskan untuk menghentikan Google Reader. Keputusan Google membunuh Reader benar-benar menghilangkan momentum RSS.

Google berkata hendak mengonsolidasikan para pengguna RSS pada sederet layanan yang dimilikinya. Tapi, tak ada satu pun layanan tersebut yang mendukung standar terbuka seperti yang ada di RSS.

Seiring peningkatan pangsa pasar browser web milik Google (hingga mencapai lebih dari enam puluh persen di seluruh dunia), sebagian besar orang mulai membuka fail PDF lewat fitur pembaca PDF bawaan Chrome. Padahal Chrome tidak mendukung semua fitur PDF.

Pada intinya, cara-cara Google telah menghalangi kita menggunakan PDF secara lebih mendalam. Fitur-fitur yang ada dalam layanan JotForm dimatikan di hadapan kami. Semua ini menimbulkan pertanyaan, apa betul Google mendukung sumber terbuka?Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?Produk-produk buatan Apple, iPhone dan Macbook.

Google vs Apple


Pada 1995 lalu, persaingan sengit terjadi antara Microsoft versus Netscape. Kini di 2018, persaingan itu tampak pada Google versus Apple. Perbedaannya ada di strategi.

Google memakai taktik permainan jangka panjang untuk mengalahkan Apple. Alih-alih membuat produk yang jauh lebih canggih dari buatan Apple, mereka lebih memilih mengembangkan produk yang hampir atau sama bagus, tapi lebih murah.

Coba pertimbangkan:
[ul]
[li]Chromebook. Laptop ini tidak seelegan atau secepat Macbook, tapi menawarkan kemampuan serupa. Kamu bisa membeli tiga Chromebook dengan harga satu iPad. Mereka juga dipasarkan dengan cemerlang.[/li]
[li]Android. Sistem operasi untuk perangkat mobile ini bisa dikatakan replika yang sangat mirip dengan iOS.[/li]
[li]Pixel. Dibanding iPhone, smartphone ini digadang-gadang punya kamera lebih bagus, waktu pengecasan lebih singkat, performa lebih halus, dan asisten digital lebih pintar dengan harga lebih murah.[/li]
[/ul]

Google terus memperluas cakupan jenis produk yang dihasilkannya, termasuk kompetitor untuk Amazon Echo, smart router, perangkat VR, dan sederet perangkat lainnya. Meski produk-produk ini juga mendukung perangkat dengan sistem operasi iOS, tapi mereka bisa bekerja dengan lebih baik bila dipasangkan dengan perangkat Android atau smartphone Pixel.

Semua faktor tersebut membuat keputusan untuk berpindah ke ekosistem Google jadi lebih menjanjikan. Apple selama ini telah memotong biaya produksi sambil meningkatkan harga jual produk-produknya, sehingga membuat tingkat kepuasan pelanggan turun.

Belum lagi muncul skandal yang menyebutkan Apple secara sengaja telah memperlambat performa perangkat-perangkat lama buatannya untuk mendorong para pengguna membeli produk baru miliknya.Sepak Terjang Google Justru Menghambat Kemunculan Inovasi? Setuju?
BACA JUGAAlasan harga iPhone makin mahal di Indonesia



Kondisi ini membuat peluang Google menyalip Apple makin terbuka lebar. Loyalitas konsumen Apple disebut-sebut sebagai hambatan terbesar bagi Google untuk memenuhi ambisinya. Tapi bila cukup banyak orang yang merasa kecewa dengan strategi penetapan harga Apple, hal ini bisa jadi sinyal akhir kedigdayaan perusahaan tersebut.
Kemauan berinovasi


Perang browser web berlangsung dua puluh tahun lalu. Kompetisi berlangsung sengit, yang justru berdampak baik karena mencegah terjadinya monopoli. Inovasi hadir berkat keberadaan kompetisi. Persaingan sengit tersebut menghasilkan dunia maya yang kita semua nikmati saat ini.

Bagaimana dengan sekarang? Budaya startup makin menjauh dari “apa yang akan kita kembangkan selanjutnya?” dan cenderung mengarah ke “apa strategi exit kita?”

Perusahaan-perusahaan teknologi besar terus mengakuisisi bisnis yang lebih kecil. Seiring perkembangan monopoli, saya pikir laju inovasi jadi kian melambat.

Keterbukaan dan semangat penambahan nilai dikorbankan demi pendapatan dan pangsa pasar. Google merupakan pihak terdepan dalam hal ini.

Baru-baru ini, Chrome mengumumkan “inisiatifnya yang paling kontroversial sejauh ini”, mereka hendak mendesain ulang URL di seluruh internet. Tanpa URL, satu-satunya cara mengakses situs web adalah melalui Google.

Penulis teknologi Ed Bott membandingkan Google dengan Godzilla, “Google adalah Godzilla, menyapu bersih daratan dan menghancurkan segala hal yang menghalangi jalannya. Hanya beberapa startup dapat bertahan hidup menghadapi sederet layanan gratis dari Google.”

Bott benar. Kenyamanan dan kemampuan yang ditawarkan Google sangat sulit ditandingi. Tapi kita tak boleh memalingkan wajah dalam menghadapi apa yang mereka perbuat.

Bagaimanapun kamu melihatnya, strategi Google berpusat pada embrace, extend, extinguish. Memang tak ada seorang pun dalam Google yang menginstruksikan hal tersebut secara eksplisit seperti yang dilakukan Bill Gates dulu. Tapi mereka tak perlu mengucapkannya—toh hasil akhirnya akan sama saja.

Strategi embrace, extend, extinguish saat ini tampak berbeda dibanding pada 2000 lalu. Strategi ini tampak lebih halus, ramah, dan benar secara politis. Tapi tetap saja berbahaya.

Perang belum usai. Kita harus berjuang mempertahankan keberagaman dalam internet, mendukung standar terbuka, dan mencegah terjadinya monopoli.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Iqbal Kurniawan sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Fairuz Rana Ulfah)


sumber : https://id.techinasia.com/google-ham...ar&cat=2&pos=5
===========
Artikel bagus yang menurut MobaGenie.ID wajib kita baca di Tahun 2019.
===========




0
1.3K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan