Selamat pagi, siang, sore, petang, dan malam kawan - kawan kaskuser semua yang baik hati. Bertemu kembali di thread sederhana ane.




Stop kekerasan pada wanita. Sebuah kalimat yang sering dikampanyekan tapi pada kenyataanya masih banyak dilakukan. Apakah ini bukti ketidakpedulian kita terhadap wanita? Ataukah kita sendiri belum seberapa paham mengenai definisi kekerasan itu sendiri? Sebagian besar orang akan menganggap kekerasan erat kaitannya dengan tidakan fisik, padahal kekerasan bukan melulu tentang fisik. Ada kekerasan verbal, psikologis, dan masih banyak lainnya.


Sebelum lebih jauh berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan, faktor lain yang cukup mendapat sorotan terkait dengan perempuan adalah adanya beda perlakuan antara laki - laki dengan perempuan. Hal ini menyebabkan adanya diskriminasi antara keduanya. Secara tidak disadari, diskriminasi ini sudah sering kita alami bahkan sejak masih duduk dibangku sekolah. Contoh kecilnya, ketika seorang siswa perempuan ketahuan hamil, maka siswa tersebut akan dikeluarkan dari sekolah, sedang laki - laki yang menghamilinya masih diperbolehkan untuk bersekolah. Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi?


Lebih lanjut, siswi tersebut akan mengalami tekanan psikologis dan menjadi orang yang dipersalahkan. Salah satu bentuk kekerasan yang berawal dari diskriminasi terhadap perempuan. Tentu masih banyak lagi contoh - contoh tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat kita terhadap perempuan. Banyak pula contoh kekerasan, baik fisik maupun verbal yang dilakukan terhadap perempuan. Semua itu terjadi salah satunya disebabkan oleh stigma yang menganggap perempuan sebagai makhluk lemah jika dibanding dengan laki - laki.

Meski, diera kekinian, peran wanita tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Banyak perempuan sukses dalam hal bisnis, bahkan lebih sukses dibanding laki - laki itu sendiri. Isu kesetaraan ini pun paling tidak juga sudah masuk ke ranah politik. Tahun 2019 ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mensyaratkan kepada setiap partai politik agar memberikan kuota 30 % - nya untuk calon legislatif (caleg) perempuan. Meski seberapa banyak perempuan yang nantinya benar - benar berhasil duduk di kursi parlemen tetap ditentukan oleh pemilih, tapi paling tidak kemungkinan keterpilihan perempuan akan lebih besar jika calegnya saja sudah mendapat porsi persentase lebih besar.


Tak hanya dikursi parlemen, berdasar UU No. 10 Tahun 2008, setiap partai politik juga berkewajiban menyertakan keterwakilan minimal 30% perempuan dalam kepengurusan partai tingkat pusat. Kewajiban tersebut termasuk salah satu prasyarat sebuah parpol boleh ikut berkompetisi dalam pemilu. Bukan tanpa sebab, dalam banyak hal pemerintah menetapkan keterwakilan 30% perempuan ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Dunia PBB, keterlibatan perempuan dengan persentase minimal 30% akan membawa pengaruh perubahan dan memberi dampak terhadap kualitas keputusan dalam sebuah lembaga publik.

Selain itu, kehadiran perempuan dalam sebuah lembaga publik, juga diharapkan mampu menjadi wakil bagi perempuan itu sendiri. Seperti contohnya dalam Rancangan Undang - Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang saat ini sedang digodok oleh anggota DPR, diharapkan perempuan sebagai pihak yang punya kepentingan, mampu memberi masukan agar Undang - Undang ini benar - benar melindungi perempuan yang saat ini lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual.





Disclaimer : Asli tulisan TS
Sumur Gambar : Dok. Pribadi
Referensi : Ini