- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Opini Badai Ahtadera : Film Sexy Killers Dan Prinsip Hidup Kaum Millenials


TS
YoungExplorers
Opini Badai Ahtadera : Film Sexy Killers Dan Prinsip Hidup Kaum Millenials

"Badai Ahtadera Founder Komunitas YoungExplorers"
Tidak lama setelah debat pilpres, yang kelima, berakhir (13/04) akun Watchdoc mengunggah sebuah film dokumenter berjudul Sexy Killers di Youtube. Film berdurasi 90 menit tersebut sebelumnya sudah banyak diputar di beragam komunitas di berbagai kota sejak awal April, dan mendapat sambutan luar biasa. Saya sendiri, yang tidak pernah ikut nobar, baru tadi malam menyaksikan film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono dan Suparta Arz ini.
Sejujurnya langkah yang dilakukan Watchdoc bisa dibilang nekat. Sebab isu yang mereka angkat melalui film Sexy Killers sangat sensitif, dan bisa dibilang "membunuh" karakter atau persona kedua paslon yang sudah susah payah dibangun melalui kampanye politik. Tapi Watchdoc mampu "bermain cantik" dengan mengunggah film ini tepat di saat masa tenang kampanye, tiga hari sebelum pemilu presiden dilaksanakan. Sehingga sepertinya tidak terlalu berdampak pada elektabilitas kedua paslon.
Dalam film tersebut diceritakan, bahwa industri batu bara dan PLTU di Indonesia ternyata dikuasai sekelompok orang saja. Ada dugaan politik oligarki di lingkaran elite politik Indonesia, termasuk di lingkaran capres dan cawapres, petahana maupun oposisi.
Saya akui isu ini sangat sensitif bila terungkap di momen-momen seperti sekarang, karena dapat memengaruhi keputusan para pemilih. Selain juga rawan disusupi oleh agenda atau kepentingan pihak asing yang ingin mengadu domba. Pasalnya terlihat jelas ada campur tangan LSM asing di situ.
Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa mereka memilih momentum pilpres untuk mengangkat isu ini. Mirip dengan yang dilakukan Joshua Oppenheimer menjelang pilpres 2014 lalu. Saat itu Oppenheimer juga meluncurkan film dokumenter dengan mengangkat isu sensitif, yaitu pembantaian 1965.
Di awal video tersebut, ada sebuah visualisasi cukup apik seolah saat ini ibu pertiwi tengah dirudapaksa. Kemudian ditampilan wajah-wajah rakyat pedesaan yang menjadi korban atas keserahakan pemilik modal. Film yang berdurasi 90 menit itu mampu menguak ketimpangan yang dialami oleh rakyat pedesaan. Karya jurnalis ini layak untuk dijadikan tontonan dan membuka realitas masyarakat yang selama ini tak pernah diperlihatkan di media mainstream.
Saya merasakan tersentuh melihat warga desa yang menjadi korban atas berdirinya tambang batubara. Mereka resah dengan kondisi kesehatannya, merasa tanah dan hidupnya dirampas oleh para penguasa dan pemilik modal. Perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan tak mampu menghentikan keserakahan oligarki elit politik dan pebisnis.
Seorang petani harus menerima nasibnya karena hasil panennya yang terus menurun akibat kerusakan lingkungan di daerah sekitar tambang batubara. Para nelayan kehilangan lahan pekerjaan. Seorang anak meninggal akibat lubang-lubang bekas batubara yang ditinggalkan, sehingga mereka tidak bisa bermain dengan aman dan menyenangkan.
Ada kisah Nyoman Derman yang ditangkap dan dipenjara karena mempertahankan sawahnya di Kutai Kartanegara. Kisah Cayadi dan Carman yang divonis 7 bulan karena menolak menjual tanahnya bagi pembangunan PLTU di Batang. Cerita Ketut Mangku dan warga masyarakat yang menggugat pembangunan PLTU di Celukan Bawang, Buleleng. Hingga perjuangan Suryanah dan Novi yang menderita kanker akibat terpapar polutan batubara dari PLTU Panau di Palu. Mereka adalah para korban kriminalisasi yang berupaya memperjuangkan haknya.
Lantas, siapa dalang di balik penderitaan rakyat itu? Ada belasan perusahaan dan oligarki yang menjadi 'silent killer', mereka membunuh rakyat pedesaan secara perlahan. Mereka seolah diam dan tidak merasa bersalah dengan kerakusan yang telah diperbuatnya. Mengumpulkan kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Kemudian, sistem mereka diubah dan diberi label syariah seolah-olah apa yang mereka kerjakan halal. Seharusnya labeh halal itu juga mempertimbangkan pada pada aspek “toyyib’nya, yakni tanpa merusak alam dan menambah penderitaan rakyatnya.
Biasanya, rakyat yang dipaksa untuk melepas tanahnya demi berdirinya PLTU dijanjikan sebuah pekerjaan. Padahal pekerjaan yang diterima masyarakat hanya berupa buruh kasar untuk membangun gedung dan kontruksi PLTU. setelah itu mereka menganggur. Padahal sebelum ada PLTU, mereka merasa cukup dan hidup tenang meski bekerja sebagai petani.mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lantas pembangunan yang katanya untuk kesejahteraan, mana buktinya?
"Gara-gara orang pintar, gunung dijual, laut ditanami besi, PLTU berdiri, di mana-mana berdiri PLTU, Indonesia tanahnya habis gara-gara PLTU," ujar seorang pria payuh baya asal Batang sambil menangis.
Lantas sikap anak muda seperti kita ini mau apa? Secara pribadi saya lahir dan besar di Kota Solo. Kota yang sumber daya alamnya tidak begitu melimpah seperti daerah-daerah lain. Melihat sexy killers ini saya terenyuh dan merenung. Di balik kehidupan saya yang merasa bahagia ini ada jeritan masyarakat yang menjadi korban.
Sebagai anak kota, saya tentu mendapatkan akses yang sangat mudah dalam beraktivitas sehari-hari. Di manapun saya nongkrong, pasti ada colokan yang bebas saya gunakan untuk mengisi baterai handphone maupun laptop. Di setiap cafe, penuh dengan lampu menyala terang benderang sehingga foto-foto saya makin ciamik dan kekinian.
Lantas, kaum anak muda yang berprinsip YOLO seperti ini mau apa? saat ini tengah marak kehidupan berprinsip YOLO (You Only Live One). Anak muda yang memiliki prinsip ini, ingin hidup bahagia, gampang, instan dan praktis. Generasi YOLO di era milenial ini memang jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Karena prinsip hidup hanya sekali sehingga ya pokoknya harus bahagia banget . Begitu kata mereka. Punya uang ya habis untuk jalan-jalan, nongkrong dan belanja. Nabung ah nanti nanti saja. begitulah prinsipnya.
Dulu mbah-mbah kita hidup terlalu hemat, uang yang diperoleh lebih banyak disimpan daripada dibelanjakan. Mereka berpinsip makan seadanya. Lalu tabungannya dihabiskan untuk beli tanah dan sawah agar bisa diwariskan anak cucu. Sehingga ukuran sukses orang-orang zaman dulu adalah ketika bisa memberi warisan.
Tapi sekarang sudah berubah, anak cucu yang sudah mendapatkan warisan tanah dan sawah justru dijual dan dibelikan motor atau mobil. Itu juga bisa dibilang kurang produktif, terlebih harga mobil dan motor semakin turun tiap tahunnya.
Saya mencoba memberi contoh lainnya. Dulu, rata-rata simbah-simbah menanam pohon agar bisa berbuah. lalu mereka berharap agar pohon itu bisa dinikmati anaknya. Ketika anaknya dewasa, pohon itu berbuah banyak. eh, di era sang cucu, pohon itu ditebang diganti dengan tanaman kaktus yang ditanam di pot warna warni biar tampak lucu dan menggemaskan. Alasannya adalah praktis dan lebih kekinian. Tak perlu repot menypu daun berguguran ataupun tak perlu repot memangkas ranting kayu.
Sikap YOLO memang pilihan, tapi seharusnya tidak untuk lingkungan. Kalian bebas membelanjakan uangmu, tapi tidak seharusnya menghabiskan sumber daya alam untuk dirimu sendiri. Anak cucu kita mau hidup gimana kalau kita masih tidak peduli lingkungan.
Harus kita sadari, kita kerap boros dalam menggunakan listrik. Di balik listrik yang kita pakai ini, terdapat tangisan warga akibat pendirian PLTU dan korban tambang batu bara. Kita banyak berhutang dengan mereka.
Lingkungan dan alam ini berhak dinikmati oleh generasi penerus kita. Kita seharusnya menggunakan listrik seperlunya. Tak perlu berlebihan. Hidup minimalis tak akan mengurangi rasa bahagia dan nilai ke-YOLO-an kita. Lampu tak perlu terang benderang yang penting cukup untuk menerangi ruangan. Matikan elektronik yang tak terpakai. Kurangi menyalakan AC jika masih ada jendela untuk sirkulasi udara.
Film sexy killers ini mengungkapkan betapa para penguasa itu bersahabat melalui bisnisnya meski tampak rival dalam panggung politik. Hal itu tak pernah terungkap di media mainstream. Di tengah hiruk pikuk menjelang pemilu, kita hanya dijadikan obyek untuk meraih kekuasaan. Kita telah dipermainkan. para penguasa tak ada yang serius memikirkan nasib dan hidup kita. Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat hanya tertulis di sila kelima belaka. Prakteknya? kita hanya bisa mengelus dada.
Meski demikian, kita masih punya banyak hal yang bisa kita gunakan untuk melawan. Pikiran dan tenaga kita bisa berjuang. Kita sama-sama memperjuangkan saudara kita yang menjadi korban ketidakadilan. Misalnya melalui tulisan, penggerakan massa demonstrasi, pendampingan masyarakat dan kegiatan sosial lain. Semua itu baik. Tidak elok juga rasanya mengklaim gerakannya terbaik. Gerakan yang baik adalah gerakan yang berdampak di kehidupan, tak hanya menggaung di udara apalagi di mulut belaka.
Berikut film Sexy Killers yang diunggah Watchdoc di akun youtubenya :
SEXY KILLERS (FULL MOVIE)
Diubah oleh YoungExplorers 15-04-2019 09:29
4
3.3K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan