- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
politik pemilu semakin sengit,politik uang 'semakin rawan'


TS
sukhoivsf22
politik pemilu semakin sengit,politik uang 'semakin rawan'
omi Amindoni
BBC News Indonesia
7 April 2019

Kontestasi pemilihan presiden dan legislatif yang kompetitif dan kompleks dianggap membuat praktik politik uang kian rawan. Salah satu titik yang paling rawan ialah ketika hari tenang dan pencoblosan, atau sering disebut serangan fajar.
Penangkapan seorang anggota legislatif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan uang lebih dari Rp8 miliar yang diduga akan digunakannya untuk 'serangan fajar' dalam pemilu legislatif (pileg) mendatang, disebut pengamat menunjukkan bahwa pemilu kali ini juga akan diwarnai politik uang.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, potensi kecurangan pemilu bisa dikontribusikan oleh perilaku kompetisi yang pragmatis, di tengah suasana kompetisi yang sangat kompetitif, apalagi dalam pileg.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan makin banyaknya partai dalam pemilu kali ini membuat kompetisi pileg "makin sengit", belum lagi calon legislatif harus berkompetisi di internal dan eksternal sehingga membuat mereka menempuh "perilaku yang penting menang, apapun caranya, karena memang kompetisinya sangat sengit."
"Maka di kampanye rapat umum yang akan berlangsung mulai 24 maret sampai 13 April. Pada masa tenang, yang akan berlangsung pada 14 april sampai 16 April, pada hari pemungutan suara, itu politik uang yang menyasar pemilih harus kita antisipasi," ujar Titi kepada BBC Indonesia.
Almas Sjafrina, peneliti dari divisi korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW), menambahkan syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% membuat para calon legislatif lebih sulit memperoleh kursi di parlemen. Implikasinya, praktik politik uang yang ia sebut sebagai 'praktik jual beli suara' kian rawan.
"Salah satu titik yang paling rawan adalah ketika hari tenang, justru mereka bergerilya karena tiga hari terakhir itu lah kesempatan terakhir mereka untuk meyakinkan target pemilih. Entah itu secara langsung maupun tidak langsung," ujar Almas.
Adapun untuk mengantisipasi praktik jual beli suara, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan pihaknya akan mengintensifkan patroli pengawasan di kampung dan daerah, untuk memantau serangan fajar yang dilakukan.
Pembagian 'bingkisan' dari capres
Akhir Maret silam, warga Banjarsari di Solo, Jawa Tengah digemparkan oleh beredarnya sebuah foto melalui layanan pesan instan yang menyebut adanya pembagian bingkisan dari pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketua RT 02 RW 04 Cinderejo Lor, Gilingan, Banjarsari, Joko Santoso mengungkapkan kabar soal foto politik uang dari salah satu pasangan capres itu memang sempat beredar beberapa waktu lalu.
Dalam foto itu juga menyebut bahwa lokasi pembagian bingkisan kaos, kipas, gelang dan uang Rp 200 ribu itu terjadi kampung Cinderejo Lor, belakang Terminal Tirtonadi.
Menyusul kabar tersebut, Joko pun langsung mengecek kebenaran beredarnya 'bingkisan' dari salah satu capres itu. Selain menanyai warganya, ia juga mengecek langsung kepada para penarik becak yang biasa mangkal di belakang terminal.
"Saya tanya di sekitar sini memang tidak ada. Ya sudah itu memang hanya dibuat-buat hoaks. Kalau pun ada pasti sudah ada yang laporan ke sana. Karena selama ini jika ada apa-apa warga pasti melapor. Ini warga dan tukang becak sudah saya tanyai juga tidak ada yang tahu," aku Joko kepada wartawan Fajar Shodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bawaslu Solo yang menerima laporan praktik politik uang pun langsung melakukan investigasi. Hanya saja berdasarkan hasil invetigasi tersebut, Komisioner Divisi Penindakan dan Pelanggaran Bawaslu Solo, Poppy Kusuma, mengungkapkan petugas tidak berhasil menemukan bukti pembagian paket bingkisan dan uang Rp 200.000 itu.
Dengan nihilnya hasil penelusuran itu menyebabkan pihaknya tidak bisa menindaklanjuti penyelidikan kasus tersebut.
"Kita telusuri memang tidak ada barang buktinya. Seandainya ada informasi awal itu terus ada barang bukti ya tetap akan kita tindak lanjuti," ujar Poppy.
Berdasarkan data dari Bawaslu Solo, Poppy menyebut hingga kini belum ditemukan adanya praktik politik uang di wilayahnya.
Hanya saja, ia mewanti-wanti jika mendekati hari pemilihan seperti hari tenang dan hari-H menjelang pemungutan sangat rawan terjadinya praktik politik uang.
"Untuk mencegah terjadinya pelanggaran
money politics , kita melakukan sosialisasi soal itu kepada stakeholder, komunitas, pemula, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya."
Mereka itu istilahnya kita katakan pengawasan partisipatif untuk membantu Bawaslu melakukan pengawasan jika terjadi pelangaran money politics dalam pemilihan nanti," harapnya.
Poppy menegaskan pihaknya gencar melakukan sosialisasi pencegahan politik uang menjelang pemilu 2019. Selain melakukan sosialisasi, Bawaslu juga aktif menggerakan Panwas Kecamatan hingga Panwaslu Kelurahan untuk mengecek kebenaran terkait beredarnya kabar praktik politik uang yang dilakukan oleh tim sukses.
Uang dalam kardus
Tak lama setelah beredarnya kabar praktik politik uang di Solo, KPK menetapkan anggota DPR Bowo Sidiq Pangarso sebagai tersangka penerimaan gratifikasi kasus penyewaan kapal untuk distribusi pupuk.
Dari penyelidikan terungkap bahwa Bowo sudah tujuh kali menerima gratifikasi. Dari Bowo, KPK menyita uang tunai Rp 89,4 juta serta Rp 8 miliar rupiah yang disimpan dalam 84 kardus. Uang itu ditemukan dalam amplop dengan pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan uang suap yang diterima Bowo akan digunakan untuk kepentingan kampanye pileg 2019. Pasalnya, Bowo saat ini adalah calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah.
"Diduga yang bersangkutan mengumpulkan uang yang sejumlah penerimaan uang tersebut, sudah barang tentu terkait jabatannya sebagai penyelenggara negara dan dipersiapkan untuk serangan fajar pada pemilu 2019 nanti," ujar Basaria dalam konferensi pers.
Pada kesempatan terpisah, peneliti Perludem, Fadli Ramahanil, memandang politik uang menjadi salah unsur pelanggaran yang akan banyak terjadi di pemilu 2019, khususnya untuk konteks pemilu legislatif, terutama di pileg kabupaten kota.
"Semakin mendekati hari pemungutan suara, potensinya akan semakin besar terjadinya politik suara itu karena orang menganggap bahwa persepsi publik soal politik uang itu masih terbelah," tuturnya dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (27/03).
"Ada sebagian yang sudah sadar bahwa ini penyakit demokrasi, ada juga masyarakat yang masih menolerir politik uang," imbuh Fadli.
Dia pula menuturkan selain merusak demokrasi, politik uang juga merugikan pemilih, dalam jangka pendek atau panjang.
"Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal transaksi antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih karena diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan," ujarnya.
Sementara, dalam jangka panjang, politik uang adalah cikal bakal praktik korupsi politik.
"Karena biaya politik yang tinggi, kemudian pejabat politik itu ketika menjabat akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan begitu besar pada proses kontestasi. ya ujungnya bancakan uang negara dan uang proyek," cetus Fadli.
Penangkapan Bowo, menambah daftar panjang kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. ICW mencatat setidaknya ada 12 kasus korupsi yang berkaitan dengan kepentingan pemilu.
Peniliti ICW, Almas Sjafrina, mencontohkan korupsi jual beli jabatan di Nganjuk, Jawa Timur yang melibatkan Bupati Taufiqurrahman, disebut bahwa salah satu diduga untuk kepentingan istrinya maju di pilkada.
"Ada juga Atty Suharti (mantan walikota Cimahi) di Cimahi, Jawa Barat, uang hasil korupsinya dia kumpulkan untuk modal pilkada selanjutnya," ujarnya.
Mengapa politik uang marak?
Almas mengungkapkan politik uang lahir karena ketidakpercayaan kandidat dan tim sukses bahwa mereka bisa menang dengan cara-cara jujur. Selain itu, masalah itu muncul lantaran persoalan dari parpol, khususnya dalam konteks rekrutmen pejabat publik.
Proses rekrutmen yang tidak mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas, menurut Almas, melahirkan calon-calon yang instan, yang tidak hanya cukup memasang baliho yang banyak untuk menarik suara pemilih.
"Tidak ada ruang bagi publik dan kandidat untuk membangun kedekatan," ujar Almas.
"Caleg yang instan menurut kami akan cenderung akan melahirkan praktik jual beli suara, apalagi kalau mereka sudah caleg instan, dan mengutamakan modal yang besar," imbuhnya.
Faktor lain, menurut Alma adalah, pendidikan politik di Indonesia yang masih rendah. Sehingga pemilih belum teredukasi secara maksimal tentang pentingnya pemilu, pentingnya memilih calon yang baik dalam pemilu dan apa konsekuensi dari politik uang.
"Ada masalah yang akan lahir dari politik uang. Pertama, itu akan mencederai kedaulatan pemilih, karena seharusnya mereka bisa melakukan pertimbangan yang lebih baik, kemudian dicederai dengan uang. Kedua, ini akan membuat biaya pemilu semakin mahal dan nanti akan ada korelasinya dengan korupsi politik," jelas Almas.
Sementara, penelitian doktoral yang dilakukan Burhanuddin Muhtadi menunjukkan satu dari tiga pemilih pada pemilu 2014 terpapar oleh praktik politik uang.
Ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.
Apa saja modus dan pola jual beli suara?
Merujuk pada apa yang dipetakan oleh ICW dari pemilu 2014 dan beberapa pilkada yang digelar selanjutnya, pola jual beli suara ini bervariasi.
Ada yang langsung diterima oleh pemilih yang menerima manfaat politik uang itu, bisa juga dilakukan secara tidak langsung, yakni oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan secara langsung.
"Misalnya yang dilakukan oleh tim sukses, baik tim sukses yang terdaftar, maupun tidak terdaftar," ujar Almas.
"Selain itu, politik uang bisa dilakukan oleh politisi dan pengurus partai, dan publik, yakni mereka yang merupakan broker suara atau ketua RT, bahkan bahasa halusnya adalah fasilitator," lanjut Almas.
Namun, apakah praktik politik yang ini efektif untuk memobilisasi pemilih?
Almas dari ICW mengatakan, biasanya praktik jual beli suara ini dilakukan secara door-to-door , dengan mendatangi pemilih kemudian memberikan uang secara langsung. Besarannya pun beragam.
"Kita tidak membicarakan apakah uang itu efektif men- drive (mendorong) pemilih untuk memilih yang bersangkutan. Tapi pada praktiknya ada juga tim dari kandidat yang memberikan uang Rp 5.000 kepada pemilih."
Dalam pemilihan kepala daerah, jumlah uang yang diberikan kepada pemilih bisa lebih tinggi, berkisar antara Rp 250.000. - Rp 300.000 yang diberikan secara bertahap sebelum dan sesudah pencoblosan
"Itu biasanya disebut serangan fajar, pascabayar dan prabayar," kata dia.
Dari bentuk pemberiannya, tidak hanya dalam bentuk tunai, tapi banyak juga diberikan dalam bentuk voucher .
"Karena mereka masih berpikir 'yang nggak boleh kan politik uang', bukan memberikan barang," kata dia.
Salah satu warga Solo, Sriyanto, mengaku sudah tiga kali menerima uang jelang pemilu dari tiga partai yang berkontestasi pada pemilu sebelumnya. Uang sejumlah Rp 200 ribu dia ambil, ketika tiba masa pencoblosan di TPS, dia pun mencoblos ketiga partai itu sekaligus.
"Pas milih saya coblos tapi saya coblos semua. Lha sana (partai yang memberi uang) suruh coblos, ya saya coblos. Mbuh bener apa ndak saya ndak tahu," ujar Sriyanto.
Namun, warga Solo lainnya, Maya, berpendapat lain. Meski bingkisan dari caleg dia terima, namun dia mengaku tak serta merta memilih caleg itu.
"Biasanya kalau saya ya karena sudah punya pilihan sendiri ya memilih sesuai pilihan hatinya sendiri," kata dia.
Sementara itu, penelitian Burhanuddin Muhtadi menunjukkan meski politik uang merajalela di Indonesia, namun dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah, hanya mempengaruhi sekitar 11% dari total hasil suara.
Salah satu alasannya adalah kandidat salah target. Penelitiannya menunjukkan, alih-alih menargetkan pemilih loyal, para calon justru banyak menyasar pemilih yang tidak terikat yang belum tentu akan memberikan suara mereka.
Sementara pemilih loyal, yang jumlahnya terbatas (hanya 155 dari jumlah seluruh pemilih), juga diperebutkan oleh banyak kandidat yang bersaing, sehingga membuat mereka sulit untuk disasar.
Bagaimana penanganan kasus politik uang sejauh ini?
Hingga 25 Maret 2019, Bawaslu sudah menerima 6.649 temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu.
Adapun dari 548 kasus pelanggaran pidana, sebanyak 66 sudah diputus oleh pengadilan. Dari jumlah itu, 57 kasus sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan 9 putusan masih dalam prroses.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menuturkan dari 66 putusan itu, jenis pelanggaran politik uang ada 9 kasus, terdiri dari tiga kasus di DKI Jakarta.
Sementara Riau, Jawa Barat, NTB, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara masing-masing ada satu kasus.
"Kalau kita lihat ragam pelaku, calon legislatif tujuh terpidana, dan pelaksana kampanye 1 terpidana," ujar Fritz.
"Jadi kalau kita lihat sembilan putusan ini, ini adalah pelanggaran politik uang pada masa kampanye," imbuhnya.
Mengacu pada pasal 523 Undang-Undang Pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye dilarang memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih pada masa kampanye masa tenang dan di hari pemungutan suara.
Fritz menuturkan, pelarangan ini juga berlaku untuk paket bahan pokok dan
voucher.
'Hukuman yang paling ditakuti oleh semua caleg'
Sementara merujuk pada UU Pemilu pasal 280, pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta pemilu. Pelanggaran pasal ini, berdampak pada pencoretan sang caleg dari daftar caleg tetap (DCT).
"Jadi kalau dia terbukti melanggar pasal 280 dan ada putusan pengadilan yang inkracht, meski hukumannya adalah hukuman percobaan, dia dicoret dari DCT," ujar Fritz.
Pencabutan hak politik berupa pencoretan dari DCT ini sudah dilakukan terhadap Mandala Shoji dan Lucky Adriani yang namanya dicoret dari daftar caleg Partai PAN lantaran terbukti membagikan kupon undian voucher umrah kepada warga Jakarta saat kampanye.
Fritz mengakui, meski hukuman pidana yang diberikan terhadap caleg yang terbukti melakukan politik uang hanya kisaran beberapa bulan, namun menurutnya, hukuman pencoretan dari DCT adalah "hukuman yang paling ditakuti oleh semua caleg".
"Itu juga bisa jadi hukuman yang terberat bagi partai politik karena dia mungkin kehilangan caleg yang berpotensi di daerah tersebut, dan juga mungkin dikapitalisasi oleh parpol lain bahwa caleg ini adalah bagian dari partai ini. Ini secara nggak langsung merusak citra partai jika ada calegnya yang melakukan seperti itu," ujarnya.
Sanksi pencoretan dari DCT, menurut Fadli Ramadhanil dari Perludem, akan memberikan jera bagi mereka yang melakukan politik uang.
"Peserta pemilu paling takut jika tidak bisa ikut pemilu. Jika hanya sekedar bayar denda, mereka pasti bisa. Tapi kalau kemudian sanksinya didiskualifikasi sebagai peserta pemilu, saya membayangkan ini akan memberikan efek yang lebih jelas dan mencegah orang melakukan politik uang," kata dia.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi politik uang?
Fadli mengatakan, yang paling bisa dilakukan oleh pemilh adalah menolak pemberian uang atau modus apa pun yang dilakukan oleh peserta pemilu.
"Dia sadar bahwa praktik itu adalah marabahaya bagi demokrasi," kata dia.
Sementara bagi peserta pemilu, semestinya mereka menghimbau mesin pemenangannya untuk berhentu melakukan praktik politik uang, karena dampaknya yang sangat sistemik.
"Tidak hanya kepada pemilih, tapi juga kepada bagaimana orang tidak percaya lagi pada proses pemilu karena yang menang adalah yang memberikan uang dengan modal yang begitu besar," cetusnya.
Desa anti politik uang
Kendati begitu, kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang mulai tampak, seiring banyak desa yang mendeklarasikan anti politik uang terus tumbuh menjelang pemilu 2019.
Minggu lalu, giliran warga dari lima desa di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang menggelorakan semangat ini.
Hingga kini, setidaknya ada 36 desa yang sudah mendeklarasikan gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang.
Terkait gerakan ini, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menjelaskan gerakan ini selain diinisiasi oleh warga dan kepala desa, yang kemudian membuat peraturan desa, untuk tidak menerima politik uang, baik dari caleg maupun timses calon presiden.
"[Ini] ebenarnya adalah bagian dari partisipasi masyarakat bahwa mereka sudah dewasa dan mau ikut terlibat dalam proses demokrasi tanpa harus dicederai dengan politik uang," kata dia.
Sementara Almas Sjafrina dari ICW mengapresiasi inisiatif desa anti politik uang ini. Pasalnya, politik uang rawan terjadi di desa-desa, bahkan ada kepala desa yang kemudian terlibat dalam praktik politik uang itu.
"Dengan adanya desa, baik yang dinisiasi oleh masyarakat atau pemerintah desanya yang mendeklarasikan anti politik uang, artinya sosialisasi tentang bahaya dan larangan politik uang ini sudah sampai ke desa-desa dan ini akan lebih efektif untuk sampai ke semua masyarakat desa ketika memang ada deklarasi dari desanya itu sendiri
Pemilu 2019 lebih berisiko ketimbang pemilu sebelumnya?
Politik uang, penyebaran hoaks dan fitnah pemilu, serta manipulasi hasil pemilu atau perolehan suara, menjadi tiga hal yang patut diwaspadai dalam pemilu 2019, menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Dia memandang pemilu kali ini lebih berisiko terjadi kecurangan lantaran aktor kontestan yang lebih kompetitif, di sisi lain, pileg dan pilpres yang dilakukan berbarengan membuat situasi kompetisinya sangat ketat.
"Terutama pemilu legislatif ya, ambang batas parelemen 4%, partai politik tambah banyak, calegnya tambah banyak, sehingga kompetisi begitu menjadi sengit, begitu kompetitif. Jadi ruang-ruang untuk terjadinya kecurangan bisa lebih besar," jelas Titi.
Belum lagi, mereka memanfaatkan celah-celah yang membuat penegakkan hukum sulit dilakukan.
"Jadi pileg yang berada di bawah bayang-bayang pilpres memang membuat tantangan tersendiri, dan beban penyelenggara pemilu yang berlipat itu juga mengancam mereka, bisa saja kurang profesional di dalam menghadapi situasi yang ada di lapangan," kata dia.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan kompleksitas pemilu yang membawa konsekuensi pada politik uang semestinya tidak hanya dibebankan pada Bawaslu, tapi menjadi tanggung jawab bersama. Betapapun, Fritz menegaskan bahwa fungsi pencegahan sudah dilakukan oleh Bawaslu.
"Fungsi pencegahan sudah dilakukan, baik melalui komitmen untuk tidak melakukan politik uang, baik terhadap paslon, kepada peserta pemilu, dan semua peserta pemilu sudah membuat pernyataaan bersama. Tinggal sekarang penegakkan hukum itu adalah kerja antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan di dalam Sentra Gakumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu)," tandasnya.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47747515
BBC News Indonesia
7 April 2019

Kontestasi pemilihan presiden dan legislatif yang kompetitif dan kompleks dianggap membuat praktik politik uang kian rawan. Salah satu titik yang paling rawan ialah ketika hari tenang dan pencoblosan, atau sering disebut serangan fajar.
Penangkapan seorang anggota legislatif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan uang lebih dari Rp8 miliar yang diduga akan digunakannya untuk 'serangan fajar' dalam pemilu legislatif (pileg) mendatang, disebut pengamat menunjukkan bahwa pemilu kali ini juga akan diwarnai politik uang.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, potensi kecurangan pemilu bisa dikontribusikan oleh perilaku kompetisi yang pragmatis, di tengah suasana kompetisi yang sangat kompetitif, apalagi dalam pileg.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan makin banyaknya partai dalam pemilu kali ini membuat kompetisi pileg "makin sengit", belum lagi calon legislatif harus berkompetisi di internal dan eksternal sehingga membuat mereka menempuh "perilaku yang penting menang, apapun caranya, karena memang kompetisinya sangat sengit."
"Maka di kampanye rapat umum yang akan berlangsung mulai 24 maret sampai 13 April. Pada masa tenang, yang akan berlangsung pada 14 april sampai 16 April, pada hari pemungutan suara, itu politik uang yang menyasar pemilih harus kita antisipasi," ujar Titi kepada BBC Indonesia.
Almas Sjafrina, peneliti dari divisi korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW), menambahkan syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% membuat para calon legislatif lebih sulit memperoleh kursi di parlemen. Implikasinya, praktik politik uang yang ia sebut sebagai 'praktik jual beli suara' kian rawan.
"Salah satu titik yang paling rawan adalah ketika hari tenang, justru mereka bergerilya karena tiga hari terakhir itu lah kesempatan terakhir mereka untuk meyakinkan target pemilih. Entah itu secara langsung maupun tidak langsung," ujar Almas.
Adapun untuk mengantisipasi praktik jual beli suara, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan pihaknya akan mengintensifkan patroli pengawasan di kampung dan daerah, untuk memantau serangan fajar yang dilakukan.
Pembagian 'bingkisan' dari capres
Akhir Maret silam, warga Banjarsari di Solo, Jawa Tengah digemparkan oleh beredarnya sebuah foto melalui layanan pesan instan yang menyebut adanya pembagian bingkisan dari pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketua RT 02 RW 04 Cinderejo Lor, Gilingan, Banjarsari, Joko Santoso mengungkapkan kabar soal foto politik uang dari salah satu pasangan capres itu memang sempat beredar beberapa waktu lalu.
Dalam foto itu juga menyebut bahwa lokasi pembagian bingkisan kaos, kipas, gelang dan uang Rp 200 ribu itu terjadi kampung Cinderejo Lor, belakang Terminal Tirtonadi.
Menyusul kabar tersebut, Joko pun langsung mengecek kebenaran beredarnya 'bingkisan' dari salah satu capres itu. Selain menanyai warganya, ia juga mengecek langsung kepada para penarik becak yang biasa mangkal di belakang terminal.
"Saya tanya di sekitar sini memang tidak ada. Ya sudah itu memang hanya dibuat-buat hoaks. Kalau pun ada pasti sudah ada yang laporan ke sana. Karena selama ini jika ada apa-apa warga pasti melapor. Ini warga dan tukang becak sudah saya tanyai juga tidak ada yang tahu," aku Joko kepada wartawan Fajar Shodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bawaslu Solo yang menerima laporan praktik politik uang pun langsung melakukan investigasi. Hanya saja berdasarkan hasil invetigasi tersebut, Komisioner Divisi Penindakan dan Pelanggaran Bawaslu Solo, Poppy Kusuma, mengungkapkan petugas tidak berhasil menemukan bukti pembagian paket bingkisan dan uang Rp 200.000 itu.
Dengan nihilnya hasil penelusuran itu menyebabkan pihaknya tidak bisa menindaklanjuti penyelidikan kasus tersebut.
"Kita telusuri memang tidak ada barang buktinya. Seandainya ada informasi awal itu terus ada barang bukti ya tetap akan kita tindak lanjuti," ujar Poppy.
Berdasarkan data dari Bawaslu Solo, Poppy menyebut hingga kini belum ditemukan adanya praktik politik uang di wilayahnya.
Hanya saja, ia mewanti-wanti jika mendekati hari pemilihan seperti hari tenang dan hari-H menjelang pemungutan sangat rawan terjadinya praktik politik uang.
"Untuk mencegah terjadinya pelanggaran
money politics , kita melakukan sosialisasi soal itu kepada stakeholder, komunitas, pemula, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya."
Mereka itu istilahnya kita katakan pengawasan partisipatif untuk membantu Bawaslu melakukan pengawasan jika terjadi pelangaran money politics dalam pemilihan nanti," harapnya.
Poppy menegaskan pihaknya gencar melakukan sosialisasi pencegahan politik uang menjelang pemilu 2019. Selain melakukan sosialisasi, Bawaslu juga aktif menggerakan Panwas Kecamatan hingga Panwaslu Kelurahan untuk mengecek kebenaran terkait beredarnya kabar praktik politik uang yang dilakukan oleh tim sukses.
Uang dalam kardus
Tak lama setelah beredarnya kabar praktik politik uang di Solo, KPK menetapkan anggota DPR Bowo Sidiq Pangarso sebagai tersangka penerimaan gratifikasi kasus penyewaan kapal untuk distribusi pupuk.
Dari penyelidikan terungkap bahwa Bowo sudah tujuh kali menerima gratifikasi. Dari Bowo, KPK menyita uang tunai Rp 89,4 juta serta Rp 8 miliar rupiah yang disimpan dalam 84 kardus. Uang itu ditemukan dalam amplop dengan pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan uang suap yang diterima Bowo akan digunakan untuk kepentingan kampanye pileg 2019. Pasalnya, Bowo saat ini adalah calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah.
"Diduga yang bersangkutan mengumpulkan uang yang sejumlah penerimaan uang tersebut, sudah barang tentu terkait jabatannya sebagai penyelenggara negara dan dipersiapkan untuk serangan fajar pada pemilu 2019 nanti," ujar Basaria dalam konferensi pers.
Pada kesempatan terpisah, peneliti Perludem, Fadli Ramahanil, memandang politik uang menjadi salah unsur pelanggaran yang akan banyak terjadi di pemilu 2019, khususnya untuk konteks pemilu legislatif, terutama di pileg kabupaten kota.
"Semakin mendekati hari pemungutan suara, potensinya akan semakin besar terjadinya politik suara itu karena orang menganggap bahwa persepsi publik soal politik uang itu masih terbelah," tuturnya dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (27/03).
"Ada sebagian yang sudah sadar bahwa ini penyakit demokrasi, ada juga masyarakat yang masih menolerir politik uang," imbuh Fadli.
Dia pula menuturkan selain merusak demokrasi, politik uang juga merugikan pemilih, dalam jangka pendek atau panjang.
"Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal transaksi antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih karena diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan," ujarnya.
Sementara, dalam jangka panjang, politik uang adalah cikal bakal praktik korupsi politik.
"Karena biaya politik yang tinggi, kemudian pejabat politik itu ketika menjabat akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan begitu besar pada proses kontestasi. ya ujungnya bancakan uang negara dan uang proyek," cetus Fadli.
Penangkapan Bowo, menambah daftar panjang kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. ICW mencatat setidaknya ada 12 kasus korupsi yang berkaitan dengan kepentingan pemilu.
Peniliti ICW, Almas Sjafrina, mencontohkan korupsi jual beli jabatan di Nganjuk, Jawa Timur yang melibatkan Bupati Taufiqurrahman, disebut bahwa salah satu diduga untuk kepentingan istrinya maju di pilkada.
"Ada juga Atty Suharti (mantan walikota Cimahi) di Cimahi, Jawa Barat, uang hasil korupsinya dia kumpulkan untuk modal pilkada selanjutnya," ujarnya.
Mengapa politik uang marak?
Almas mengungkapkan politik uang lahir karena ketidakpercayaan kandidat dan tim sukses bahwa mereka bisa menang dengan cara-cara jujur. Selain itu, masalah itu muncul lantaran persoalan dari parpol, khususnya dalam konteks rekrutmen pejabat publik.
Proses rekrutmen yang tidak mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas, menurut Almas, melahirkan calon-calon yang instan, yang tidak hanya cukup memasang baliho yang banyak untuk menarik suara pemilih.
"Tidak ada ruang bagi publik dan kandidat untuk membangun kedekatan," ujar Almas.
"Caleg yang instan menurut kami akan cenderung akan melahirkan praktik jual beli suara, apalagi kalau mereka sudah caleg instan, dan mengutamakan modal yang besar," imbuhnya.
Faktor lain, menurut Alma adalah, pendidikan politik di Indonesia yang masih rendah. Sehingga pemilih belum teredukasi secara maksimal tentang pentingnya pemilu, pentingnya memilih calon yang baik dalam pemilu dan apa konsekuensi dari politik uang.
"Ada masalah yang akan lahir dari politik uang. Pertama, itu akan mencederai kedaulatan pemilih, karena seharusnya mereka bisa melakukan pertimbangan yang lebih baik, kemudian dicederai dengan uang. Kedua, ini akan membuat biaya pemilu semakin mahal dan nanti akan ada korelasinya dengan korupsi politik," jelas Almas.
Sementara, penelitian doktoral yang dilakukan Burhanuddin Muhtadi menunjukkan satu dari tiga pemilih pada pemilu 2014 terpapar oleh praktik politik uang.
Ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.
Apa saja modus dan pola jual beli suara?
Merujuk pada apa yang dipetakan oleh ICW dari pemilu 2014 dan beberapa pilkada yang digelar selanjutnya, pola jual beli suara ini bervariasi.
Ada yang langsung diterima oleh pemilih yang menerima manfaat politik uang itu, bisa juga dilakukan secara tidak langsung, yakni oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan secara langsung.
"Misalnya yang dilakukan oleh tim sukses, baik tim sukses yang terdaftar, maupun tidak terdaftar," ujar Almas.
"Selain itu, politik uang bisa dilakukan oleh politisi dan pengurus partai, dan publik, yakni mereka yang merupakan broker suara atau ketua RT, bahkan bahasa halusnya adalah fasilitator," lanjut Almas.
Namun, apakah praktik politik yang ini efektif untuk memobilisasi pemilih?
Almas dari ICW mengatakan, biasanya praktik jual beli suara ini dilakukan secara door-to-door , dengan mendatangi pemilih kemudian memberikan uang secara langsung. Besarannya pun beragam.
"Kita tidak membicarakan apakah uang itu efektif men- drive (mendorong) pemilih untuk memilih yang bersangkutan. Tapi pada praktiknya ada juga tim dari kandidat yang memberikan uang Rp 5.000 kepada pemilih."
Dalam pemilihan kepala daerah, jumlah uang yang diberikan kepada pemilih bisa lebih tinggi, berkisar antara Rp 250.000. - Rp 300.000 yang diberikan secara bertahap sebelum dan sesudah pencoblosan
"Itu biasanya disebut serangan fajar, pascabayar dan prabayar," kata dia.
Dari bentuk pemberiannya, tidak hanya dalam bentuk tunai, tapi banyak juga diberikan dalam bentuk voucher .
"Karena mereka masih berpikir 'yang nggak boleh kan politik uang', bukan memberikan barang," kata dia.
Salah satu warga Solo, Sriyanto, mengaku sudah tiga kali menerima uang jelang pemilu dari tiga partai yang berkontestasi pada pemilu sebelumnya. Uang sejumlah Rp 200 ribu dia ambil, ketika tiba masa pencoblosan di TPS, dia pun mencoblos ketiga partai itu sekaligus.
"Pas milih saya coblos tapi saya coblos semua. Lha sana (partai yang memberi uang) suruh coblos, ya saya coblos. Mbuh bener apa ndak saya ndak tahu," ujar Sriyanto.
Namun, warga Solo lainnya, Maya, berpendapat lain. Meski bingkisan dari caleg dia terima, namun dia mengaku tak serta merta memilih caleg itu.
"Biasanya kalau saya ya karena sudah punya pilihan sendiri ya memilih sesuai pilihan hatinya sendiri," kata dia.
Sementara itu, penelitian Burhanuddin Muhtadi menunjukkan meski politik uang merajalela di Indonesia, namun dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah, hanya mempengaruhi sekitar 11% dari total hasil suara.
Salah satu alasannya adalah kandidat salah target. Penelitiannya menunjukkan, alih-alih menargetkan pemilih loyal, para calon justru banyak menyasar pemilih yang tidak terikat yang belum tentu akan memberikan suara mereka.
Sementara pemilih loyal, yang jumlahnya terbatas (hanya 155 dari jumlah seluruh pemilih), juga diperebutkan oleh banyak kandidat yang bersaing, sehingga membuat mereka sulit untuk disasar.
Bagaimana penanganan kasus politik uang sejauh ini?
Hingga 25 Maret 2019, Bawaslu sudah menerima 6.649 temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu.
Adapun dari 548 kasus pelanggaran pidana, sebanyak 66 sudah diputus oleh pengadilan. Dari jumlah itu, 57 kasus sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan 9 putusan masih dalam prroses.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menuturkan dari 66 putusan itu, jenis pelanggaran politik uang ada 9 kasus, terdiri dari tiga kasus di DKI Jakarta.
Sementara Riau, Jawa Barat, NTB, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara masing-masing ada satu kasus.
"Kalau kita lihat ragam pelaku, calon legislatif tujuh terpidana, dan pelaksana kampanye 1 terpidana," ujar Fritz.
"Jadi kalau kita lihat sembilan putusan ini, ini adalah pelanggaran politik uang pada masa kampanye," imbuhnya.
Mengacu pada pasal 523 Undang-Undang Pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye dilarang memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih pada masa kampanye masa tenang dan di hari pemungutan suara.
Fritz menuturkan, pelarangan ini juga berlaku untuk paket bahan pokok dan
voucher.
'Hukuman yang paling ditakuti oleh semua caleg'
Sementara merujuk pada UU Pemilu pasal 280, pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta pemilu. Pelanggaran pasal ini, berdampak pada pencoretan sang caleg dari daftar caleg tetap (DCT).
"Jadi kalau dia terbukti melanggar pasal 280 dan ada putusan pengadilan yang inkracht, meski hukumannya adalah hukuman percobaan, dia dicoret dari DCT," ujar Fritz.
Pencabutan hak politik berupa pencoretan dari DCT ini sudah dilakukan terhadap Mandala Shoji dan Lucky Adriani yang namanya dicoret dari daftar caleg Partai PAN lantaran terbukti membagikan kupon undian voucher umrah kepada warga Jakarta saat kampanye.
Fritz mengakui, meski hukuman pidana yang diberikan terhadap caleg yang terbukti melakukan politik uang hanya kisaran beberapa bulan, namun menurutnya, hukuman pencoretan dari DCT adalah "hukuman yang paling ditakuti oleh semua caleg".
"Itu juga bisa jadi hukuman yang terberat bagi partai politik karena dia mungkin kehilangan caleg yang berpotensi di daerah tersebut, dan juga mungkin dikapitalisasi oleh parpol lain bahwa caleg ini adalah bagian dari partai ini. Ini secara nggak langsung merusak citra partai jika ada calegnya yang melakukan seperti itu," ujarnya.
Sanksi pencoretan dari DCT, menurut Fadli Ramadhanil dari Perludem, akan memberikan jera bagi mereka yang melakukan politik uang.
"Peserta pemilu paling takut jika tidak bisa ikut pemilu. Jika hanya sekedar bayar denda, mereka pasti bisa. Tapi kalau kemudian sanksinya didiskualifikasi sebagai peserta pemilu, saya membayangkan ini akan memberikan efek yang lebih jelas dan mencegah orang melakukan politik uang," kata dia.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi politik uang?
Fadli mengatakan, yang paling bisa dilakukan oleh pemilh adalah menolak pemberian uang atau modus apa pun yang dilakukan oleh peserta pemilu.
"Dia sadar bahwa praktik itu adalah marabahaya bagi demokrasi," kata dia.
Sementara bagi peserta pemilu, semestinya mereka menghimbau mesin pemenangannya untuk berhentu melakukan praktik politik uang, karena dampaknya yang sangat sistemik.
"Tidak hanya kepada pemilih, tapi juga kepada bagaimana orang tidak percaya lagi pada proses pemilu karena yang menang adalah yang memberikan uang dengan modal yang begitu besar," cetusnya.
Desa anti politik uang
Kendati begitu, kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang mulai tampak, seiring banyak desa yang mendeklarasikan anti politik uang terus tumbuh menjelang pemilu 2019.
Minggu lalu, giliran warga dari lima desa di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang menggelorakan semangat ini.
Hingga kini, setidaknya ada 36 desa yang sudah mendeklarasikan gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang.
Terkait gerakan ini, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menjelaskan gerakan ini selain diinisiasi oleh warga dan kepala desa, yang kemudian membuat peraturan desa, untuk tidak menerima politik uang, baik dari caleg maupun timses calon presiden.
"[Ini] ebenarnya adalah bagian dari partisipasi masyarakat bahwa mereka sudah dewasa dan mau ikut terlibat dalam proses demokrasi tanpa harus dicederai dengan politik uang," kata dia.
Sementara Almas Sjafrina dari ICW mengapresiasi inisiatif desa anti politik uang ini. Pasalnya, politik uang rawan terjadi di desa-desa, bahkan ada kepala desa yang kemudian terlibat dalam praktik politik uang itu.
"Dengan adanya desa, baik yang dinisiasi oleh masyarakat atau pemerintah desanya yang mendeklarasikan anti politik uang, artinya sosialisasi tentang bahaya dan larangan politik uang ini sudah sampai ke desa-desa dan ini akan lebih efektif untuk sampai ke semua masyarakat desa ketika memang ada deklarasi dari desanya itu sendiri
Pemilu 2019 lebih berisiko ketimbang pemilu sebelumnya?
Politik uang, penyebaran hoaks dan fitnah pemilu, serta manipulasi hasil pemilu atau perolehan suara, menjadi tiga hal yang patut diwaspadai dalam pemilu 2019, menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Dia memandang pemilu kali ini lebih berisiko terjadi kecurangan lantaran aktor kontestan yang lebih kompetitif, di sisi lain, pileg dan pilpres yang dilakukan berbarengan membuat situasi kompetisinya sangat ketat.
"Terutama pemilu legislatif ya, ambang batas parelemen 4%, partai politik tambah banyak, calegnya tambah banyak, sehingga kompetisi begitu menjadi sengit, begitu kompetitif. Jadi ruang-ruang untuk terjadinya kecurangan bisa lebih besar," jelas Titi.
Belum lagi, mereka memanfaatkan celah-celah yang membuat penegakkan hukum sulit dilakukan.
"Jadi pileg yang berada di bawah bayang-bayang pilpres memang membuat tantangan tersendiri, dan beban penyelenggara pemilu yang berlipat itu juga mengancam mereka, bisa saja kurang profesional di dalam menghadapi situasi yang ada di lapangan," kata dia.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan kompleksitas pemilu yang membawa konsekuensi pada politik uang semestinya tidak hanya dibebankan pada Bawaslu, tapi menjadi tanggung jawab bersama. Betapapun, Fritz menegaskan bahwa fungsi pencegahan sudah dilakukan oleh Bawaslu.
"Fungsi pencegahan sudah dilakukan, baik melalui komitmen untuk tidak melakukan politik uang, baik terhadap paslon, kepada peserta pemilu, dan semua peserta pemilu sudah membuat pernyataaan bersama. Tinggal sekarang penegakkan hukum itu adalah kerja antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan di dalam Sentra Gakumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu)," tandasnya.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47747515
0
1.1K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan