Kaskus

News

sukhoivsf22Avatar border
TS
sukhoivsf22
KPK Dorong Partai Politik Korup Didiskualifikasi dari Pemilu
Sabtu, 16 Maret 2019 | 00:31 WIB

KPK Dorong Partai Politik Korup Didiskualifikasi dari Pemilu
Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Agus Rahardjo

VIVA – Korupsi di sektor politik
salah satunya diduga
disebabkan biaya politik yang
tinggi di Indonesia. Selain itu,
korupsi di sektor politik juga
terjadi karena ekosistem di
lingkungan internal partai yang
sudah tidak sehat.

Hal itu setidaknya tercermin dari
panjangnya daftar elit politik
yang dijerat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bahkan hingga saat ini, KPK
sudah menjerat lima tokoh saat
menjabat sebagai orang nomor
satu di partai politik, yakni Ketua
Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum, Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi
Hasan Ishaaq, Ketua Umum
Partai
Persatuan Pembangunan
(PPP) Suryadharma Ali, dan
Ketua Umum Partai Golkar
Setya Novanto.

Dan teranyar, Tim Satgas KPK
menangkap Ketua Umum PPP
Romahurmuziy alias Romy dalam operasi tangkap tangan
di Jawa Timur, pada Jumat, 15
Maret 2019.

Ketua KPK, Agus Rahardjo
menuturkan, untuk membuat
efek jera atau mencegah
korupsi yang melibatkan partai
politik, dapat dilakukan dengan
mendorong dibentuk dan
diberlakukannya aturan yang
keras.

Menurut dia, hal ini bisa diawali
dengan meningkatkan dana
bantuan dari pemerintah hingga
pada kondisi ideal bagi parpol
menjalankan roda organisasinya.

Dengan dana besar yang
diberikan negara, partai politik
dapat diaudit secara mendalam
sehingga keuangan partai
menjadi transparan.

Selain itu, lanjut Agus, partai
politik yang terlibat korupsi bisa
diberikan sanksi, salah satunya
bisa didiskualifikasi dari
kepesertaan Pemilu.

"Sehingga kami tahu betul
uangnya itu untuk apa saja. Di
situ juga memungkinkan kalau
dia menyalahi hal-hal yang diatur
dalam peraturan tadi, partai itu
bisa diskualifikasi tidak ikut
pemilu. Ini hal-hal yang perlu
didorong ke depan," kata Agus.

KPK memperkirakan, dana ideal
yang dikucurkan negara untuk
bantuan parpol sekitar Rp20
triliun. Namun, Agus
mengingatkan bantuan yang
diberikan negara ini harus
dibarengi dengan transparansi.BPK dapat mengaudit secara
mendalam keuangan partai.

"BPK juga dapat masuk ini
dipakai untuk apa saja, kemudian
diberikan ke anggota, pada
waktu anggota itu kampanye
jadi pejabat publik berapa. Bisa
masuk sedalam itu. Sehingga
nanti kalau misalnya melanggar
aturan yang kita dorong terjadi
kemudian sanksinya bisa
diskualifikasi tidak ikut pemilu," imbuhnya.

Dalam kesempatan ini, peneliti
Indonesia Corruption Watch
(ICW),Almas Sjafrina mengakui
persoalan korupsi sektor politik
tidak hanya mengenai DPR,tetapi juga kondisi partai politik
yang tidak sehat. Untuk itu,Almas mengatakan, ICW
mendorong revisi UU Partai
Politik.

Menurutnya, revisi UU Parpol
merupakan salah satu pintu
masuk untuk mencegah korupsi
di sektor politik.

"Kalau kita lihat misalnya
Prolegnas kemarin, itu kan salah
satunya akan revisi UU parpol
tapi sampai sekarang belum
dibahas. Padahal menurut kami,kalau kita serius, pemerintah
dan DPR serius untuk
membenahi persoalan korupsi di
Indonesia salah satu yang harus
dibenahi adalah parpol," kata Almas.

Melalui revisi UU Parpol ini,ungkap Almas, dapat diatur
mengenai besaran dana
bantuan parpol, hingga sanksi
yang tegas terhadap partai
korup. ICW, terang Almas
sepakat dengan KPK agar
sebagian dana yang dibutuhkan
partai politik dibiayai negara.

Berdasar perhitungan ICW, dana
bantuan yang diberikan negara
kepada parpol sebesar 30
persen dari yang dibutuhkan
partai. 30 persen berasal dari
anggota partai dan 40 persen
lainnya berasal dari publik atau pihak ketiga.

Namun, Almas menegaskan,
kenaikan besaran bantuan dana
parpol tidak akan efektif
mencegah korupsi jika tidak
dibarengi dengan sanksi yang
tegas bagi partai politik yang
terlibat korupsi.

"Kenapa kami dorong revisi UU
parpol, nanti bisa diatur sanksi
nya. Salah satunya, ketika partai
politik terbukti melakukan
korupsi,atau terlibat dalam
kasus korupsi, atau
menggunakan uang bantuan darinegara untuk korupsi dilarang
ikut pemilu pada pemilu
terdekat," ujarnya.

Almas menegaskan aturan ini
sangat memungkinkan untuk
diterapkan. Ini lantaran dalam UU
Pilkada sudah diatur larangan
terhadap partai politik
mencalonkan pasangan calon
pada Pilkada di daerah tertentu
jika terbukti menerima mahar
politik pada Pilkada sebelumnya.

"Apakah mungkin? Sangat
mungkin. Di UU Pilkada sekarang
ketika partai politik terbukti
menerima mahar politik di
Pilkada selanjutnya dilarang
mencalonkan Paslon," imbuhnya.

https://www.viva.co.id/berita/nasion...si-dari-pemilu
1
1.7K
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan