rinnopiantAvatar border
TS
rinnopiant
(Cerbung Horor) TOPI SAYA BUNDAR


BAB I: KECELAKAAN MAUT

"Mama ...," lirih suara remaja putri usia tujuh belas tahunan. Tubuhnya lunglai di atas aspal setelah terlempar keluar dari pintu mobil yang terlepas akibat benturan yang begitu keras.

Sekuat tenaga gadis itu berusaha merayap di antara puing yang berserakan. Dengan pandangan yang sedikit kabur, sebab ada darah yang menetes lalu menggenangi satu matanya.

"Ranum ... Ranum, kamu nggak apa-apa, Sayang?" Dari dalam mobil yang ringsek dengan posisi terbalik, seorang wanita dengan kondisi yang tak kalah memprihatinkan terduduk di belakang kemudi. Tubuhnya lekat menempel di kursi dengan posisi kepala di bawah, menyentuh atap mobil.

"Mama ... sakit," erang gadis itu memegangi rambutnya yang basah oleh darah, yang berasal dari luka di kepalanya.

"Sabar, Sayang. Tunggu Mama ... menepi dulu, Ranum." Wanita di dalam mobil tampak berusaha melepaskan diri dari jerat sabuk pengaman yang terkunci.

Menuruti titah sang ibu, gadis berambut panjang itu merayap menepi. Bersandar ia pada trotoar jalan seraya menahan nyeri di sekujur tubuh.

Jalanan jam delapan malam kala itu sangat sepi. Tak ada seorang pun yang bisa dimintai pertolongan. Satu-satunya kendaraan lain yang mereka lihat adalah sebuah minibus bercat hitam yang telah menabrak mobil sedan yang mereka kendarai hingga tergelincir dan terbalik seperti sekarang.

Tak lama kemudian tiba-tiba asap mengepul dari mesin mobil.

"Mama ... Mama, ada asap. Cepat keluar, cepat," teriak Ranum pada ibunya yang kian panik.

Hitungan detik kemudian ....

Mobil meledak ciptakan suara gaduh. Asap dan api membumbung tinggi

"Mamaaa," pekik Ranum, pantulan kobaran api menyala-nyala di matanya yang basah. Mulut gadis itu ternganga melihat ibundanya terpanggang hidup-hidup, tak terselamatkan. Lalu gelap.

...

Hari keempat puluh. Namun, nyeri di ceruk hati mereka yang kehilangan seolah masih saja basah berdarah. Menjelma bening air mata yang menetes tiada henti, tumpah tak berpenghalang.

"Mama ... Mama ... Mama!" jerit Ranum dalam tidurnya. Mata gadis itu terpejam, sementara kedua tangannya menggapai-gapai seolah ingin meraih sesuatu.

Wandi, sang ayah yang tertidur di atas sofa ruang tengah rumah mereka, terbangun saat mendengar suara jeritan dari arah kamar sang anak. Bergegas lelaki itu berlari menujunya.

"Ranum, Sayang. Ranum." Wandi menggoyang-goyang tubuh gadis itu agar terbangun.

Seketika Ranum Cumiik seraya membuka mata. Wajahnya pucat dengan retina yang memerah, barangkali lelah terus menumpahkan airnya. Wandi segera meraih tubuh putrinya dengan sesak perasaan iba.

"Yah, Mama ... tadi ... Ranum." Meracau tak jelas gadis itu dengan bibir dan tangan bergetar.

Wandi mendengkus. "Sayang, Mama udah sama Tuhan."

Kembali tersedu Ranum dalam pelukan sang ayah, satu-satunya orang tua yang ia miliki kini. Wandi membelai lembut rambut panjang anaknya yang berantakan. Pedih hati, getir menghadapi gadis semata wayangnya yang masih kerap histeris karena trauma setelah wafatnya sang istri dengan cara yang amat tragis.

“Sayang, Ayah yakin kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa seperti halnya kelahiran, kematian juga takdir Tuhan yang nggak mungkin kita hindari.” Wandi memberi jeda. “Kita semua sedih, tapi Ayah juga nggak mau kita terus begini.”

“Harusnya Ranum bisa tolong mama waktu itu, Yah,” isak gadis itu.

Wandi membawa tubuh gadisnya kian lekat dalam dekapan. “Tuhan punya rencana, Sayang. Jika sampai pada hari ini Ayah masih kuat berdiri, itu hanya karena kamu, demi kamu. Seandainya kamu pun tak ada … Ayah mungkin sudah gila.”

Ranum menatap wajah lelaki dalam pelukannya. Ada gurat kesedihan yang tersembunyi pada garis-garis halus yang tergambar di kedua kelopak matanya. Bukan hanya sekali gadis itu tanpa sengaja melihat Wandi terisak sambil mendekap potret mendiang sang istri di dalam kamar mereka. Akan tetapi, air mata itu tak pernah sekali pun jatuh di hadapannya. Seketika Ranum disesaki rasa bersalah. Betapa ia terus menambah beban kesedihan, kian menumpuk di dada sang ayah yang bidang.

“Ayah … jangan tinggalin Ranum,” lirih gadis itu.

“Nggak, Sayang. Ayah akan selalu ada buat kamu.”

“Janji.”

Wandi mengecup pucuk dahi putrinya. “Ayah, janji.”

...

Pagi datang tanpa sempat lagi anak dan ayah itu terlelap. Mereka terus terjaga hingga waktu mengharuskan keduanya beranjak dari perenungan panjang. Menggantikan peranan sang istri yang telah tiada, pagi itu dengan telaten Wandi mempersiapkan sesuatu untuk mereka makan. Walau hanya berupa nasi goreng ala kadarnya.

"Sayang, kalau kamu mau Ayah bisa ambil libur hari ini," ucap Wandi sambil menikmati sarapannya di meja makan.

Sementara nasi goreng di piring Ranum masih utuh. Gadis itu hanya mengaduk-aduknya dengan sendok dan garpu. Tak berselera, walau perih perutnya menuntut untuk diisi segera.

"Ayah kerja aja, Ranum nggak apa-apa."

"Kamu yakin, Sayang?"

"Hmm,” gumam Ranum. Pada akhirnya, satu suapan nasi goreng buatan sang ayah memenuhi rongga mulut gadis itu.

"Ya udah. Nanti Ayah telepon Yessi buat menemani kamu ya."

Ranum menganggukkan kepalanya.

Lekat Wandi menatap gadis belia di hadapannya. Seperti pun luka-luka yang hampir mengering sempurna di beberapa bagian tubuhnya, lelaki itu berharap kesedihan dan duka di hati Ranum bisa lekas sembuh. Walau tak mungkin bisa hilang sepenuhnya.

...

Setelah selesai dengan sarapannya Wandi pamit umtuk pergi bekerja. Ranum mengantarkan sang ayah hingga ke pagar rumah, lalu menutup pintu besi itu kembali setelah mobil yang dikendarai lelaki itu berlalu.

Bukan pilihan yang menyenangkan bagi Wandi, setiap kali harus meninggalkan Ranum seorang diri di rumah dengan kabut duka masih membayangi kehidupan mereka. Namun, hidup harus terus berjalan. Ada banyak tanggung jawab yang masih harus lelaki berperawakan jangkung itu kerjakan. Terlebih lagi, ia tak ingin tampak lemah di hadapan sang anak. Atas tragedi yang telah mematahkan hati dan merenggut nyawa wanita yang amat dicintai.

...

Ranum menjatuhkan dirinya ke atas sofa empuk di ruang televisi. Kedua matanya menyapu setiap sudut rumah yang sepi. Berbagai perabot rapi tertata di tempatnya masing-masing, tak ada yang berubah. Termasuk sebuah bingkai besar yang tertempel pada dinding di hadapannya. Berisikan potret keluarganya saat masih lengkap, mereka tampak bahagia. Untuk beberapa saat gadis itu terdiam, kembali larut dalam renungan. Bahwa semenyakitkan apa pun yang terjadi adalah takdir Tuhan. Sang ibunda telah tenang di sisi-Nya, tak sepatutnya lagi ditangisi walau tak pernah mudah untuk dihadapi. Ranum menghirup napas dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru, kemudian berandai-andai seolah segala kesedihan akan ikut terbawa karbon dioksida yang ia embuskan ke udara. Lepas … ikhlas, sesuatu yang terus ia coba sejak hari pertama kejadian nahas itu menimpa.

Ranum mencoba mengalihkan diri dengan menonton  televisi. Berkali-kalil gadis itu menekan remote, mengganti tayangan pada layar datar di hadapannya. Tak ada yang menarik.

Sesaat kemudian gadis itu terusik suara gagang pintu yang bergerak, seolah ada yang sedang berusaha membukanya. Tanpa berpikir macam-macam ia bangkit dari duduknya untuk memastikan apa yang ia dengar.

"Ayah … Ayah pulang lagi?" seru Ranum seraya melangkah menuju pintu.

Nihil, tak ada jawaban atau siapa pun ia dapati di sana. Gadis itu teringat bahwa sang ayah memanggil sepupunya untuk datang. Mungkin itu Yessi, pikirnya.

"Yessi ... Yess," panggil Ranum lagi.

Hening, tetap tak ada jawaban. Akhirnya Ranum memutuskan kembali ke tempatnya semula. Namun, tiba-tiba setelah ia berjalan beberapa langkah seperti ada yang berlari dengan cepat di belakangnya. Ranum terkesiap.

"Yess, itu lu 'kan? Jangan bikin gue kaget," ucap Ranum dengan setengah berteriak.

Karena tak juga ada jawaban, Ranum memeriksa ke seluruh ruangan di rumahnya. Melangkah pelan ia dengan dada berdebar. Gadis itu mulai takut jika ada orang asing yang telah memasuki rumahnya, sedangkan ia hanya seorang diri di sana.

Ruang tamu, kamar kedua orang tua, hingga kamarnya sendiri pun telah ia periksa. Bergantian pintu dibuka, tak ada siapa pun juga.

Ranum menghela napas, mencoba menenangkan diri. Mungkin yang tadi itu hanya perasaannya saja. Gadis itu lantas memutuskan untuk kembali ke ruang televisi, sambil menunggu Yessi datang.

Akan tetapi, langkahnya kembali harus terhenti. Samar-samar dari dapur terdengar suara gaduh. Jelas terdengar suara ketukan pisau beradu dengan talenan kayu, sama seperti saat mendiang ibundanya memotong sayur dulu.

"Mama," suara Ranum bergetar. Perlahan gadis itu melangkah mendekati pintu dapur yang sedikit terbuka.

Semakin dekat, semakin keras pula suara itu terdengar. Degup jantung gadis itu semakin tak keruan. Ranum menelan ludah sambil merapatkan punggungnya ke tembok. Kemudian setelah mengumpulkan segenap keberanian, Ranum bermaksud memasuki dapur. Namun, kali ini ia dikejutkan oleh tangan yang tiba-tiba mendarat di pundaknya. Mata Ranum nanap, mulutnya terkunci. Napas gadis itu memburu tak teratur, dengan buliran keringat dingin deras mengucur di dahi.

"Num, lu kenapa?"

Ranum mendengkus kesal, mendapati sepupunya Yessi yang ternyata tengah memegangi pundaknya. “Yessi, ngagetin tau nggak.”

“Apa sih? Orang dari tadi gue manggil-manggil di pintu, nggak ada yang nyaut. Ya udah aja gue masuk.”

"Pssst!" Ranum meletakkan telunjuknya di bibir, "Ada orang di dalam."

"Siapa?" tanya Yessi, memelankan suaranya.

Ranum mengangkat kedua bahunya.

Tanpa pikir panjang Yessi segera memasuki dapur. Namun, lalu dahi gadis itu berkerut. "Mana? Nggak ada siapa-siapa juga."

"Tapi … tadi kayak ada orang di sini," kata Ranum yang segera menyusul.

"Perasaan lu aja kali, Num." Yessi melangkah keluar dari dapur dengan santainya.

Sementara Ranum masih bertahan di sana, memeriksa seluruh sudut ruangan. Masih dengan keyakinannya bahwa dia merasa tadi ada seseorang di dalam sana.

"Hey," sahut Yessi, membuat Ranum kembali terkejut.

"Astaga, Yessi," keluh Ranum.

“Lagian, ngapain bengong di dapur? Awas, kesurupan siluman talenan lu nanti,” celoteh Yessi.

“Ngaco!”

Sambil gaduh berseloroh, kedua gadis itu beranjak dari dapur.

Bersambung.

Bab selanjutnya
Diubah oleh rinnopiant 22-04-2019 13:13
defriansahAvatar border
fiqihismAvatar border
au07liaAvatar border
au07lia dan 23 lainnya memberi reputasi
24
10.9K
105
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan