- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Komisaris pertamina saling lempar


TS
sukhoivsf22
Komisaris pertamina saling lempar

INDOPOS.CO.ID - SISTEM pengelolaan keuangan PT Pertamina menjadi pertanyaan sejumlah pihak. Dana sebesar Rp 1,4 triliun yang dikucurkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang minyak dan gas (migas) itu ke anak perusahaannya, PT Patra Jasa dinilai terlalu dipaksakan. Sebab, ketika uang itu dicairkan 2017 silam, Pertamina juga sedang membutuhkan biaya untuk mengekspansi bisnisnya.
Namun, perusahaan pelat merah itu masih malu-malu untuk membuka semua proses pencairan uang tersebut. Komisaris Pertamina Tanri Abeng saat dikonfirmasi menjelaskan, aliran dana Rp 1,4 triliun merupakan dana penambahan modal untuk anak perusahaannya. Terkait penggunaannya untuk mengakuisisi dua apartemen milik PT Wijaya Karya, bukan menjadi tanggung jawab dari PT Pertamina.
”Intinya ini, itu kan penambahan modal ke Patra (PT Patra Jasa, Red). Sesudah sampai di Patra modal itu mau diapakan? Itu adalah kewenangan Patra dan direksi. Bukan lagi di komisaris (Pertamina, Red),” katanya saat dihubungi INDOPOS sekira pukul 15.53 WIB, Rabu (20/3).
Terkait penyertaan modal di dalam anak perusahaan, lanjut Tanri Abeng, itu telah disetujui, sehingga anggaran tersebut dapat dikucurkan. Uang tersebut terbagi menjadi dua nilai. Pertama adalah investasi dari Pertamina serta anggaran penyertaan modal.
”Anggaran itu kan per unit ya. Sedangkan penyertaan di dalam anak perusahaan, itu disepakati secara item. Itu mestinya sudah masuk di laporan (keuangan Pertamina, Red). Waktu penganggaran itu kan tidak persis Rp 1,4 triliun atau sekian. Ada juga anggaran penyertaan itu juga kan, saya tidak tahu persisnya berapa, tapi itu ada anggaran yang disetujui penyertaan gitu lho,” terangnya.
Untuk menjelaskan hal tersebut, Tanri Abeng meminta agar mengonfirmasi ke Komisaris PT Pertamina Sahala Lumban Gaol. Dia mengaku telah membicarakan hal itu kepada Sahala.
”Waduh itu kan komisi auditnya Salaha saja deh. Kita sudah delegasi ke Sahala. Apa pun kata Sahala itu yang sudah tepat. Di komisaris, kita sudah satu (suara, Red). Sahala komisi auditnya. Gini aja, ini penjelasannya yang tahu persis Sahala saja. Saya juga sudah bicara sama dia tadi (kemarin,Red). Jadi melalui Sahala saja semua informasinya. Saya terlalu banyak kerjaan ya,” tutupnya.
Sebelumnya, Komisaris Pertamina Sahala Lumban Gaol meminta INDOPOS mengonfirmasikan persoalan itu langsung ke pejabat di Patra Jasa dan Patra Land. Sebab, keputusan tersebut bukan keputusan pribadi.
”Tanyakan saja ke Dirut Patra Jasa dan Patra Land. Juga tanyakan ke Dirut Pertamina. Itu keputusan komisaris secara keseluruhan, bukan keputusan Sahala Lumban Gaol secara pribadi,” ungkapnya ketika dikonfirmasi sekitar pukul 15.10 WIB, Sabtu (16/3) lalu.
Sahala mengaku pengucuran anggaran dari PT Pertamina kepada PT Patra Jasa tersebut sudah melalui Standar Operasional Prosedur (SOP). ”Itu ada (pengucuran anggaran Rp 1,4 triliun, Red). Itu atas permintaan Dirut Pertamina (saat itu dijabat Elia Massa Manik, Red) ke Dewan Komisaris. Semuanya sudah ada di situ. SOP government-nya sudah dipenuhi,” tuturnya.
Tak Sejalan Bisnis Utama
Mantan Sekretaris Menteri (Sesmen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu buka-bukaan kepada INDOPOS terkait kekeliruan bisnis yang dijalankan Pertamina. Dia menyebutkan, kondisi keuangan perusahaan milik negara tersebut sedang dalam posisi tertekan. Sehingga, BUMN itu seharusnya lebih mengutamakan nadi utama bisnisnya, yakni di bidang minyak dan gas (migas).
”Pertamina punya anak perusahaan. Secara hukum memang tidak salah. Tapi di balik itu, ketahuan ada masalah. Maksudnya, seakan-akan membeli, sedangkan Pertamina kekurangan uang,” katanya kepada INDOPOS, Rabu (20/3).
Apalagi anggaran itu, lanjut Said Didu, dicairkan tidak di saat yang kurang tepat. Sebab, bisnis properti saat itu sedang mengalami pasang surut. ”Di tengah lesunya pembangunan bisnis properti, kok Pertamina menyuntikkan dana ke bisnis (properti, Red) itu. Sementara bisnis utama Pertamina tidak dijalankan, yaitu pembangunan kilang. Padahal keuntungan terus menurun. Kenapa PT Pertamina menginvestasi yang bukan core business-nya (bisnis intinya di bidang migas, Red)? Itu yang perlu dipertanyakan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Said Didu juga meminta agar aliran uang yang digunakan untuk membeli dua apartemen yang berada di Bekasi dan DI Jogjakarta tersebut ditelusuri mekanisme atau prosedur pembeliannya. Sebagai perusahaan negara, Pertamina harus transparansi dalam segala tindakan bisnisnya. Ini terutama kepada media. Itu merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hal tersebut untuk memastikan bahwa proses akuisisi hingga pembangunan dua apartemen memang layak. ”Yang perlu ditelusuri, apakah memang pembelian itu sudah melalui proses yang sebenarnya. Dari studi kelayakan, lelang tender, dan sebagainya. Itu prosedurnya. Apakah pembeliannya sudah melalui mekanisme atau tidak?” tandasnya.
Dengan adanya audit investigasi, kata Said Didu, dapat diketahui apakah Pertamina telah melalui Good Corporate Governance (GCG) secara prosedur yang benar. ”Core business properti boleh PT Patra Jasa. Yang menariknya, menggunakan uang Pertamina,” tutupnya.
Bungkamnya sejumlah petinggi PT Pertamina terkait aliran uang itu menimbulkan rasa curiga Direktur Eksekutif Center of Energy Resource Indonesia (CERI) Yusri Usman. Menurut dia, mestinya komisaris dan direksi Pertamina membuka atau menjawab dengan gamblang terkait proses aliran uang yang digunakan Patra Jasa untuk mengakuisi apartemen milik Wijaya Karya melalui Patra Land.
Terlebih lagi, kata Yusri, hampir semua bisnis prioritas Pertamina tertunda yang harusnya diperhatikan untuk kepentingan bisnis ke depannya. Sehingga, fokus dari penggunaan anggaran untuk bisnis PT Pertamina lebih mengutamakan yang sudah masuk dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP).
”Kenapa mereka bungkam? Harusnya dijawab saja. Anggaran Rp 1,4 triliun itu masuk nggak di RKAP 2016? Harusnya itu ada masuk, kan realisasinya 2017. Kalau anggaran itu nggak masuk (RKAP, Red), dasarnya apa? Kan ini yang dipertanyakan,” ungkapnya kepada INDOPOS, kemarin (20/3).
Dia menduga beratnya beban keuangan Pertamina saat ini ketika jajaran direksi menggelontorkan dana tersebut untuk berbisnis properti melalui anak usahanya. Padahal semua telah tahu, bisnis properti bukanlah bidang dari Pertamina.
Benang-kusut kinerja keuangan Pertamina sudah terjadi pada tahun lalu. Bahkan, laporan keuangan 2018 perusahaan tersebut belum dirilis ke publik. Padahal rencananya akan dirilis pada 8 Maret lalu, tapi hingga kini tak kunjung dipaparkan ke publik.
Dari informasi yang diterima Yusri, ada sekitar 35 persen dari total dana subsidi USD 1,3 miliar baru selesai dilakukan verifikasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sisa dana subsidi yang baru lolos verifikasi BPK itu tak dapat secara langsung dicatat dalam buku keuntungan Pertamina, karena belum dianggarkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). ”Tentu ada problem sistem akuntasi negara di Pertamina, ketika melampaui batas waktu tahun anggaran. Karena kalau belum dianggarkan dalam APBN tentu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum bisa atau tidak ada dasarnya membayar kepada Pertamina saat ini,” tuturnya.
Beban Pertamina, lanjut Yusri, semakin berat setelah terbitnya Permen ESDM Nomor 23/2018 yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 15/2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas Yang Berakhir Kontraknya. Dampaknya, Pertamina harus mencari pinjaman untuk membayar tanda tangan bonus (signature bonus) Blok Rokan kepada pemerintah senilai USD 783 juta atau setara Rp 11,3 triliun, ditambah jaminan komitmen kerja pasti senilai USD 50 juta.
Meski Permen ESDM Nomor 23/2018 itu telah dibatalkan oleh Makamah Agung (MA) pada 29 November 2018 atas gugatan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu ( FSPPB) dengan gugatan Nomor 69P/HUM/2018.
Ditambah munculnya Perpres No 43/2018 yang merupakan perubahan dari Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga jual BBM yang menugaskan BUMN tersebut menyalurkan premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). ”Di saat yang sama, Pertamina tidak mempunyai kewenangan untuk menyesuaikan harga keekonomian BBM tanpa persetujuan pemerintah. Akibatnya, kondisi keuangan Pertamina menjadi tertekan,” pungkasnya. (*)
https://www.indopos.co.id/read/2019/...-saling-lempar
0
1.7K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan