- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
#SaatnyaMoveOn Ujung Jemari


TS
stef.mjz
#SaatnyaMoveOn Ujung Jemari

Let me tell you a story..
About a boy who falls in love with......
About a boy who falls in love with......

Quote:
Aku cinta kamu. Aku menyayangi kamu melebihi apa yang kau sayang. Kita pernah beradu dalam lingkaran ranjang dan selimut. Kita pernah berbagi duka, suka tak perlu dibagi sebab miliki kamu sudah jadi segalanya.
Tahukah, kamu? Sorotan matamu yang terbaik. Saat lirikan malu-malu pernah kita bagi, malam ini keberanian untuk saling menatap sudah lihai bagi kita. Membuatku melayang-layang tanpa arah, bernapas sesak sekaligus lega tak menentu.
Tatapan itu tidak semestinya membabi buta. Bagaimana kalau nanti kehabisan daya? Aku terengah-engah melawan matamu, peluh menetes sebab wajahmu kian manis. Bertahan menghadang rona pipimu yang lembut, sering kukecup di malam-malam sebelumnya. Namun semua yang kurasa mendadak lebur malam ini. Kau katakan sesuatu yang tidak terduga, memancing amarah sekaligus duka tak berujung.
Jemarimu menuntunku untung tenang. Kemudian berucap, lamat-lamat kudengar suaramu yang serak. Kau minta sesuatu yang sulit kupenuhi, namun tak harus kutolak karena semestinya memang begitu.
Hanya waktunya lebih cepat. Durasi yang kau beri untuk bersama tak sepanjang yang kuharap. Perpisahan.
Begitu keinginan yang terlontar dari bibir tipismu. Satu-satunya raga yang setia melumat bibirku setiap hari.
Aku tidak tuli, Sayang. Aku masih sanggup dengar pintamu di malam yang surut bintang.
Hanya saja..
Hatiku masih tuli untuk beberapa saat. Seolah-olah pintamu adalah bencana, ia takut sebentar lagi raganya patah. Takut tak sanggup utuh sebab kamu tak lagi menempati. Aku mulai mengangguk perlahan, menarik nafas panjang meski hatiku tengah asik meronta.
Kamu masih berdiri mematung. Kedua matamu menyiratkan jijik. Kedua matamu menyiratkan bohong.
Aku tak tahu kemana sorotan mata kagum yang dulu sering kau lempar padaku. Seolah-olah ada yang mencurinya, aku telusuri tatapanmu lebih dalam, yang kutemukan hanya sebatas---kita bukan siapa-siapa.
Sejenak aku membisu. Kita berdua malah larut dalam keheningan. Tak apalah, pikirku. Aku masih bisa tatap wajahmu meski hanya sebentar. Akan kuhabiskan seluruh jiwa untuk nikmati kesempatan.
Aku sentuh ponimu yang tersibak. Tanganku mulai menyentuh matamu, kuusap lagi pelan-pelan menuju pipi dan bibirmu. Semua ku resapi melewati ujung jemariku. Menyentuh dan meresapinya.
Kedua punggungmu kucengkeram lembut, menyusuri ke bawah hingga pinggang, kau dan aku masih setia memandang dalam bisu.
Tubuhku jongkok perlahan, kedua tanganku jatuh mendekap ujung sepatumu. Kulepas kedua alas kakimu dan menatap sendu. Dengan begini sudah lengkap. Dari atas hingga ke bawah kaki, aku sudah menyentuhnya dengan ujung jemariku.
Aku berdiri. Air wajahmu berubah, dari yakin menjadi rasa bersalah. Entah mana yang benar---yang jelas pepisahan adalah pintamu yg sukar ditolak.
Aku masih sanggup bertanya, alasan apa yang membuatmu ingin lepas dariku. Ada macam-macam. Gerak gerikmu tak pernah berubah, bahkan ketika berbicara tentang pisah sekalipun, aku merasa terhibur.
Kamu sudah berujar penuh permohonan. Seakan-akan bersamaku adalah jerat yang memalukan. Aku tak bisa menolak, Sayang. Meski di dalam tubuhku tersembunyi, ia ucapkan tidak ratusan kali dalam benaknya.
Aku tak sanggup lagi memintamu bersama. Karena kenyataan yang ada tak pernah sama dengan harapan. Aku anggukkan saja penuh percaya, baiklah, baik. Iya. Iya, sayang.
Memintamu untuk bersamaku sudah pernah kau penuhi. Sekarang ganti permintaan kecilmu tuk berpisah harus kuturuti.
Sesaat malam terhebatku akan berakhir. Kamu akan berjalan memutar dan tak pernah lagi menoleh. Seakan-akan lepas dariku adalah kemenangan.
Sebelum hal itu kau lakukan di depanku, aku menarik kedua tanganmu dan menggenggamnya.
Kamu berfikir aku akan merengek dan memohonmu untuk bertahan. Namun sia-sia itu tak akan kuambil. Hanya sebentar ujung jemari ini merasakan kelembutan telapakmu.
Kutelusuri celah jemarimu dan terpana. Keindahan ini pernah kurengkuh, jemari ini pernah menyatu.
Saat terbaik untuk pergi sudah kau ambil.
Aku yang memutar pergi, menunjukkan punggung lemahku dari balik sorot matamu.
Kemudian, lamat-lamat kurasakan sesuatu yang mengepul turun bebas melewati pipiku.
Tangis ini tak seberapa, Sayang.
Dibanding rasa rela yang masih enggan keluar. Aku lari saja menjauhi pandanganmu. Karena sorotan itu selalu tepat membunuhku.
Beberapa waktu berlalu, hati masih berjalan menapaki kerelaan. Aku dengar dirimu tak lagi sendiri. Ada seseorang, yang bukan aku, tengah menuntunmu menikmati bahagia di hari yang suntuk.
Kutatap wajah hangatmu bersama kekasih baru.
Ada setitik rasa pedih sebab itu bukan aku, namun gelora tak berujung untuk merelakan masih menggebu dalam hati.
Entah alasan macam apa yang kau ucap.
Aku dengarkan tanpa alpa setiap kalimat.
Itu yang kau katakan, sayang. Saat ujung jemariku bergerilya, alasan yang kau pakai sungguh tak layak didengarkan.
Entah perempuan atau laki-laki, yang kau bicarakan hanya sebatas kelamin. Lelucon itu kuterima dengan baik, meski terpingkal-pingkal rasanya jika ingat ucapanmu.
Gurauan mu semakin jelas di depan mata.
Saat kedua tanganmu merengkuh jemari lain. Jemari yang sama, jemari yang dimiliki oleh orang yang berkelamin sama dengan kelaminmu dan kelaminku.
30 Oktober 2015
Ujung Jemari
Tahukah, kamu? Sorotan matamu yang terbaik. Saat lirikan malu-malu pernah kita bagi, malam ini keberanian untuk saling menatap sudah lihai bagi kita. Membuatku melayang-layang tanpa arah, bernapas sesak sekaligus lega tak menentu.
Tatapan itu tidak semestinya membabi buta. Bagaimana kalau nanti kehabisan daya? Aku terengah-engah melawan matamu, peluh menetes sebab wajahmu kian manis. Bertahan menghadang rona pipimu yang lembut, sering kukecup di malam-malam sebelumnya. Namun semua yang kurasa mendadak lebur malam ini. Kau katakan sesuatu yang tidak terduga, memancing amarah sekaligus duka tak berujung.
Jemarimu menuntunku untung tenang. Kemudian berucap, lamat-lamat kudengar suaramu yang serak. Kau minta sesuatu yang sulit kupenuhi, namun tak harus kutolak karena semestinya memang begitu.
Hanya waktunya lebih cepat. Durasi yang kau beri untuk bersama tak sepanjang yang kuharap. Perpisahan.
Begitu keinginan yang terlontar dari bibir tipismu. Satu-satunya raga yang setia melumat bibirku setiap hari.
Aku tidak tuli, Sayang. Aku masih sanggup dengar pintamu di malam yang surut bintang.
Hanya saja..
Hatiku masih tuli untuk beberapa saat. Seolah-olah pintamu adalah bencana, ia takut sebentar lagi raganya patah. Takut tak sanggup utuh sebab kamu tak lagi menempati. Aku mulai mengangguk perlahan, menarik nafas panjang meski hatiku tengah asik meronta.
Kamu masih berdiri mematung. Kedua matamu menyiratkan jijik. Kedua matamu menyiratkan bohong.
Aku tak tahu kemana sorotan mata kagum yang dulu sering kau lempar padaku. Seolah-olah ada yang mencurinya, aku telusuri tatapanmu lebih dalam, yang kutemukan hanya sebatas---kita bukan siapa-siapa.
Sejenak aku membisu. Kita berdua malah larut dalam keheningan. Tak apalah, pikirku. Aku masih bisa tatap wajahmu meski hanya sebentar. Akan kuhabiskan seluruh jiwa untuk nikmati kesempatan.
Aku sentuh ponimu yang tersibak. Tanganku mulai menyentuh matamu, kuusap lagi pelan-pelan menuju pipi dan bibirmu. Semua ku resapi melewati ujung jemariku. Menyentuh dan meresapinya.
Kedua punggungmu kucengkeram lembut, menyusuri ke bawah hingga pinggang, kau dan aku masih setia memandang dalam bisu.
Tubuhku jongkok perlahan, kedua tanganku jatuh mendekap ujung sepatumu. Kulepas kedua alas kakimu dan menatap sendu. Dengan begini sudah lengkap. Dari atas hingga ke bawah kaki, aku sudah menyentuhnya dengan ujung jemariku.
Aku berdiri. Air wajahmu berubah, dari yakin menjadi rasa bersalah. Entah mana yang benar---yang jelas pepisahan adalah pintamu yg sukar ditolak.
Aku masih sanggup bertanya, alasan apa yang membuatmu ingin lepas dariku. Ada macam-macam. Gerak gerikmu tak pernah berubah, bahkan ketika berbicara tentang pisah sekalipun, aku merasa terhibur.
Kamu sudah berujar penuh permohonan. Seakan-akan bersamaku adalah jerat yang memalukan. Aku tak bisa menolak, Sayang. Meski di dalam tubuhku tersembunyi, ia ucapkan tidak ratusan kali dalam benaknya.
Aku tak sanggup lagi memintamu bersama. Karena kenyataan yang ada tak pernah sama dengan harapan. Aku anggukkan saja penuh percaya, baiklah, baik. Iya. Iya, sayang.
Memintamu untuk bersamaku sudah pernah kau penuhi. Sekarang ganti permintaan kecilmu tuk berpisah harus kuturuti.
Sesaat malam terhebatku akan berakhir. Kamu akan berjalan memutar dan tak pernah lagi menoleh. Seakan-akan lepas dariku adalah kemenangan.
Sebelum hal itu kau lakukan di depanku, aku menarik kedua tanganmu dan menggenggamnya.
Kamu berfikir aku akan merengek dan memohonmu untuk bertahan. Namun sia-sia itu tak akan kuambil. Hanya sebentar ujung jemari ini merasakan kelembutan telapakmu.
Kutelusuri celah jemarimu dan terpana. Keindahan ini pernah kurengkuh, jemari ini pernah menyatu.
Saat terbaik untuk pergi sudah kau ambil.
Aku yang memutar pergi, menunjukkan punggung lemahku dari balik sorot matamu.
Kemudian, lamat-lamat kurasakan sesuatu yang mengepul turun bebas melewati pipiku.
Tangis ini tak seberapa, Sayang.
Dibanding rasa rela yang masih enggan keluar. Aku lari saja menjauhi pandanganmu. Karena sorotan itu selalu tepat membunuhku.
Beberapa waktu berlalu, hati masih berjalan menapaki kerelaan. Aku dengar dirimu tak lagi sendiri. Ada seseorang, yang bukan aku, tengah menuntunmu menikmati bahagia di hari yang suntuk.
Kutatap wajah hangatmu bersama kekasih baru.
Ada setitik rasa pedih sebab itu bukan aku, namun gelora tak berujung untuk merelakan masih menggebu dalam hati.
Entah alasan macam apa yang kau ucap.
Aku dengarkan tanpa alpa setiap kalimat.
Itu yang kau katakan, sayang. Saat ujung jemariku bergerilya, alasan yang kau pakai sungguh tak layak didengarkan.
Entah perempuan atau laki-laki, yang kau bicarakan hanya sebatas kelamin. Lelucon itu kuterima dengan baik, meski terpingkal-pingkal rasanya jika ingat ucapanmu.
Gurauan mu semakin jelas di depan mata.
Saat kedua tanganmu merengkuh jemari lain. Jemari yang sama, jemari yang dimiliki oleh orang yang berkelamin sama dengan kelaminmu dan kelaminku.
30 Oktober 2015
Ujung Jemari

Diubah oleh stef.mjz 22-03-2019 10:49
0
757
Kutip
4
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan