

TS
santoh
Champions League
MICHAEL
Saya salah satu penggemar nonton bola. Sepak bola. Disebut football bila di luar Amerika. Di Amerika lebih banyak disebut dengan soccer, karena istilah football sudah digunakan untuk jenis olahraga lain.
Dulu hobby nonton bola masih biasa-biasa saja. Dari SD memang bila ada event akbar seperti Piala Dunia (World Cup) atau Piala Eropa (Euro), tentu saya menonton. Tapi ketertarikan pada bola masih "biasa" saja, sampai ketika Spanyol menjadi juara dunia dengan "tiki-taka" nya. Lebih jauh hal itu membawa saya ke club Barcelona yang waktu itu dilatih Pep Guardiola. Jaman itu style permainan mereka sangat terkenal, yaitu mengandalkan penguasaan bola (posession) dan passing-passing bola yang akurat hingga "melelahkan" lawannya. Style ini didukung dengan para pemain yang cocok, menjadi hal luar biasa. Salah satu contohnya saat mereka menjadi juara Champions dengan mengalahkan Manchester United 3-1 di stadion Wembley tahun 2011. Titi-taka pada masa jayanya saat itu.
Menonton sebuah kemenangan tentu seru. Tetapi apa yang menarik adalah segala yang terjadi "dibalik" kemenangan itu. Bahkan hadirnya Champions League dan aturan bagaimana tim-tim dari negara-negara berbeda bisa masuk ke dalamnya, itu hal menarik bagi saya. Kalau tim-tim dari Inggris, Spanyol dan Jerman misalnya, sudah tentu mendapat "jatah" tetap, maka bagaimana tim-tim dari negara yang kurang terkenal sepakbolanya, bisa masuk ke Champions League itu? Dan bagaimana sebenarnya sistem "jatah" untuk negara sepakbola besar, bagaimana dan kapan koefisiennya bisa dihitung ulang? Bagaimana cara kerja transfer pemain? Bagaimana mereka menyepakati nilai "buy out" seorang pemain bintang?
Dalam 90 menit ada 22 orang yang saling memperebutkan 1 bola. Maka masing-masing pemain rata-rata akan bermain "dengan" bola tidak lebih dari 4-5 menit. Selebihnya ngapain? Selebihnya adalah pergerakan tanpa bola, off-the-ball.
Banyak penonton yang tidak sadar bahwa sepakbola adalah permainan tim dengan saling menyesuaikan posisi masing-masing, dengan maupun tanpa bola. Salah satu yang paling mudah dilihat adalah pengaturan posisi barisan pertahanan, biasanya terdiri dari 4 orang (dalam formasi 4-4-2 atau variannya), atau 3 orang (formasi 3-4-3, 3-5-2 atau lainnya). Defense yang terdiri dari 3 atau 4 orang itu akan selalu berusaha mensinkronisasi posisi mereka dalam bentuk garis lurus. Mengapa? Untuk membuat "jebakan offside" bagi tim yang sedang menyerang dan menguasai bola.
Aturan offside menganulir seorang pemain (biasanya penyerang) yang tidak menguasai bola, untuk "mendahului" menyelinap ke belakang garis pertahanan lawan. Aturan offside merupakan salah satu aturan yang agak rumit sebenarnya dalam dunia sepak bola. Untuk menerapkan aturan ini, memerlukan asisten wasit, yaitu 2 orang penjaga garis, untuk jeli dan terus memposisikan diri sejajar dengan pemain pada posisi paling belakang (selain penjaga gawang) pada setiap tim (karena itu butuh 2 penjaga garis).
Kesalahan keputusan wasit (dan asistennya) tentang kondisi offside ini pasti menjadi perdebatan bila hal itu mengawali terjadinya sebuah gol penting. Untuk mengurangi kontroversi itulah saat ini sudah mulai digunakan sistem rekaman pertandingan (VAR) dimana wasit setiap saat dapat melihat dulu cuplikan rekaman kejadian tersebut baru mengambil keputusan.
Bila dalam bertahan, tim berusaha mempertahankan formasi dengan rapi, maka sebaliknya dalam menyerang, tim akan berusaha merusak formasi pertahanan lawannya.
Dalam setiap tim biasanya ada 1 atau 2 orang yang paling "berbahaya", yang punya bakat, kemampuan dan kecepatan di atas rata-rata. Pemain bintang seperti ini akan "dijaga" ekstra oleh tim lawannya, biasanya dengan menugaskan 1 atau 2 orang dari defence atau midfield khusus untuk "menempel" dan mengganggu pemain bintang ini. Istilahnya man-marking.
Dengan penjagaan ekstra ini, tentu ruang gerak pemain bintang itu jadi terbatas. Dan supply bola dari atau ke dia juga banyak terganggu. Nah di sini serunya. Pemain yang berpengalaman, atau sesuai petunjuk dan strategi pelatihnya, akan sengaja berkeliaran di area yang bukan tempat biasanya. Karena pemain bintang tersebut berada "diluar formasi", maka otomatis pemain tim lawan yang ditugaskan untuk menempelnya pun, akan keluar dari formasi normal. Keluar dari formasi ini akan menyebabkan munculnya "lubang" yang bisa dimanfaatkan pemain lain untuk menyerang.
Biasanya pemain bintang yang di-marking, dan biasanya itu pemain penyerang (striker), mundur hingga ke midfield, sehingga misalnya, formasi 4-3-3 sekilas tampak seperti 4-4-2. Pemain lawan yang ditugaskan untuk menempelnya punya pilihan apakah ingin membayangi hingga ke midfield, atau menyerahkan tugas marking ke temannya yang di midfield. Apapun pilihannya, bila dimainkan dengan baik, secara teori akan menguntungkan tim dengan pemain bintang tersebut, karena formasi lebih dinamis. Saat bola diumpan temannya ke kotak pinalti, pemain penyerang ini dapat "tiba-tiba" hadir di sana dan mencetak gol. Strategi ini yang biasa disebut dengan "false 9".
Dan karenanya, seorang pemain juga harus pandai "menjemput" bola. Bila hanya menunggu bola yang datang, maka dengan mudah bola itu akan direbut di tengah jalan sebelum sampai ke seorang pemain. Pemain harus tahu ke arah mana bola ditendang oleh temannya, dan harus mampu "bertemu" dengan bola itu sambil bergerak cepat. Itulah sumber terciptanya gol-gol. Umpan silang dari kiri atau kanan lapangan, mampu ditendang atau disundul ke gawang oleh pemain penyerang yang sudah mulai berlari cepat dari tadi, bahkan sebelum bola itu ditendang oleh temannya.
Semua itu tentunya dibangun dari latihan-latihan yang lama. Dalam berbagai sesi latihan itulah banyak manuver yang disempurnakan. Sehingga pada pertandingan akan terlihat seakan-akan sebuah tim saling tahu gerakan dan posisi temannya, bahkan tanpa melihat dulu bisa mengoper bola dengan tepat, telepathic passing katanya. Itu buah latihan dan saling pemahaman yang kuat.
Selain latihan, setiap tim besar memiliki tim analis yang membantu pelatih untuk menganalisa cara bermain setiap tim lawan mereka. Menonton video analisa permainan tim lawan dan bagaimana strategi untuk menghadapinya, merupakan menu wajib bagi para pemain, terutama dalam menghadapi pertandingan-pertandingan "besar".
Diet setiap pemain pun diatur dengan ketat. Dokter gizi dan terapis dalam dunia sepakbola adalah salah satu yang paling luar biasa. Bukan hanya dalam menjaga kebugaran pemain, tapi juga terutama dalam memulihkan pemain-pemain yang cidera. Teknik-teknik pemulihan tercanggih lahir dalam dunia olahraga dan sepakbola adalah salah satu yang terbaik.
Sebagaimana halnya olahraga tim, maka kerjasama tim adalah hal utama dalam sepakbola. Tetapi kadang kala diperlukan satu atau dua keberanian pemain-pemainnya untuk "keluar" dari rencana awal, dan lebih mengandalkan diri sendiri untuk melakukan beberapa manuver. Kemampuan untuk melakukan "individual brilliance" ini dengan bijaksana adalah juga nilai plus seorang pemain bintang. Dan saat seorang pemain melakukan aksi "solo" nya, teman-teman satu tim yang paham akan segera membantu untuk "mengacaukan" perhatian pemain lawan sehingga mempermudah aksi individual temannya itu.
Setiap aksi individual tentunya memerlukan "trust" yang lebih dari teman-teman satu tim. Karena tidak ada jaminan apapun aksi itu akan berhasil membuahkan gol. Seorang pemain bintang pun tidak jarang harus mampu mengorbankan "ego" nya untuk tidak menjadi "center of attraction". Dengan kapasitasnya sebagai pemain bintang, justru bisa mengacaukan perhatian lawannya dengan "berkeliaran" kesana kemari, menyeret pemain lawan keluar dari formasi aslinya. Dengan demikian teman-teman satu tim bisa memanfaatkan bolong-bolong yang terjadi dan mencetak gol. Inilah saat seorang pemain bintang menjadi "team player" yang sebenarnya.
Tugas seorang pelatih pun tidak main-main. Sedikit tidak memuaskan saja, sudah terancam dipecat. Bagi yang mengikuti perkembangan sepakbola 1-2 tahun terakhir, sudah tahu persis contoh-contoh pelatih yang dipecat padahal belum genap 1 tahun bekerja. Dan selalu ada kecenderungan, jauh lebih mudah memecat dan menyalahkan pelatih, daripada menyalahkan para pemain yang tidak berupaya maksimal. Mungkin ini sekaligus mencerminkan bahwa pelatih masih dianggap faktor terpenting untuk sukses tidaknya sebuah tim, tapi dengan demikian sedikit saja ada yang tidak memuaskan, otomatis harus juga bersedia dijadikan kambing hitam.
Di semua cabang olahraga, kita diajarkan bukan hanya untuk merayakan kemenangan, tapi juga bagaimana menghadapi "kekalahan" dengan bijaksana. Tidak berbeda dengan dunia sepakbola. Sehebat apapun sebuah tim, akan ada saat-saat "terendah" dimana semuanya tampak kacau. Oper-mengoper bola yang tadinya lancar, tiba-tiba tersendat, padahal pemainnya itu-itu juga. Atau saat-saat "takdir" dimana tendangan atau sundulan yang biasanya berbuah gol, semuanya hanya membentur mistar gawang. Tidak berbuah gol. Tentu membuat frustasi. Roma-Barcelona 3-0 adalah contohnya.
Saat-saat sebaliknya pun banyak terjadi. Saat dimana semua orang berkata tidak mungkin, tapi sebuah tim mampu membalikkan ramalan itu, dan berakhir dengan kemenangan luar biasa yang menjadi legenda. Barcelona-PSG 6-1 adalah contohnya. Butuh hingga detik-detik terakhir, tendangan terakhir, untuk memastikan kemenangan itu. Benar-benar sebuah "life wisdom" tak ternilai.
Tadi malam Champions League 2018/2019 memulai perempat finalnya. Sudah ada hasil kejutan (atau setengah kejutan). Dan sampai finalnya nanti tanggal 2 Juni di Madrid, bisa dipastikan akan ada beberapa kejutan lagi. Karena mulai fase ini, secara teori semua tim-tim yang "tersisa" punya kemampuan untuk saling mengalahkan. Dan detail-detail kecillah yang nanti menentukan. Itulah salah satu sumber daya tarik olahraga ini bagi saya. Detail-detail kecil.
Have a super great unpredictable day friends!!
Saya salah satu penggemar nonton bola. Sepak bola. Disebut football bila di luar Amerika. Di Amerika lebih banyak disebut dengan soccer, karena istilah football sudah digunakan untuk jenis olahraga lain.
Dulu hobby nonton bola masih biasa-biasa saja. Dari SD memang bila ada event akbar seperti Piala Dunia (World Cup) atau Piala Eropa (Euro), tentu saya menonton. Tapi ketertarikan pada bola masih "biasa" saja, sampai ketika Spanyol menjadi juara dunia dengan "tiki-taka" nya. Lebih jauh hal itu membawa saya ke club Barcelona yang waktu itu dilatih Pep Guardiola. Jaman itu style permainan mereka sangat terkenal, yaitu mengandalkan penguasaan bola (posession) dan passing-passing bola yang akurat hingga "melelahkan" lawannya. Style ini didukung dengan para pemain yang cocok, menjadi hal luar biasa. Salah satu contohnya saat mereka menjadi juara Champions dengan mengalahkan Manchester United 3-1 di stadion Wembley tahun 2011. Titi-taka pada masa jayanya saat itu.
Menonton sebuah kemenangan tentu seru. Tetapi apa yang menarik adalah segala yang terjadi "dibalik" kemenangan itu. Bahkan hadirnya Champions League dan aturan bagaimana tim-tim dari negara-negara berbeda bisa masuk ke dalamnya, itu hal menarik bagi saya. Kalau tim-tim dari Inggris, Spanyol dan Jerman misalnya, sudah tentu mendapat "jatah" tetap, maka bagaimana tim-tim dari negara yang kurang terkenal sepakbolanya, bisa masuk ke Champions League itu? Dan bagaimana sebenarnya sistem "jatah" untuk negara sepakbola besar, bagaimana dan kapan koefisiennya bisa dihitung ulang? Bagaimana cara kerja transfer pemain? Bagaimana mereka menyepakati nilai "buy out" seorang pemain bintang?
Dalam 90 menit ada 22 orang yang saling memperebutkan 1 bola. Maka masing-masing pemain rata-rata akan bermain "dengan" bola tidak lebih dari 4-5 menit. Selebihnya ngapain? Selebihnya adalah pergerakan tanpa bola, off-the-ball.
Banyak penonton yang tidak sadar bahwa sepakbola adalah permainan tim dengan saling menyesuaikan posisi masing-masing, dengan maupun tanpa bola. Salah satu yang paling mudah dilihat adalah pengaturan posisi barisan pertahanan, biasanya terdiri dari 4 orang (dalam formasi 4-4-2 atau variannya), atau 3 orang (formasi 3-4-3, 3-5-2 atau lainnya). Defense yang terdiri dari 3 atau 4 orang itu akan selalu berusaha mensinkronisasi posisi mereka dalam bentuk garis lurus. Mengapa? Untuk membuat "jebakan offside" bagi tim yang sedang menyerang dan menguasai bola.
Aturan offside menganulir seorang pemain (biasanya penyerang) yang tidak menguasai bola, untuk "mendahului" menyelinap ke belakang garis pertahanan lawan. Aturan offside merupakan salah satu aturan yang agak rumit sebenarnya dalam dunia sepak bola. Untuk menerapkan aturan ini, memerlukan asisten wasit, yaitu 2 orang penjaga garis, untuk jeli dan terus memposisikan diri sejajar dengan pemain pada posisi paling belakang (selain penjaga gawang) pada setiap tim (karena itu butuh 2 penjaga garis).
Kesalahan keputusan wasit (dan asistennya) tentang kondisi offside ini pasti menjadi perdebatan bila hal itu mengawali terjadinya sebuah gol penting. Untuk mengurangi kontroversi itulah saat ini sudah mulai digunakan sistem rekaman pertandingan (VAR) dimana wasit setiap saat dapat melihat dulu cuplikan rekaman kejadian tersebut baru mengambil keputusan.
Bila dalam bertahan, tim berusaha mempertahankan formasi dengan rapi, maka sebaliknya dalam menyerang, tim akan berusaha merusak formasi pertahanan lawannya.
Dalam setiap tim biasanya ada 1 atau 2 orang yang paling "berbahaya", yang punya bakat, kemampuan dan kecepatan di atas rata-rata. Pemain bintang seperti ini akan "dijaga" ekstra oleh tim lawannya, biasanya dengan menugaskan 1 atau 2 orang dari defence atau midfield khusus untuk "menempel" dan mengganggu pemain bintang ini. Istilahnya man-marking.
Dengan penjagaan ekstra ini, tentu ruang gerak pemain bintang itu jadi terbatas. Dan supply bola dari atau ke dia juga banyak terganggu. Nah di sini serunya. Pemain yang berpengalaman, atau sesuai petunjuk dan strategi pelatihnya, akan sengaja berkeliaran di area yang bukan tempat biasanya. Karena pemain bintang tersebut berada "diluar formasi", maka otomatis pemain tim lawan yang ditugaskan untuk menempelnya pun, akan keluar dari formasi normal. Keluar dari formasi ini akan menyebabkan munculnya "lubang" yang bisa dimanfaatkan pemain lain untuk menyerang.
Biasanya pemain bintang yang di-marking, dan biasanya itu pemain penyerang (striker), mundur hingga ke midfield, sehingga misalnya, formasi 4-3-3 sekilas tampak seperti 4-4-2. Pemain lawan yang ditugaskan untuk menempelnya punya pilihan apakah ingin membayangi hingga ke midfield, atau menyerahkan tugas marking ke temannya yang di midfield. Apapun pilihannya, bila dimainkan dengan baik, secara teori akan menguntungkan tim dengan pemain bintang tersebut, karena formasi lebih dinamis. Saat bola diumpan temannya ke kotak pinalti, pemain penyerang ini dapat "tiba-tiba" hadir di sana dan mencetak gol. Strategi ini yang biasa disebut dengan "false 9".
Dan karenanya, seorang pemain juga harus pandai "menjemput" bola. Bila hanya menunggu bola yang datang, maka dengan mudah bola itu akan direbut di tengah jalan sebelum sampai ke seorang pemain. Pemain harus tahu ke arah mana bola ditendang oleh temannya, dan harus mampu "bertemu" dengan bola itu sambil bergerak cepat. Itulah sumber terciptanya gol-gol. Umpan silang dari kiri atau kanan lapangan, mampu ditendang atau disundul ke gawang oleh pemain penyerang yang sudah mulai berlari cepat dari tadi, bahkan sebelum bola itu ditendang oleh temannya.
Semua itu tentunya dibangun dari latihan-latihan yang lama. Dalam berbagai sesi latihan itulah banyak manuver yang disempurnakan. Sehingga pada pertandingan akan terlihat seakan-akan sebuah tim saling tahu gerakan dan posisi temannya, bahkan tanpa melihat dulu bisa mengoper bola dengan tepat, telepathic passing katanya. Itu buah latihan dan saling pemahaman yang kuat.
Selain latihan, setiap tim besar memiliki tim analis yang membantu pelatih untuk menganalisa cara bermain setiap tim lawan mereka. Menonton video analisa permainan tim lawan dan bagaimana strategi untuk menghadapinya, merupakan menu wajib bagi para pemain, terutama dalam menghadapi pertandingan-pertandingan "besar".
Diet setiap pemain pun diatur dengan ketat. Dokter gizi dan terapis dalam dunia sepakbola adalah salah satu yang paling luar biasa. Bukan hanya dalam menjaga kebugaran pemain, tapi juga terutama dalam memulihkan pemain-pemain yang cidera. Teknik-teknik pemulihan tercanggih lahir dalam dunia olahraga dan sepakbola adalah salah satu yang terbaik.
Sebagaimana halnya olahraga tim, maka kerjasama tim adalah hal utama dalam sepakbola. Tetapi kadang kala diperlukan satu atau dua keberanian pemain-pemainnya untuk "keluar" dari rencana awal, dan lebih mengandalkan diri sendiri untuk melakukan beberapa manuver. Kemampuan untuk melakukan "individual brilliance" ini dengan bijaksana adalah juga nilai plus seorang pemain bintang. Dan saat seorang pemain melakukan aksi "solo" nya, teman-teman satu tim yang paham akan segera membantu untuk "mengacaukan" perhatian pemain lawan sehingga mempermudah aksi individual temannya itu.
Setiap aksi individual tentunya memerlukan "trust" yang lebih dari teman-teman satu tim. Karena tidak ada jaminan apapun aksi itu akan berhasil membuahkan gol. Seorang pemain bintang pun tidak jarang harus mampu mengorbankan "ego" nya untuk tidak menjadi "center of attraction". Dengan kapasitasnya sebagai pemain bintang, justru bisa mengacaukan perhatian lawannya dengan "berkeliaran" kesana kemari, menyeret pemain lawan keluar dari formasi aslinya. Dengan demikian teman-teman satu tim bisa memanfaatkan bolong-bolong yang terjadi dan mencetak gol. Inilah saat seorang pemain bintang menjadi "team player" yang sebenarnya.
Tugas seorang pelatih pun tidak main-main. Sedikit tidak memuaskan saja, sudah terancam dipecat. Bagi yang mengikuti perkembangan sepakbola 1-2 tahun terakhir, sudah tahu persis contoh-contoh pelatih yang dipecat padahal belum genap 1 tahun bekerja. Dan selalu ada kecenderungan, jauh lebih mudah memecat dan menyalahkan pelatih, daripada menyalahkan para pemain yang tidak berupaya maksimal. Mungkin ini sekaligus mencerminkan bahwa pelatih masih dianggap faktor terpenting untuk sukses tidaknya sebuah tim, tapi dengan demikian sedikit saja ada yang tidak memuaskan, otomatis harus juga bersedia dijadikan kambing hitam.
Di semua cabang olahraga, kita diajarkan bukan hanya untuk merayakan kemenangan, tapi juga bagaimana menghadapi "kekalahan" dengan bijaksana. Tidak berbeda dengan dunia sepakbola. Sehebat apapun sebuah tim, akan ada saat-saat "terendah" dimana semuanya tampak kacau. Oper-mengoper bola yang tadinya lancar, tiba-tiba tersendat, padahal pemainnya itu-itu juga. Atau saat-saat "takdir" dimana tendangan atau sundulan yang biasanya berbuah gol, semuanya hanya membentur mistar gawang. Tidak berbuah gol. Tentu membuat frustasi. Roma-Barcelona 3-0 adalah contohnya.
Saat-saat sebaliknya pun banyak terjadi. Saat dimana semua orang berkata tidak mungkin, tapi sebuah tim mampu membalikkan ramalan itu, dan berakhir dengan kemenangan luar biasa yang menjadi legenda. Barcelona-PSG 6-1 adalah contohnya. Butuh hingga detik-detik terakhir, tendangan terakhir, untuk memastikan kemenangan itu. Benar-benar sebuah "life wisdom" tak ternilai.
Tadi malam Champions League 2018/2019 memulai perempat finalnya. Sudah ada hasil kejutan (atau setengah kejutan). Dan sampai finalnya nanti tanggal 2 Juni di Madrid, bisa dipastikan akan ada beberapa kejutan lagi. Karena mulai fase ini, secara teori semua tim-tim yang "tersisa" punya kemampuan untuk saling mengalahkan. Dan detail-detail kecillah yang nanti menentukan. Itulah salah satu sumber daya tarik olahraga ini bagi saya. Detail-detail kecil.
Have a super great unpredictable day friends!!
0
321
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan