

TS
santoh
Surga Bahagia Abadi
MICHAEL
"Bayangkan surga. Apa perasaanmu?"
"Apakah membayangkan surga membuatmu bahagia?"
"Darimana kamu yakin hidup di surga akan membuatmu bahagia?"
"Apakah kamu tahu caranya agar kamu bisa tinggal di surga?"
"Bila kamu diberi kesempatan untuk memilih, boleh tinggal di surga mulai hari ini, atau mulai tahun depan, mana yang akan kamu pilih?"
Apa perasaanmu saat membaca pertanyaan-pertanyaan di atas?
Apakah kamu membaca sambil menjawabnya juga dalam hati?
Kira-kira 2-3 minggu lalu saya mulai "iseng" mengajukan beberapa "pertanyaan" di beberapa group WA, Telegram dan FB group, sebagian besar tentang topik baik-buruk, dosa-pahala, surga-neraka, malaikat-iblis, dan tentunya tentang tuhan itu sendiri. Setiap ada postingan yang nyerempet topik-topik di atas, segera saya tanggapi dengan beberapa "pertanyaan khusus" tadi. Awalnya saya mulai dengan group-group khusus yang bersifat spiritual, dan baru beberapa hari terakhir melibatkan group-group yang lebih general topiknya. (Tentu saja setiap pertanyaan bersifat general, non SARA, non politik)
"Saat kamu hidup bahagia di surga, lalu apa fungsi kamu di surga itu?"
"Hidup bahagia abadi selama-lamanya? Ceritanya selesai di situ?"
"Apakah tugasmu di surga adalah memuja-muji dan memuliakan sang maha esa?"
"Apakah yang maha esa perlu kamu puja-puji tiap saat kamu berada di surga itu?"
"Ataukah dengan kamu bahagia di surga, akan menjadi inspirasi bagi manusia yang masih di bumi?"
"Bagaimana caranya kebahagiaanmu saat di surga bisa menginspirasi manusia yang masih di bumi?"
"Apakah kamu akan 'turun' dan lahir sebagai manusia kembali?"
"Siapa yang akan menentukan siapa saja yang harus lahir kembali sebagai manusia?"
"Jadi artinya hidup di surga itu tidak abadi donk? Setiap saat bisa dipilih untuk 'lahir' ke dunia manusia lagi?"
"Boleh ngak kita menolaknya pada saat kita terpilih untuk lahir kembali?"
Dan dalam beberapa pertanyaan di group-group tertentu saya akan tambahkan dengan:
"Kalau ada bangsa alien, apakah surganya sama dengan manusia?"
"Atau hanya manusia bumi saja yang bisa masuk ke surga tempat tuhan sang pencipta yang maha kuasa ini?"
"Apakah alien punya surganya dan tuhannya sendiri?"
Lebih hebat mana tuhannya manusia dgn tuhannya alien?
Lebih nyaman mana surganya manusia bumi dgn surganya alien?
Para org kudus, para nabi, para org bijaksana ngak pernah sebut2 alien, artinya itu memang ngak ada?
Apakah manusia setelah di surga, harus reinkarnasi lagi ke bumi? Atas kehendak siapa kalau memang harus begitu?
Tarik sedikit lagi:
"Apakah para binatang seperti anjing dan kucing bisa masuk surga kita?"
"Atau di surga ngak ada mahluk lain, hanya ada manusia?"
"Pohon-pohon dan binatang pun tidak ada sama sekali di surga?"
"Atau pohon-pohon dan binatangnya beda semua dengan yang ada di bumi fana ini?"
"Pohon-pohon dan binatang di surga itu apakah abadi atau bisa mati juga?"
Tarik lebih ke atas lagi:
"Bagi bangsa alien dengan kecerdasan super tinggi, manusia mungkin kelihatan cuma seperti 'binatang tidak cerdas' bagi mereka. Dan kalau mereka yakin dengan surganya sendiri, maka artinya kita manusia ngak bisa masuk surga mereka karena dianggap makhluk lebih 'rendah'?"
"Apakah ini artinya memang semua mahluk punya 'surga' nya sendiri-sendiri?"
Di sebuah group kebetulan ada postingan tentang manusia yang menjadi dewa-dewi, maka saya tambahkan dengan pertanyaan:
"Apakah dewa tinggalnya di surga juga?"
"Apakah para dewa tinggalnya di surga dengan lapisan lebih tinggi?"
"Apakah di surga dengan lapisan lebih tinggi itu kehidupannya lebih bahagia daripada lapisan di bawahnya?"
"Apakah dengan tinggal di surga lapisan tertinggi artinya makin sering ketemu tuhan?"
"Ngapain sering-sering ketemu tuhan? Mau minta lebih bahagia lagi?"
"Dewa katanya bisa mati, kalau dewa mati ke surga yang mana lagi? Naik ke lapisan surga lebih tinggi?"
"Dewa katanya ada yang nakal dan jahat juga, lalu mereka tinggalnya di surga juga? Atau di neraka?"
Alhasil, dari 27 group WA dan Tele (saya belum hitung FB group), saat ini hanya tinggal 6 group WA dan 7 group Tele. Tinggal separuhnya. Dengan yang separuhnya lagi tentu sudah bisa ditebak apa yang terjadi.
Inti dari pertanyaan saya sebenarnya sederhana,
"Apakah bagimu kehidupan di dunia ini sebegitu mengecewakannya, sehingga tuhan perlu menjanjikan padamu sebuah 'tempat' yang penuh kebahagiaan nantinya, sebagai 'ganti rugi' atas penderitaanmu di dunia ini?"
Apakah pertanyaan itu akan dijawab dengan,
"Salahnya tuhan kenapa udah janji mau ngasih 'bahagia di surga' bila kita berbuat baik, makanya boleh donk sekarang kita tagih"
"Ngak ada yang maksa tuhan waktu bikin janji itu. Itu semata karena tuhan cinta pada manusia, dan sekarang tentu hak kita meminta tuhan memenuhi janjinya. Ya ngak sih."
Tapi bagaimana...
"Bagaimana bila tuhan tiba-tiba, misalnya, lupa dengan janjinya? Ngak mungkin karena tuhan itu maha ingat?"
"Atau apakah karena tuhan sudah terlanjur berjanji, maka sekarang tuhan wajib menepati janjinya?"
"Boleh ngak sih tuhan mengubah isi janjinya?"
Seluruh pertanyaan itu hanya membuktikan bahwa betapa takutnya kita bila apa yang kita yakini ternyata salah, dan oleh karena itu kita terpanggil untuk membelanya. Siapa atau apa sebenarnya yang kamu bela? Sebuah nama, seorang tokoh, sebuah organisasi? Atau sesungguhnya kamu sedang membela diri sendiri? Dari apa? Dari siapa?
Atau kamu sedang membela tuhan?
Di pertanyaan mana saja tadi yang kamu rasakan tuhan perlu dibela?
Akan jadi seperti apa bila tuhan tidak dibela?
Apa yang kamu harapkan dengan membela tuhan?
Tentu wajar saja bila kita ingin menjadi "anak yang disayang" tuhan. Tapi apakah anak kesayangan itu artinya pasti mendapatkan yang "enak-enak" karena tuhan maha pemurah? (murah rejekikah maksudnya?)
Gambaran anak kesayangan tuhan ini paling melekat di benak saya pada film Stigmata, dimana semakin kita dekat dengan sang pencipta, kita diberi anugerah untuk "merasakan" penderitaannya sendiri, benar-benar secara full-spectrum.
Siapkah kita akrab dengan tuhan, dengan semesta?
Siapkah kita ngobrol-ngobrol dengan tuhan, dengan semesta?
Siapkah kita ngalor-ngidul dengan tuhan, dengan semesta?
Saya teringat dengan Doa Sang Katak karya Anthony de Mello SJ. Ada empat tahap berdoa, yaitu:
Aku bicara, kau mendengarkan.
Kau bicara, aku mendengarkan.
Tidak ada yang bicara, dua-duanya mendengarkan.
Tidak ada yang bicara, tidak ada mendengarkan.
Bila setiap saat kita dipenuhi syukur atas nikmat semesta, maka apakah gunanya lagi janji kenikmatan surga?
Setiap saat kita mampu bersenda gurau dengan semesta, main kelereng, main petak umpet, bergulat-gulat di lumpur, berenang bareng, lari berkejar-kejaran. Kita pun bisa bermesraan dan berpeluk-pelukan dengan semesta. Duduk berdua di sofa, menonton alam semesta itu sendiri. Bernyanyi bersama. Menari bersama.
Tapi ketika kita membayangkan dunia ini adalah "hidup penuh cobaan" maka jadilah seperti itu. Tidak heran "cobaan" datang terus menerus. Akhirnya kita merasa "lelah" hidup di dunia. Kita protes. Kita berharap tuhan "menebus" segala derita kita dengan suka cita. Kita jadinya mau "selesaikan" saja secepatnya episode di dunia fana ini. Tanpa sadar, saat kita "memaksa menyelesaikan" episode ini, kita sesungguhnya memulai episode baru lagi.
Ada pula yang begitu mengharapkan nikmat di surga, akhirnya rela mengorbankan segala yang di dunia, bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tapi orang lain pun dia korbankan. Hanya agar dia sendiri mendapat nikmat di surga. Jalan ke surga pun ditempuh dengan begitu ego-centric. Bagaimanakah seorang ibu, atau seorang ayah, akan bahagia menyambutmu sebagai anaknya, bila kesempatan untuk bertemu itu ditukar dengan melenyapkan anak-anak lainnya?
Pada akhirnya...
Dan apakah kamu menganggap bahwa untuk segala kebaikan yang telah dan akan kamu perbuat, semua itu belum cukup mendapat imbalannya di dunia ini, sehingga wajib bagi tuhan untuk membalas semua kebaikanmu dengan kebahagiaan abadi di sebuah tempat yang namanya 'surga'?
Have a super great, great day friends!!
Carpe diem quam minimum credula postero.
Seize your blissful moments. Harvest your day. Give love now, and more tomorrows.
Heaven follows wherever love goes.
"Bayangkan surga. Apa perasaanmu?"
"Apakah membayangkan surga membuatmu bahagia?"
"Darimana kamu yakin hidup di surga akan membuatmu bahagia?"
"Apakah kamu tahu caranya agar kamu bisa tinggal di surga?"
"Bila kamu diberi kesempatan untuk memilih, boleh tinggal di surga mulai hari ini, atau mulai tahun depan, mana yang akan kamu pilih?"
Apa perasaanmu saat membaca pertanyaan-pertanyaan di atas?
Apakah kamu membaca sambil menjawabnya juga dalam hati?
Kira-kira 2-3 minggu lalu saya mulai "iseng" mengajukan beberapa "pertanyaan" di beberapa group WA, Telegram dan FB group, sebagian besar tentang topik baik-buruk, dosa-pahala, surga-neraka, malaikat-iblis, dan tentunya tentang tuhan itu sendiri. Setiap ada postingan yang nyerempet topik-topik di atas, segera saya tanggapi dengan beberapa "pertanyaan khusus" tadi. Awalnya saya mulai dengan group-group khusus yang bersifat spiritual, dan baru beberapa hari terakhir melibatkan group-group yang lebih general topiknya. (Tentu saja setiap pertanyaan bersifat general, non SARA, non politik)
"Saat kamu hidup bahagia di surga, lalu apa fungsi kamu di surga itu?"
"Hidup bahagia abadi selama-lamanya? Ceritanya selesai di situ?"
"Apakah tugasmu di surga adalah memuja-muji dan memuliakan sang maha esa?"
"Apakah yang maha esa perlu kamu puja-puji tiap saat kamu berada di surga itu?"
"Ataukah dengan kamu bahagia di surga, akan menjadi inspirasi bagi manusia yang masih di bumi?"
"Bagaimana caranya kebahagiaanmu saat di surga bisa menginspirasi manusia yang masih di bumi?"
"Apakah kamu akan 'turun' dan lahir sebagai manusia kembali?"
"Siapa yang akan menentukan siapa saja yang harus lahir kembali sebagai manusia?"
"Jadi artinya hidup di surga itu tidak abadi donk? Setiap saat bisa dipilih untuk 'lahir' ke dunia manusia lagi?"
"Boleh ngak kita menolaknya pada saat kita terpilih untuk lahir kembali?"
Dan dalam beberapa pertanyaan di group-group tertentu saya akan tambahkan dengan:
"Kalau ada bangsa alien, apakah surganya sama dengan manusia?"
"Atau hanya manusia bumi saja yang bisa masuk ke surga tempat tuhan sang pencipta yang maha kuasa ini?"
"Apakah alien punya surganya dan tuhannya sendiri?"
Lebih hebat mana tuhannya manusia dgn tuhannya alien?
Lebih nyaman mana surganya manusia bumi dgn surganya alien?
Para org kudus, para nabi, para org bijaksana ngak pernah sebut2 alien, artinya itu memang ngak ada?
Apakah manusia setelah di surga, harus reinkarnasi lagi ke bumi? Atas kehendak siapa kalau memang harus begitu?
Tarik sedikit lagi:
"Apakah para binatang seperti anjing dan kucing bisa masuk surga kita?"
"Atau di surga ngak ada mahluk lain, hanya ada manusia?"
"Pohon-pohon dan binatang pun tidak ada sama sekali di surga?"
"Atau pohon-pohon dan binatangnya beda semua dengan yang ada di bumi fana ini?"
"Pohon-pohon dan binatang di surga itu apakah abadi atau bisa mati juga?"
Tarik lebih ke atas lagi:
"Bagi bangsa alien dengan kecerdasan super tinggi, manusia mungkin kelihatan cuma seperti 'binatang tidak cerdas' bagi mereka. Dan kalau mereka yakin dengan surganya sendiri, maka artinya kita manusia ngak bisa masuk surga mereka karena dianggap makhluk lebih 'rendah'?"
"Apakah ini artinya memang semua mahluk punya 'surga' nya sendiri-sendiri?"
Di sebuah group kebetulan ada postingan tentang manusia yang menjadi dewa-dewi, maka saya tambahkan dengan pertanyaan:
"Apakah dewa tinggalnya di surga juga?"
"Apakah para dewa tinggalnya di surga dengan lapisan lebih tinggi?"
"Apakah di surga dengan lapisan lebih tinggi itu kehidupannya lebih bahagia daripada lapisan di bawahnya?"
"Apakah dengan tinggal di surga lapisan tertinggi artinya makin sering ketemu tuhan?"
"Ngapain sering-sering ketemu tuhan? Mau minta lebih bahagia lagi?"
"Dewa katanya bisa mati, kalau dewa mati ke surga yang mana lagi? Naik ke lapisan surga lebih tinggi?"
"Dewa katanya ada yang nakal dan jahat juga, lalu mereka tinggalnya di surga juga? Atau di neraka?"
Alhasil, dari 27 group WA dan Tele (saya belum hitung FB group), saat ini hanya tinggal 6 group WA dan 7 group Tele. Tinggal separuhnya. Dengan yang separuhnya lagi tentu sudah bisa ditebak apa yang terjadi.
Inti dari pertanyaan saya sebenarnya sederhana,
"Apakah bagimu kehidupan di dunia ini sebegitu mengecewakannya, sehingga tuhan perlu menjanjikan padamu sebuah 'tempat' yang penuh kebahagiaan nantinya, sebagai 'ganti rugi' atas penderitaanmu di dunia ini?"
Apakah pertanyaan itu akan dijawab dengan,
"Salahnya tuhan kenapa udah janji mau ngasih 'bahagia di surga' bila kita berbuat baik, makanya boleh donk sekarang kita tagih"
"Ngak ada yang maksa tuhan waktu bikin janji itu. Itu semata karena tuhan cinta pada manusia, dan sekarang tentu hak kita meminta tuhan memenuhi janjinya. Ya ngak sih."
Tapi bagaimana...
"Bagaimana bila tuhan tiba-tiba, misalnya, lupa dengan janjinya? Ngak mungkin karena tuhan itu maha ingat?"
"Atau apakah karena tuhan sudah terlanjur berjanji, maka sekarang tuhan wajib menepati janjinya?"
"Boleh ngak sih tuhan mengubah isi janjinya?"
Seluruh pertanyaan itu hanya membuktikan bahwa betapa takutnya kita bila apa yang kita yakini ternyata salah, dan oleh karena itu kita terpanggil untuk membelanya. Siapa atau apa sebenarnya yang kamu bela? Sebuah nama, seorang tokoh, sebuah organisasi? Atau sesungguhnya kamu sedang membela diri sendiri? Dari apa? Dari siapa?
Atau kamu sedang membela tuhan?
Di pertanyaan mana saja tadi yang kamu rasakan tuhan perlu dibela?
Akan jadi seperti apa bila tuhan tidak dibela?
Apa yang kamu harapkan dengan membela tuhan?
Tentu wajar saja bila kita ingin menjadi "anak yang disayang" tuhan. Tapi apakah anak kesayangan itu artinya pasti mendapatkan yang "enak-enak" karena tuhan maha pemurah? (murah rejekikah maksudnya?)
Gambaran anak kesayangan tuhan ini paling melekat di benak saya pada film Stigmata, dimana semakin kita dekat dengan sang pencipta, kita diberi anugerah untuk "merasakan" penderitaannya sendiri, benar-benar secara full-spectrum.
Siapkah kita akrab dengan tuhan, dengan semesta?
Siapkah kita ngobrol-ngobrol dengan tuhan, dengan semesta?
Siapkah kita ngalor-ngidul dengan tuhan, dengan semesta?
Saya teringat dengan Doa Sang Katak karya Anthony de Mello SJ. Ada empat tahap berdoa, yaitu:
Aku bicara, kau mendengarkan.
Kau bicara, aku mendengarkan.
Tidak ada yang bicara, dua-duanya mendengarkan.
Tidak ada yang bicara, tidak ada mendengarkan.
Bila setiap saat kita dipenuhi syukur atas nikmat semesta, maka apakah gunanya lagi janji kenikmatan surga?
Setiap saat kita mampu bersenda gurau dengan semesta, main kelereng, main petak umpet, bergulat-gulat di lumpur, berenang bareng, lari berkejar-kejaran. Kita pun bisa bermesraan dan berpeluk-pelukan dengan semesta. Duduk berdua di sofa, menonton alam semesta itu sendiri. Bernyanyi bersama. Menari bersama.
Tapi ketika kita membayangkan dunia ini adalah "hidup penuh cobaan" maka jadilah seperti itu. Tidak heran "cobaan" datang terus menerus. Akhirnya kita merasa "lelah" hidup di dunia. Kita protes. Kita berharap tuhan "menebus" segala derita kita dengan suka cita. Kita jadinya mau "selesaikan" saja secepatnya episode di dunia fana ini. Tanpa sadar, saat kita "memaksa menyelesaikan" episode ini, kita sesungguhnya memulai episode baru lagi.
Ada pula yang begitu mengharapkan nikmat di surga, akhirnya rela mengorbankan segala yang di dunia, bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tapi orang lain pun dia korbankan. Hanya agar dia sendiri mendapat nikmat di surga. Jalan ke surga pun ditempuh dengan begitu ego-centric. Bagaimanakah seorang ibu, atau seorang ayah, akan bahagia menyambutmu sebagai anaknya, bila kesempatan untuk bertemu itu ditukar dengan melenyapkan anak-anak lainnya?
Pada akhirnya...
Dan apakah kamu menganggap bahwa untuk segala kebaikan yang telah dan akan kamu perbuat, semua itu belum cukup mendapat imbalannya di dunia ini, sehingga wajib bagi tuhan untuk membalas semua kebaikanmu dengan kebahagiaan abadi di sebuah tempat yang namanya 'surga'?
Have a super great, great day friends!!
Carpe diem quam minimum credula postero.
Seize your blissful moments. Harvest your day. Give love now, and more tomorrows.
Heaven follows wherever love goes.
0
417
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan