AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Perempuan Dan Politik: Upaya Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan
Perempuan Dan Politik: Upaya Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan

Memasuki millenium ketiga, peranan perempuan semakin meningkat. Peran perempuan tidak lagi dapat dihalangi untuk berkiprah sejalan dengan langkah mitranya, yaitu kaum laki-laki.

John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam bukunya Megatrends 2000, meramalkan bahwa dasawarsa tahun 1999-an dan memasuki millenium ketiga, peranan perempuan semakin meningkat. Walaupun ramalan tersebut didasarkan atas fakta dan pengalaman historis perempuan Amerika Serikat, tidak berarti di Indonesia tidak akan terkena dampaknya. Karena kehidupan masyarakat di era globalisasi ini saling mempengaruhi.

Dan kenyataan sekarang di Indonesia, peranan perempuan di dunia politik semakin nyata. UU. Nomor 7 tahun 2017 pasal 173 ayat 2 huruf e, bahwa setiap partai politik harus memenuhi persyaratan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Kemudian dari sisi perlindungan terhadap perempuan, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak dan perempuan.

Dengan adanya Undang-undang tersebut, secara teoritis hak-hak politik, HAM, da keamanan perempuan sudah dijamin oleh hukum. Namun pada kenyataannya, kasus kekerasaan terhadap perempuan tampaknya tidak berkurang, bahkan cenderung semakin meningkat.

Berdasarkan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017, yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/RP (ranah personal) 71% (9.609), dan termasuk kekerasaan seksual. Pada ranah komunitas/publik 26% (3.528) dan di ranah negara 1,8% (217). (Komnasperempuan)

Terlihat paradoks dan ironis memang. Di saat hak-hak perempuan semakin diakui, justru kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Tapi fakta ini harus dipahami secara positif. Artinya, bukan perangkat hukumnya yang gagal, melainkan perubahan sosial yang terjadi begitu besar, sehingga hukum tidak mampu membendung sepenuhnya. Namun andaikan tidak ada aturan hukum, maka kemungkinan angka kekerasaan terhadap perempuan itu semakin besar.

Karena itu, upaya yang bisa dilakukan pemerintah sekarang (atau siapapun yang nantinya terpilih sebagai Presiden RI ke-8, harus mampu mencari langkah-langkah kongkrit bagaimana UU Perlindungan Perempuan ini bisa berjalan efektif dan berhasil optimal dalam mengurangi angka kekerasaan terhadap perempuan.

Keterwakilan minimal 30% perempuan di Parlemen, Kabinet, dan kalau perlu pada berbagai jabatan strategis perlu diupayakan secara serius. Sebab dengan banyaknya perempuan menempati posisi kunci, maka jargon ‘wanita berada di bawah kaki pria’ diharapkan dapat terhapuskan.

Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, menuliskan bahwa di Jawa Timur, kerajaan Majapahit pernah diperintah oleh Ratu selama 22 tahun, yaitu ketika Raja Jayanegara meninggal pada tahun 1328. Karena tidak punya anak, maka raja mengangkat adik perempuannya untuk menggantikan kedudukannya. Dialah yang dikenal dengan Ratu Tribuana Tunggadewi Jaya Wisnu Wardani. Setelah memerintah selama 22 tahun, yaitu pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Di masa inilah kerajaan Majapahit tersohor sampai manca negara.

Artinya, jika pemerintah sekarang (atau yang terpilih nantinya) benar-benar memperhatikan keterwakilan 30% perempuan pada posisi jabatan strategis, kemungkinan besar angka kekerasaan terhadap perempuan dapat berkurang. Wanita tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pria. Ia bisa mandiri secara sosial, meski tetap harus tunduk kepada norma alam dalam kudratnya sebagai perempuan.

Perempuan Dan Politik: Upaya Mencegah Kekerasan Terhadap PerempuanLifeskills

Untuk itu, perempuan harus juga menempa diri dengan pendidikan dan berbagai keterampilan sebagai life skill, modal hidup, agar dapat bersaing dalam hal kualitas dan skill dengan para pria. Jika tidak, maka bagaimana mungkin ia bisa menempati posisi tertentu dalam politik dan pekerjaan, sehingga ia akan kembali ke fitrahnya semula, ‘ibu rumah tangga jajahan pria’. (*)
***
Ref: John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam bukunya Megatrends 2000 (Binarupa Aksara, Jakarta, 1990).

Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
Diubah oleh Aboeyy 02-04-2019 20:09
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
228
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan