- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Sejak Kapan Orang Batak Tidak Boleh Menikah Semarga?


TS
IbraAlAzhar
Sejak Kapan Orang Batak Tidak Boleh Menikah Semarga?
Orang Batak percaya bahwa mereka berasal dari Si Raja Batak di Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Si Raja Batak memiliki dua anak, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Versi lainnya menyebut sesungguhnya Si Raja Batak punya tiga anak, satu lagi yang paling bungsu bernama Toga Laut. Namun Toga Laut disebut mengembara ke arah utara menuju
[ltr]#Aceh[/ltr]
dan tidak pernah kembali di masa mudanya.
Mengutip dari buku karangan "Tarombo Marga ni Suku Batak" karya W. Hutagalung (1991), dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memiliki sembilan orang anak, 5 laki-laki dan 4 perempuan. Lima laki-laki yakni Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Empat perempuan yakni Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Boru Biding Laut, dan Boru Nantinjo. Sementara Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling.
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkimpoian sedarah antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya Si Boru Pareme. Dalam cerita yang berkembang, Tuan Sariburaja dan Si Boru Pareme sebenarnya lahir marporhas (lahir kembar dengan jenis kelamin yang berbeda).

Si Boru Pareme hamil dan itu membuat murka saudara-saudaranya yang lain. Hal itu yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.
Si Boru Pareme pun juga dibuang ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung. Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya inilah lahir seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Si Raja Lontung kemudian mengawini ibunya sendiri, Si Boru Pareme. Mengutip dari buku “Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka di Jakarta tahun 1987, Si Raja Lontung memiliki 7 putra dan 2 putri. Ketujuh putra yang disebut tadi yaitu Sinaga Raja, Tuan Situmorang, Pandiangan, Toga Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Dua putri yakni Si Boru Anakpandan yang menikah dengan marga Sihombing dan Si Boru Panggabean yang menikah dengan Simamora.
Karna semua anak dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki Lontung Si Sia Marina dan Pasia Boruna Sihombing Simamora.
Masih mengutip buku W. Hutagalung, kemudian terjadi pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat atau perpecahan antara keturunan Si Raja Lontung dan Si Raja Borbor. Friksi tersebut terus berlanjut kepada keturunan nya masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian mengadakan aliansi atau beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja melawan keturunan Si Raja Lontung.
Perselisihan ini kemudian terus berlanjut dimana keturunan Si Raja Borbor tidak mau memanggil "abang" kepada keturunan Raja Lontung. Aliansi keturunan Raja Borbor menggunakan panggilan "amangboru" bukan "abang". Dengan terjadinya perkimpoian incest atau kimpoi sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "boru".
Lalu munculah putra dari Raja Isumbaon yaitu Tuan Sorimangaraja yang berinisiatif mendamaikan permasalahan perkimpoian sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan Tuan Sorimangaraja adalah:
[ol]
[li]Bahwa suatu masalah bisa dipecahkan melalui musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu, dan Tuan Sorimangaraja.[/li]
[li]Bahwa perkimpoian sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenankan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.[/li]
[li]Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya.[/li]
[/ol]
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga.
Pada perkembangannya sampai saat ini, keturunan Tuan Sorimangaraja-lah yang paling ketat menjalankan aturan bahwa perkimpoian sesama saudara adalah tabu.
Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga istri yakni:
[ol]
[li]Si Boru Anting Malela alias Si Boru Anting Sabungan atau Nai Ambaton.[/li]
[li]Si Boru Biding laut atau Nai Rasaon.[/li]
[li]Si Boru Sanggul Haomasan alias Nai Suanon.[/li]
[/ol]
Istri pertama Nai Ambaton melahirkan putra pertama bernama Tuan Sorba Dijulu alias Ompu Raja Nabolon. Ompu Raja Nabolon kemudian diberi gelar Nai Ambaton, menurut nama ibunya. Sampai saat ini semua keturunannya dinyatakan sebagai keturunan Nai Ambaton atau Parna (Parsadaan nai Ambaton).
Ompu Raja Nabolon mempunyai empat orang anak yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munte Tua. Versi lain menyebutkan bahwa anak dari Ompu Raja Nabolon ada 5 dengan tambahan Nahampun Tua.
Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut(generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang dibuat Tuan Sorimangaraja yang melarang perkimpoian antar sesama saudara.
sumber : ini
[ltr]#Aceh[/ltr]
dan tidak pernah kembali di masa mudanya.
Mengutip dari buku karangan "Tarombo Marga ni Suku Batak" karya W. Hutagalung (1991), dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memiliki sembilan orang anak, 5 laki-laki dan 4 perempuan. Lima laki-laki yakni Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Empat perempuan yakni Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Boru Biding Laut, dan Boru Nantinjo. Sementara Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling.
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkimpoian sedarah antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya Si Boru Pareme. Dalam cerita yang berkembang, Tuan Sariburaja dan Si Boru Pareme sebenarnya lahir marporhas (lahir kembar dengan jenis kelamin yang berbeda).

Si Boru Pareme hamil dan itu membuat murka saudara-saudaranya yang lain. Hal itu yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.
Si Boru Pareme pun juga dibuang ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung. Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya inilah lahir seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Si Raja Lontung kemudian mengawini ibunya sendiri, Si Boru Pareme. Mengutip dari buku “Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka di Jakarta tahun 1987, Si Raja Lontung memiliki 7 putra dan 2 putri. Ketujuh putra yang disebut tadi yaitu Sinaga Raja, Tuan Situmorang, Pandiangan, Toga Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Dua putri yakni Si Boru Anakpandan yang menikah dengan marga Sihombing dan Si Boru Panggabean yang menikah dengan Simamora.
Karna semua anak dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki Lontung Si Sia Marina dan Pasia Boruna Sihombing Simamora.
Masih mengutip buku W. Hutagalung, kemudian terjadi pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat atau perpecahan antara keturunan Si Raja Lontung dan Si Raja Borbor. Friksi tersebut terus berlanjut kepada keturunan nya masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian mengadakan aliansi atau beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja melawan keturunan Si Raja Lontung.
Perselisihan ini kemudian terus berlanjut dimana keturunan Si Raja Borbor tidak mau memanggil "abang" kepada keturunan Raja Lontung. Aliansi keturunan Raja Borbor menggunakan panggilan "amangboru" bukan "abang". Dengan terjadinya perkimpoian incest atau kimpoi sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "boru".
Lalu munculah putra dari Raja Isumbaon yaitu Tuan Sorimangaraja yang berinisiatif mendamaikan permasalahan perkimpoian sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan Tuan Sorimangaraja adalah:
[ol]
[li]Bahwa suatu masalah bisa dipecahkan melalui musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu, dan Tuan Sorimangaraja.[/li]
[li]Bahwa perkimpoian sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenankan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.[/li]
[li]Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya.[/li]
[/ol]
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga.
Pada perkembangannya sampai saat ini, keturunan Tuan Sorimangaraja-lah yang paling ketat menjalankan aturan bahwa perkimpoian sesama saudara adalah tabu.
Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga istri yakni:
[ol]
[li]Si Boru Anting Malela alias Si Boru Anting Sabungan atau Nai Ambaton.[/li]
[li]Si Boru Biding laut atau Nai Rasaon.[/li]
[li]Si Boru Sanggul Haomasan alias Nai Suanon.[/li]
[/ol]
Istri pertama Nai Ambaton melahirkan putra pertama bernama Tuan Sorba Dijulu alias Ompu Raja Nabolon. Ompu Raja Nabolon kemudian diberi gelar Nai Ambaton, menurut nama ibunya. Sampai saat ini semua keturunannya dinyatakan sebagai keturunan Nai Ambaton atau Parna (Parsadaan nai Ambaton).
Ompu Raja Nabolon mempunyai empat orang anak yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munte Tua. Versi lain menyebutkan bahwa anak dari Ompu Raja Nabolon ada 5 dengan tambahan Nahampun Tua.
Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut(generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang dibuat Tuan Sorimangaraja yang melarang perkimpoian antar sesama saudara.
sumber : ini
1
1.8K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan