Kaskus

News

mendoan76Avatar border
TS
mendoan76
'Stand Up Comedy', Rocky Gerung: Survei Kompas dan PolMark Bikin Istana Panik
http://share.babe.news/s/hdjpfvQ

'Stand Up Comedy', Rocky Gerung: Survei Kompas dan PolMark Bikin Istana Panik'Stand Up Comedy', Rocky Gerung: Survei Kompas dan PolMark Bikin Istana Panik'Stand Up Comedy', Rocky Gerung: Survei Kompas dan PolMark Bikin Istana Panik

Teropongsenayan
2019/03/22 02:35

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mantan dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung turut mengomentari soal kejujuran lembaga survei di Pilpres 2019.
Menurut Rocky, kejujuran sejumlah lembaga survei membuat panik Istana. Rocky menyinggung soal kejujuran yang menurutnya juga membuat panik pihak-pihak tertentu.

"Kita lihat bahwa ada kepanikan membaca hasil riset Kompas dan hasil riset PolMark Eep Saefulloh, yang sebetulnya biasa-biasa aja. Tapi karena udah biasa berbohong dengan menaikkan elektabilitas, kalau ada orang yang bicara jujur dia panik sendiri. Karena biasanya yang dipamerkan oleh surveyor Istana, elektabilitas petahana 68 persen, sementara oposisi 28 persen. Bener nggak tuh? Bener, kalau margin of error-nya 100," beber Rocky di acara Aliansi Pengusaha Nasional di Djakarta Theater, Kamis (21/3/2019) malam.

Rocky mengaku sedang stand up comedy. Dia kemudian berbicara soal jaket kedunguan hingga kartu Pradungu.
Rocky awalnya berbicara soal para pengusaha yang berani bersikap hingga survei PolMark dan Litbang Kompas.

"Orang yang ingin mengambil risiko dia otentik karena dia berpikir melakukan kalkulasi. Dengan kata lain hanya orang yang berakal yang mampu menghitung risiko. Orang yang nggak berakal, takut mengambil risiko, artinya dia tidak otentik," kata Rocky Gerung.

"Orang yang tidak otentik akan berupaya untuk mencitrakan dirinya 7 kali sehari dengan ganti-ganti pencitraan. Karena nggak terbaca dari bahasa tubuhnya bahwa dia mampu untuk mengucapkan argumentasi," sebut Rocky.

Rocky juga memberi pesan tentang energi kepada para peserta. Menurutnya, semua pihak harus menyimpan energi untuk dua hal.

"Jadi teman-teman semua, saya hanya ingin mengimbau agar supaya energi yang masih tersisa kepada kita, kita bagi dua. Energi untuk menyambut presiden baru, itu urusan saudara-saudara karena saya nggak berurusan dengan presiden baru, saya berurusan dengan presiden lama," sebut Rocky.

Dia lanjut menceritakan tentang bully yang diterimanya. Rocky menyinggung soal jaket 01 dan jaket 02.

"Seringkali, saya di-bully lagi kan, bahwa kayak kemarin di Osaka yang kemudian jadi viral. Saya pinjam ini jaketnya persis jaket begitu, ada tulisan 02. Saya pakek jaket begituan karena saya habis ceramah di Osaka saya kedinginan maka hanya ada jaket 02 maka saya pinjam jaket itu. Karena saya kedinginan. Kalau saya kedunguan saya pinjam jaket 01," sebut Rocky.

"Jadi geng petahana marahin saya, kenapa nggak pernah pakai jaket 01. Loh itu jaket kedunguan, bukan kedinginan. Itu, mempersoalkan hal yang sifatnya teknis aja," imbuh dia.

"Jadi saya ingin pastikan bahwa kita akan bertemu selalu di dalam acara semacam ini karena kegembiraan politik dan yang di sebelah sana cemas terus menerus karena segala macam jenis pencitraan sudah diucapkan tapi elektabilitas justru diperlihatkan hancur," sebut Rocky.

Pengamat politik yang beken dengan jargon "akal sehat" itu kembali menyinggung soal survei. Menurutnya, semua cara sudah dilakukan pihak tertentu tapi hasil survei malah makin rusak.

Dia lanjut bicara soal kartu. Menyinggung kartu Pra-Kerja, Rocky lantas bicara soal kartu Pradungu.

"Semua kartu udah dikeluarin. Kemarin saya katakan yang terakhir kartu Pra-Kerja. Saya bilang masih ada satu kartu yang belum dikeluarin, namanya kartu Pradungu dan jangan harap kartu itu akan dibagikan pada saudara-saudara karena beliau akan pakai sendiri kartu itu," sebut Rocky.

Rocky kemudian menegaskan apa yang disampaikannya ini merupakan stand up comedy. Dia juga bicara analogi kendaraan turun mesin.

"Oke teman-teman saya kira, saya kira, itu stand up comedy malam ini dan Anda tahu bahwa mobil kalau dia mogok, mestinya turun mesin. Ini mobil udah mogok, dicuci tiap hari. Dipikir kalau mobilnya dicuci tiap hari mengkilap mobilnya akan hidup lagi nggak bisa. Mobil mogok itu artinya turun mesin dan kita akan turunkan mesin itu 17 April," sebut Rocky.

Dalam kesempatan itu, Rocky juga menyinggung diplomasi era pemerintah saat ini. Rocky juga berbicara cara berpikir ala "planga plongo".

Awalnya dia membahas soal Indonesia yang menurutnya didirikan dengan argumentasi kuat oleh para pemikir bangsa. Namun hal, kata dia, sudah hilang.

"Sekarang kita kehilangan kemewahan itu sehingga kita tidak mungkin dihargai di forum internasional. Kemampuan diplomasi kita turun habis-habisan," kata Rocky.

Pembebasan Siti Aisyah yang sempat didakwa Jaksa Malaysia terlibat pembunuhan Kim Jong-nam juga dibahas oleh Rocky. Dia mengkritik pemerintah.
"Seminggu lalu ada skandal Presiden Jokowi klaim bahwa pembebasan Siti Aisyah akibat kemampuan diplomasi pemerintah Indonesia ke Malaysia. Dan belum satu hari PM Malaysia membantah kita dan itu memalukan sehingga harus dibuat klarifikasi," sebut Rocky.

"Siapa yang bikin klarifikasi? Pejabat eselon II dari Dephukam, kepala administrasi hukum yang mengatakan bukan itu maksud presiden. Jadi pejabat eselon II koreksi presiden, ajaib," kritik dia.

Menurutnya, hal itu memalukan. Rocky menganggap itu sebagai "kedunguan diplomatik". "Jadi kita dari hari ke hari dipamerkan kedunguan diplomatik sehingga nggak dihargai," sebut Rocky.

Dia lalu mengungkit pernyataan Prabowo soal Soemitro Djojohadikusumo. "Tadi benar Pak Prabowo ceritakan literasi yang diperoleh langsung dari ayahnya dan saya ingat diawal-awal kuliah saya tahun 80-an ada mata kuliah yang diedarkan RRI, dulu namanya Universitas Terbuka," ucap Rocky.

"Kuliah ekonomi perdana diucapkan Soemitro Djojohadikusumo dan beliau kalau lagi kasih kulaih di UI gerak tangan dan kepalanya itu nggak diam karena berusaha mengeluarkan isi pikiran, apa isi pikirannya," jelas Rocky.
Menurut Rocky, ada orang yang menggerakkan kepala namun tidak punya pikiran. Itu disebutnya sebagai cara berpikir planga plongo.

"Tapi ada yang cukup gerak kepala tapi nggak ada pikiran. Itu bedanya antara menggerakkan kepala karena sedang berpikir dan menggerakkan kepala karena nggak punya pikiran. Terakhir namanya planga plongo. Kita nggak ingin generasi ke depan diajari cara berpikir ala planga plongo," pungkas Rocky. (Alf)

++++

Karena Survei Kompas, Rusak Survei Sebelanga

swamedium.com
2019/03/21 20:57

Oleh : Hersubeno Arief

Jakarta, Swamedium.com — Kubu pendukung paslon 01 sedang uring-uringan berat. Gara-gara publikasi hasil survei Litbang Kompas, mereka bahkan sampai menyerukan berhenti langganan Harian Kompas.

“HATI-HATI dengan Kompas sekarang teman2, sejak perubahan pimred jadi Ninuk, teman dekat Bianti (kakaknya Prabowo)….. mereka BERUBAH menjadi Kampret…. hati2 berita2 di kompas… termasuk berita hari ini tentang penurunan hasil survey.”

Pesan itu beredar di WhatsApp Group (WAG) kubu paslon 01. Salah satu yang mengedarkan adalah seorang pengusaha besar. Dia diketahui hadir dalam pertemuan para pengusaha APINDO bersama Sofyan Wanandi Senin malam (18/3).

Pada pertemuan penggalangan dukungan untuk Jokowi itulah Sofyan menyampaikan kabar yang sangat menakutkan. Berdasarkan survei Kompas, elektabilitas inkumben dalam bahaya. Tapi menurut Sofyan, survei itu tak akan dipublikasikan.

Denny JA pemilik lembaga survei LSI, bahkan sampai harus membuat artikel menyerang Kompas. Dia mempertanyakan kredibilitas Kompas. Menurutnya Kompas sedang melakukan reposisi, dari semula pendukung 01 menjadi lebih ke tengah. Karena itulah muncul angka yang tujuannya membuat semua orang bahagia. Every body happy.

Reaksi pendukung paslon 01 itu sangat mengejutkan. Litbang Kompas menyebutkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. 13,4 persen responden menyatakan rahasia.
Harusnya dengan angka tersebut, dan waktu yang tersisa kurang dari 1 bulan, posisi inkumben sudah aman sentosa. Kursi lima tahun periode kedua sudah di tangan?

Tapi itu adalah angka-angka elektabilitas yang disajikan di depan panggung. Untuk konsumsi publik dan media. Di belakang panggung, ceritanya berbeda lagi.
Ada tarik menarik kepentingan dengan kubu istana. Pernyataan Sofyan Wanandi bahwa survei itu tidak akan dipublikasi, membawa kita mendapat gambaran apa sebenarnya yang sedang terjadi di belakang panggung.

Apa yang selama ini samar, remang-remang, tertutup layar panggung, sekarang terbuka. Itulah sebabnya mereka semua menjadi belingsatan.
Seperti sekelompok orang yang bersekongkol di kegelapan, tiba-tiba ada lampu menyala terang. Pertemuan rahasia mereka terbongkar. Mereka sangat terkejut. Terjaga dari mimpi indah yang membuai.
Reaksi pertama marah. Reaksi berikutnya bisa bermacam-macam. Ada yang langsung membela diri. Ada yang mencoba mengalihkan perhatian. Ada yang diam-diam melarikan diri.

Setelah keterkejutan mereda, di WAG para pendukung paslon 01 ada instruksi agar tidak terlalu reaktif menanggapi survei Litbang Kompas. Mereka melakukan konsolidasi, membuat isu tandingan. Mereka mencoba menggoreng isu Prabowo pemarah.

Tagar #PrabowoPemarah sepanjang hari Rabu (20/3) sempat menjadi trending, namun tidak bertahan lama.

Besar Karena Survei

Mengapa para pendukung paslon 01 sangat marah? Publikasi survei saat ini adalah andalan satu-satunya yang masih tersisa dan bisa dijual paslon 01. Jualan lain berupa pencitraan sudah tidak laku.

Jokowi sudah tidak bisa mengandalkan citranya yang sederhana. Dia tidak bisa lagi masuk gorong-gorong, atau naik sepeda motor bergaya bak remaja milenial.
Program infrastruktur yang sangat diharapkan jadi ajimat sakti dan dapat menyihir publik ternyata gagal total. Tol trans-Jawa kebanggaan Jokowi, berubah menjadi tol mahal yang dihindari para pengemudi truk pengangkut barang. Tol itu juga membuat ribuan UMKM mati dan menciptakan ratusan ribu pengangguran baru.

Sihir Jokowi tak lagi mampu menghipnotis publik. Wow efeknya sudah hilang. Kampanye Jokowi dimana-mana sepi. Terpaksa harus mengerahkan ASN, atau meminta bantuan aparat kepolisian agar terlihat ramai.

Formula lama, Jokowi sangat merakyat, coba kembali diterapkan. Ternyata sudah tidak laku. Jokowi menjadi korban perundungan (bully) ketika pulang ke Istana Bogor dengan menggunakan kereta api Commuter Line (KRL). Sihir itu juga kembali tidak bekerja ketika Jokowi bersama istri mencoba perjalanan perdana MRT di Jakarta.

Sangat wajar ketika muncul publikasi Litbang Kompas, mereka menjadi meradang.
Pencitraan dan publikasi survei adalah dua senjata utama dan ajimat sakti Jokowi. Keduanya sukses membawa Jokowi dari Solo menuju Jakarta dan kemudian menghuni Istana Merdeka.

Publik pasti belum lupa bagaimana setiap hari disuguhi media berita dan foto-foto Jokowi mengenakan sepatu kets blusukan, dan masuk gorong-gorong. Citra Jokowi pejabat yang sederhana, dekat dengan rakyat, berhasil ditancapkan media ke dalam memori kolektif publik. Saat itu sihir Jokowi dan media masih sakti.

Bersamaan dengan itu publik digelontor dengan publikasi survei. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi salah satu korbannya. Dia tak berdaya. Menyerah menghadapi gerilya politik dan tekanan publik opini yang dibangun lembaga survei dan media.

Saat itu framing lembaga survei dan media, perolehan suara PDIP akan anjlok bila tak memilih Jokowi sebagai capres. Sebaliknya suara PDIP akan melejit bila Jokowi yang dijadikan capres. Mereka tahu diam-diam Megawati sebenarnya ingin mencalonkan diri kembali. Karena itu perlu digerilya dan ditekan.
Jokowi akhirnya dicalonkan menjadi capres PDIP dan sukses menjadi presiden. Namun suara PDIP tidak melejit. Benar PDIP menjadi pemenang pemilu, namun angkanya tidak terlalu tinggi.

Resep lama berupa perpaduan media dan lembaga survei itu terus berlanjut sepanjang pemerintahan Jokowi. Kepuasan atas kinerja Jokowi digambarkan seolah-olah masih tinggi. Dia pasti akan terpilih kembali.
Lembaga survei juga mencoba membangun orkestrasi bahwa elektabilitas Jokowi tetap tinggi. Posisinya seakan kian tidak terbendung 1 bulan menjelang hari H pilpres. Elektabilitasnya mendekati 60 persen

Tiba-tiba survei Litbang Kompas membuyarkan semua mimpi indah itu. Elektabilitas Jokowi ternyata masih di bawah 50 persen, sangat bahaya bagi seorang inkumben. Ada lebih dari 50 persen rakyat yang tidak akan memilihnya.
Sebagai jaringan media pendukung inkumben, sikap Kompas tidak bisa diterima. Sebuah pengkhianatan. Karena itu harus dihukum.

Kompas menghancurkan strategi pembentukan opini bernilai jutaan dolar yang dengan susah payah dibangun. Meminjam bunyi pepatah : Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena survei Kompas, rusak survei Denny JA dan gerombolannya.
Apakah nasib Jokowi akan sama seperti nasib Ken Arok? Dia naik kekuasaan karena keris Empu Gandring, dan terbunuh dengan senjata yang sama.
Jokowi besar dan naik ke tampuk kekuasaan karena lembaga survei, dan dia akan jatuh karena lembaga survei pula? end.
Diubah oleh mendoan76 22-03-2019 12:15
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
2.8K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan