Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rinnopiantAvatar border
TS
rinnopiant
BEGINI JADINYA JIKA SUAMIMU PELUPA!
     Memutuskan bersedia hidup bersama dengan seseorang, berarti juga harus siap menerimanya dalam segala kondisi yang ada. Suka duka, tangis tawa, sehat juga sakitnya.

Semula aku tidak menyadari, betapa pria yang kunikahi begitu sangat pelupa. Padahal usia kami hanya terpaut beberapa tahun saja, rupanya perihal ketajaman daya ingat ini bukan tergantung pada berapa angka usia.

Mulai dari hal sepele, sampai pada kasus lupa yang cukup membuatku harus mengurut dada berulang-ulang kali.

"Mau ke mana, Yah?" tanyaku, saat lelakiku akan beranjak pergi.

"Ke minimarket depan, Bu. Kenapa?"

"Nitip ya, Sayang. Tolong belikan sabun mandi."

Beberapa saat kemudian lelakiku kembali. Akan tetapi, bukan dengan sabun mandi. Coba tebak apa yang justru ia beli.

"Ayah, ini apa? Kok, abon sapi?"

"Lah, memangnya tadi Ibu nitip apa?"

"Ya ampun, Pak Aji!" kesalku.

Terkadang begitu sangat kesalnya, hingga ingin rasanya kucari obat anti lupa.

Konon, cinta bisa merubah begitu banyak hal. Maka kucoba melakukan terapi cinta ala-ala pada suamiku. Mencurahkan kasih sayang dan perhatian lebih banyak dari hari lalu. Juga menaikkan dosis manja, biar hanya dia dan aku yang tahu. Demi satu tujuan, berharap penyakit lupanya bisa sembuh. Setidaknya sedikit saja.

"Ayah. Ibu ke pasar, ya. Nanti jemput jam tiga."

"Iya," jawabnya, dengan mata tak lepas dari lembar koran yang sedang ia baca.

"Sayang ...," panggilku lagi. Dengan nada suara lemah lembut. Selembut kulit bayi tikus.

"Apa?" Dia menoleh.

Kucium kening lelakiku sebelum pergi. "Jangan lupa, yaaa. Jam tiga."

"Iyaaa, Bu Aji."

Lalu apa yang terjadi ...

Jam tiga lewat enam puluh menit berlalu, kering kerontang aku menunggu. Mematung di tepi jalan dengan barang belanjaan se-abreg. Suamiku tak juga terlihat helai rambutnya. Jika saja aku tak memikirkan bagaimana jika ia sudah dalam perjalanan, sudah pasti aku lebih memilih berpaling pada abang ojek online. Untuk mengantarkanku pulang.

Keringat mengucur dari dahi. Pegal, seperti akan lepas kakiku berdiri. Berulang kali ponselnya kuhubungi, tetapi nihil.

Beberapa saat kemudian akhirnya ponselku menerima pesan: "Maaf, Sayang. Ayah ketiduran, Ibu nggak bilang, sih, pulangnya jam tiga."

Ya Tuhan, ternyata terapi cintaku pun tak bisa menyembuhkan penyakit lupa suamiku.

Namun, itu belum seberapa. Suatu hari saat entah suamiku mengisi berkas apa, tercantum di sana harus menuliskan nama pribadi juga istri. Namun, saat kubaca lembar kertas itu kembali ....

"Yah. Ririn Aprianti, siapa?" tanyaku, mengerutkan dahi juga menahan isi dadaku yang mulai bergejolak.

"Loh, nama siapa lagi. Namamu toh, Bu."

"Ayah! Namaku Ririn Nopianti, iihh." Kesal, kulempar kertas itu ke lantai lalu merajuk di dalam kamar, seharian.

Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apa waktu itu suamiku benar-benar lupa namaku. Atau jangan-jangan ada wanita lain dalam hidupnya dan ia secara tak sengaja menuliskan nama wanita itu. Ah, menjengkelkan.

Puncaknya, pada suatu siang saat aku pulang dari pengajian. Kaget, kudapati asap hitam memenuhi rumah kami saat membuka pintu. Tanpa pikir panjang segera berlari menuju dapur. Benar saja dugaanku, ada wajan terbakar di atas kompor yang sedang menyala.

"AYAH! AYAH, KEBAKARAN," teriakku, panik.

Tak lama kemudian suamiku datang tak kalah paniknya. Beruntung, api berhasil kami padamkan. Kakiku lemas, aku menangis tersedu di lantai. Bukan menangisi dapurku yang terbakar, tetapi membayangkan entah akan bagaimana seandainya api itu menyambar tabung gas.

"Ayah itu lagi apa? Gimana bisa dapur terbakar, ceroboh!" Sangat marah aku saat itu.

"Ayah lupa, tadi lagi masak ada telepon masuk-"

"Lupa? Terus saja lupa! Gimana kalau aku nggak cepat sampai rumah? Gimana kalau api menyambar ke tabung gas?" Sambil berderai tangis, nada suaraku masih tinggi.

"Sudah, toh. Kan belum sampai terjadi."

"Kamu mau nunggu hal itu sampai terjadi dulu?" Aku beranjak pergi dari dapur, kubanting pintu kamar lalu menenggelamkan wajahku ke bantal. Menangis meraung-raung, menumpahkan sesak di dada.

Tak lama, suara pintu kamar dibuka perlahan. Suamiku mendekap dari belakang.

"Maafkan Ayah ya, Sayang. Ayah ceroboh," sesalnya. Aku tidak menjawab, juga tidak menoleh padanya.

"Sebenarnya tadi Ayah mau masak buat Ibu. Ini hari spesial, bukan?" ucapnya lagi.

Aku tertegun, saat menyadari bahwa hari itu adalah hari jadi pernikahan kami yang kedua. Adalah hal yang ajaib dan mengejutkan, suamiku mengingatnya. Hal itu sedikit mengobati rasa marahku saat itu. Aku membalikkan tubuh, menatap wajah lelakiku.

"Tapi, walaupun masakannya gagal total. Ayah masih punya ini buat Ibu." Disodorkannya setangkai mawar merah.

Aku tersenyum, sebab tahu bunga itu berasal dari halaman kami, yang tentu saja kutanam sendiri. Lelaki tak romantis ini berusaha merayuku dengan mencoba bersikap romantis.

"Ini juga buat Ibu, ingat tentang ini?" sambungnya. Seraya memberi seikat sawi hijau sebagai kado hari jadi pernikahan kami.

Ini menggelikan, karena hal itu mengingatkanku akan kejadian memalukan saat pertama kali mencoba memasak untuknya, sebelum menikah dulu.

"Ya ampun. Sawinya belum matang dan rasanya seperti air laut diberi potongan sawi kan, Yah," kenangku, sambil tersipu.

"Lebih parah dari itu, Sayang," godanya.

"Iihhh, jahat."

"Tapi sekarang, Ibu sudah jago masak. Sampai-sampai Ayah nggak mau makan di luar. Karena masakan Istri di rumah selalu lebih nikmat dan penuh cinta."

Terenyuh dibuatnya, kudekap erat tubuh lelakiku.

"Makasih ya, Ayah. Maaf tadi aku marah-marah. Aku takut ... bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu," tuturku.

"Ayah yang salah."

"Kok, tumben Ayah ingat hari ini. Ayah romantis banget, sih."

"Iya dong. Mana mungkin Ayah lupa hari ulang tahun Istri tercinta."

Aku tersentak mendengar jawabannya. Kutatap lelaki itu dengan wajah cemberut.

"Ayah, ini hari jadi pernikahan kita, bukan hari ulang tahunku," rengekku.

"Masa sih. Oh iyaa ... Ayah lupa, Sayang."

"Ayah, iiihhh." Kucubit pinggang suamiku. Gemas.

Lalu saling kejar kami di dalam rumah, seperti bocah. Mengabaikan dapur yang berantakan tak keruan.
...

   

Tamat.


...
Jangan baper 😝
Cerita ini hanya fiktif belaka.
Ada yang punya pengalaman yang sama?

1
489
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan