- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Satu dan Tak Terhingga #SaatnyaMoveOn


TS
nyunwie
Satu dan Tak Terhingga #SaatnyaMoveOn

Jakarta, 30 Januari 2016
Seperti membelah luka lama saat aku kembali injakan kaki di atas kerasnya aspal kota dengan jutaan mimpi tergantung di dalamnya. Jakarta, untukku jelas bukan sekedar Ibu kota. Jakarta tempat aku tumbuh dan belajar tentang apa arti dari sebuah hidup. Jakarta ajarkan aku bagaimana hidup adalah sebuah perjalanan menuju pemberhentian akhir kelak di saat kita mati. Takan pernah ada yang abadi karena hidup terus bergerak menuju akhinya-Nya. Jakarta telah berikan aku segalanya. Tangis, tawa, senyum, bahagia, cinta, luka dan air mata. Tan Malaka pernah berkata, “Terbentur, terbentur, terbentur dan terbentuk.” 2 dekade aku bernafas dalam udara Jakarta dan aku ingin sedikit protes pada Tan Malaka, kenapa hanya 3 kali menyebut kata terbentur hingga akhirnya terbentuk. Dan aku juga ingin bertanya padanya, bukankah semakin banyak terbentur akan semakin hancur?
“Nak, dengarlah! Bukankah ratusan atau jutaan keping yang hancur itu adalah sebuah bentuk? Kepingan itu? Ini bukan tentang bagaimana bentuknya tapi bagaimana kita bisa mengambil nilai dari prosesnya. Sekarang aku tanya pada mu wahai anak muda. Mana yang lebih nikmat Smokey Robinson Patty and Bun, atau Big Mac McDonalds?”
“ahihihih” aku terkekeh sedikit tertawa. Jelas itu bukan suara Tan Malaka. Mana mungkin dia bisa mengetahui nikmatnya Smokey Robinson buatan Patty and Bun. Bukan maksut merendahkan, tapi jelas aku dan Tan Malaka hidup di generasi yang berbeda. Kenyataanya itu hanya suara imajinasiku yang terbentuk mungkin karena terlalu banyak benturan di kepalaku yang membuat otakku sedikit bergeser dari posisi seharusnya. Atau mungkin memang aku yang benar sudah gila? “Entahlah” gumamku dalam hati.
Pukul 07.59 WIB saat aku menginjakan kakiku kembali setelah lebih dari 5 tahun, aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini. “Telat 4 menit.” gumamku saaat melihat arloji yang melingkar di pergelangan kiri tanganku.
Aku menunggu orang yang akan menjemputku di lobby kedatangan. Sambil menunggu aku mendengarkan mp3 melalui headphone yang sudah terhubung dengan perangkat Ipod Nano yang aku beli semasa aku masih sekolah beberapa tahun silam. Jujur aku baru sekali lagi menghidupkan ipod ini setelah kurang lebih hampir 5 tahun aku menanggalkannya.
...
Sekilas tentang dirimu
Yang lama ku nanti
Memikat hatiku
Jumpamu pertama kali
Janji yang pernah terucap
Tuk satukan hati kita
Namun...
“Enak yah lagunya...”
“iyah” jawab aku menganggukan kepala.
“mainin dong...” Pintanya sambil menyodorkan gitarku yang kebetulan berada di sampingnya.
“Dengan senang hati Taa...” Seruku antusias lalu memainkan sebuah lagu yang dipintanya.
...
“Woiii Gung !! AGUNG !!”
Gue berbalik badan saat mendengar suara seorang laki-laki memanggil namaku yang datang dari arah belakangku.“Woi Gie!!” Seruku sedikit girang lalu mengahmpiri pria yang aku kenal bernama Egie itu. Sahabatku. “Ngapain lo Gie?” Tanyaku bodoh, sambil bersalaman denganya dan juga memeluknya.
“Jemput lo lah sarap! Menurut lo ngapain gue kemari?” Jawab Egie masih memelukku dan sedikit menepuk-nepuk pundakku. “Gemukan lo? Seneng kali di Belanda ‘empok-empok’ mulu kali sama cewe-cewe sono, bawalah satu buat gue.” Lanjut Egi.
“haah ga doyan gue, doyan yang lokal, hahhaha. Oh iya kenapa lo yang jemput gue? Katanya Benny udah nyuruh orangnya jemput gue.”
“Mendadak ga bisa orang yang disuruh jemput lo, yaudah jadi gue dah yang jemput.”
“Hahahah, ngerepotin dong gue?”
“Enggalah, Cipondoh ke sini deket.” Sahut Egie lalu kami berdua berjalan menuju ke area parkir. Selang beberapa menit kemudian aku dan Egie sudah berada di dalam mobilnya menyusuri jalanan Ibu kota.
Sepanjang perjalanan pandanganku tidak luput memperhatikan bangunan-bangunan di sekitaran jalan. Sudah sangat banyak berubah semenjak terakhir kali aku melihatnya. Terselip duka mendalam yang membuat aku seperti sulit bernafas saat aku melewati beberapa tempat yang memiliki kenangan tersendiri di hati ini. Semua tempat kenangan itu rasanya tidak berubah sedikitpun. Masih seperti beberapa tahun lalu hanya saja rasanya berbeda saat aku kembali mengingatnya.
“Lo dari Belanda gini doang Gung?”
“haaa?” Sahutku sedikit terkejut karena entah sejak kapan aku diam tertegun memandangi sekitar. Seperti seorang yang sedang dalam kondisi terhipnotis.
“hahahaha, dia bengong” Sahut Egie kemudian aku melihatnya sedikit menghela nafas. “Masih Gung?” Tanya Egie.
“Haah? Iyah kan gue ga dari Gouda Gie, gue balik dulu ke rumah nyokap di Bali, gue sebenernya udah di Indo dari tanggal 20 Gie.”
“Hahaha, yang gue tanya kan tadi bukan itu Gung!”
“Hahaha” Sahutku kemudian sedikit menghela nafas. “You Know like ...”
“I know that you feel. Ga usah lo ceritain kalo emang ga mau lo ceritain Gung, I know it’s hurt. Oh iya betewe Ibu sehat kan? Tanya Egie yang terlihat sekali mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tahu Egie pasti mengerti apa yang aku rasakan dan aku tahu Egie tidak ingin membuatku semakin larut dalam luka lamaku. Karena kembali ke Jakarta saja itu sudah sesuatu yang menyakitkan untukku.
Pukul 14.30 WIB aku dan Egie baru tiba di tempat aku akan menginap selama beberapa hari di Kawasan Rasuna Epicentrum. Ada 6 orang yang menyambut kedatanganku, mereka semua sahabat-sahabatku. Kami 8 orang bersahabat. Selain Egie ada Aini, Herry, Witha, Sheila, Bella, dan satunya yang mengundangku untuk datang kembali ke Jakarta. Beny, dia alasanku kembali ke Jakarta untuk menghadiri pernikahanya yang akan berlangsung besok. Dan karena itu pula selepas dari bandara tadi aku dan Egie mampir terlebih dahulu ke salah satu mall untuk membeli pakaian yang akan aku kenakan esok hari di hari pernikahanya Beny dan untuk beberapa hari aku di Jakarta.
Aku melepas semua rinduku pada sahabat-sahabatku. Mereka antusias mendengar kehidupanku selama 5 tahun ini aku tinggal di salah wilayah kecil di Selatan Belanda yang terkenal dengan salah satu jenis kejunya, Gouda. Begitu juga aku dengan antusias mendengarkan sahabat-sahabatku menceritakan kejadian-kejadian yang teradi dengan lingkaran persahabatan ini semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan Jakarta.
Senja pun tiba, aku melihat langit telah berganti warna menunjukan gradasi warnanya yang begitu mempesona. Deretan nisan terlihat rapih berjajar dari tempatku melihat tidak mengurangi pesona senja di Ibu Kota dengan cahaya temaram diujung cakrawala yang kontras dengan kilau gemerlap cahaya lampu di sejauh mataku memandang. Kontras itu justru menjadi pengingat diri kalau kehidupan itu selalu menawarkan dua sisi berbeda. Manis pahitnya, bukan tergantung lidah, tapi lezat atau tidaknya tergantung bagaimana kita membuatnya. Seperti halnya Burger Smokey Robinson. Ahh lupakan, sepertinya masih meletakan hatiku di Restoran Patty and Bun yang ku kunjungi saat Tahun Baru ini di London.
satu persatu sahabatku pamit karena mereka ada urusanya masing-masing di malam minggu ini tentu dengan meninggalkan janji akan datang kembali serta urusan mereka selesai nanti. Hingga akhirnya hanya menyisakan aku dan Beny
...
Seorang perempuan remaja berjalan diantara deretan pembaringan belulang terpendam. Rambutnya tergerai, tersibak tatkala angin menghembus di sela ia melangkah. Dia tak gentar berjalan di antara pendam raga tanpa nyawa. Bukan menantang yang kasat, hanya seseorang di sisinya buat dia kuat. Seorang pria remaja. Berjalan seirama mengikuti langkahnya. Saling berpegang tangan, saling berbagi keberanian. Dari cara keduanya terlihat, cinta yang besar ada di sela-sela jari mereka yang berhimpit. Seperti takan pernah kedua telapak mereka, karena terajut satu sama lain dengan benang yang awam ku sebut, CINTA.
“Gung !! Agunggg !!!”
“haah..” Sahutku terkejut mendengar suara Beny yang sedikit keras memanggilku.
“Tutup Gung gordenya, Margrib!” Ucap Beny lalu aku menutup gorden yang dimaksud. “Gung...” Panggil Beny lagi suaranya sedikit lirih.
“Haah?” Sahutku.
“Gue minta maaf...”
“Ssssstttttt ahhhh ... I’m coming here for your wedding. Gue kemari buat ngerayain hari bahagia lo, hari bahagia kita semua, sekalipun ada tangis gue mau itu tangis bahagia.” Ujarku menyelak.
“Tapi...”
“Sssssttttt ahhh ... Gue ikhlas.” Ujarku kembali menyelak ucapan Beny.
“Haahhh” Beny menghembuskan nafas lalu terlihat menggaruk dahinya. “Gue mau balik dulu, nanti malem gue balik lagi. Mau nitip apa gitu ga?” Tanya Beny.
“Chuba yang keju, Momogi coklat, Saltchesee, kalo Bang Iwan masih dagang gue mau somaynya ga pake pare bilang ajah buat gue, kalo lupa, getok palanya pake tutup pancinya hahaha”
...
Minggu, 31 Januari 2016
Sepasang remaja duduk berbagi tawa, diantara puluhan lainya mereka paling bahagia. Senyumnya merekah, tak sedetikpun menyiratkan luka. Mereka menebar cinta diantara puluhan lelah. Saling berpegang tak ingin jarak meregang. Diantara ratusan mata takan pernah hilang satu karena mereka berjanji setia. Diantara puluhan cinta, mereka juaranya.
“Agung !!”
Aku menoleh sedikit kearah sumber suara. Seorang wanita berusia sekitar 40-an tahun membawa bungkusan plastik berwarna putih terlihat menghampiriku. “Kamu Agung kan?” Tanyanya memastikan. Aku menganggukan kepala dan tersenyum ramah padanya. “Iyah Tan” Jawabku ramah.
“Ya ampun apa kabar ... kamu tinggi banget sekarang, gemukan, kapan dateng?” Tanyanya tanganya tidak lepas dari pundakku. Dia terus melontarkan pertanyaan kepadaku, selayaknya seorang bibi yang sudah lama tidak bertemu keponakanya. Aku antusias menjawab semua pertanyaannya. Walau dia bukan saudaraku. Pernah pada masanya aku menganggpanya seperti itu. Bahkan sampai saat ini aku masih menganggapnya seperti itu. Dia Bibi dari perempuan yang akan dinikahi sahabatku.
“Kamu tadi ngapain Gung bengong di sini? Hemmm ya ya ya, belum bisa lupa yah, hahaha.” Ledeknya.
“Hahaha, Tante bisa ajah, engga bengong kok, cuma tadi lagi nginget-nginget kayanya ada yang ketinggalan gitu, lupa ke bawa.” Sahutku berdalih.
“Iyah yang ketinggalan masa lalu kamu sama SHINTA!! yuk ketemu Shinta yuk, itu orangnya lagi dandan.”
Mendengar nama itu aku merasa seketika oksigen menghilang dari sekitarku berada. Tenggorokanku tiba-tiba kering. Keningku timbul keringat sebesar butiran jagung, dan jantungku memompa darahku lebih cepat. Seketika aku seperti seseorang yang baru saja berlari 1 kali putaran lapangan sepakbola.
...
Matahari terus bergerak, sudah dua jam matahari melewati posisi tertingginya hari ini. Aku berdiri melamun di depan lift di area parkir gedung yang berada di sebelah GOR tempatku bertemu Bibinya Shinta, mantanku.
“Ting” Suara dari lift yang setelahnya pintu lift terbuka membuyarkan lamunanku. Aku masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai 10 tempat akad nikah sahabatku akan berlangsung. Aku tahu gedung ini sudah lumayan berumur. Begitu pula liftnya, getaranya sedikit terasa saat lift sudah mulai bergerak naik. Aku meperhatikan huruf yang ada disebalah kiri pintu lift telah berganti dari B1 berganti angka 1. “Ting” Suara lift kembali terdengar yang disusul dengan pintu lift yang terbuka.
...
9 tahun yang lalu awal aku mengenal seorang remaja perempuan yang cantik, energik, pintar juga cerdas. Semua kriteria cantikku ada padanya. Jelas aku jatuh hati padanya. Dan jatuhku pada pandangan pertama. Semakin hari aku semakin mengenalnya. Pribadinya juga baik, dia selalu menjaga mannernya. Hingga pada tanggal 5 Desember 2007, aku menyatakan perasaanku padanya, beruntungnya aku semua itu tak bertepuk sebelah tangan. Setelah itu hari-hariku semakin indah, semakin berwarna. Hampir setiap hari aku merasa berada di taman penuh bunga. Panas, terik, hujan badai pernah kami lalui bersama, semuanya indah dan makin membuatku mengenal hatinya. Dari sekian banyak pasangan remaja kami juaranya. Hubungan kami terus berjalan hingga kami tak lagi berstatus pelajar. Di titik itu entah sudah berapa banyak benturan yang kami hadapi, sudah berapa banyak peluh kami kucuran. Tapi aku dan dia selalu menguatkan diri dan meyakini hati cinta ini abadi. Hingga di pertengahan tahun 2011 sebuah badai menghantam hubungan kami dan memporak-porandakanya hingga hancur berkeping-keping. Itu sudah berlalu lima tahun lalu. Lima tahun lalu juga terakhir pertemuanku dengannya. Kini dia kembali tergambar nyata dalam retinaku. Berbalut setelan kebaya berwarna putih dengan riasan dan hiasan yang anggun. Sungguh seperti ini citaku dulu berandai hari ini milikku.
Aku duduk di barisan paling belakang di masjid yang berada di lantai teratas gedung ini. Aku mengikuti dengan baik sesi acara akad nikah ini. Sebelum pembacaan akad nikah, terlebih dahulu pembacaan ayat-ayat suci Al-qur’an yang disusul pembacaan kitab Maulid Burdah. Aku memutuskan keluar dari masjid ini saat pembacaan Maulid Burdah. Aku tak mampu lagi menahan kesedihanku.
Aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Letaknya masih di lantai yang sama, hanya saja berbeda sisi dari pusat keramaian yang berada di masjid itu. Aku sengaja memisahkan diri, aku tak kuasa lagi menahan lagi gejolak yang timbul di dalam hati. Menatap nanar mataku kearah selatan, melihat sekumpulan awan hitam yang bergerak cepat mendekat. Sepertinya langit merasakan apa yang aku rasakan. Aku pun menutup mata.
Bahkan saat aku menutup mata, hanya ada dia yang tergambar di tengah-tengah kegelapan.
“Hai.”
Hebatnya imajinasiku hingga bisa juga menimbulkan suaranya secara jelas dan nyata, bahkan saat aku membuka mata aku melihat dia duduk di sampingku...
“...” Aku tertegun menyadari kalau ini bukan sekedar imajinasi. Dia benar-benar ada di sampingku. Duduk di kursi yang sama denganku, dengan kedua tangannya menekan kencang pada dudukanya.
“Kamu banyak berubah yah, Tatoan juga sekarang. Berat yah pastinya.” Ucapnya lalu menghela nafas.
“Kamu juga.” Sahutku tersenyum.
“Gung, maaf yah jadi seperti ini.” Ujarnya tertunduk lesu.
“Ga perlu minta maaf Taa, yang kamu dan aku lakuin ini udah yang terbaik.” Sahutku mengalihkan pandangku padanya.
“Kamu kenapa sih harus pindah ke Belanda?”
“Taa, lihat ke sana deh.” Jawabku sambil menunjuk ke arah kumpulan awan hitam. “Kalo bisa aku tinggal di sana, aku bakal tinggal di sana. Karena cuma di sana tempat di kota ini yang belum pernah kita kunjungin berdua.”
“Gung jangan nyebelin deh”
“Hahaha, Bercanda Taa.”
“Gung, andai yah ...”
“Jangan berandai hal yang mustahil Taa” Selakku, sambil menatap kedua bola matanya.
Dua bola mata kami bertemu. Tanpa kata, aku dan dia saling bertukar derita. Dalam rasa kami bercerita. Tentang cinta yang pernah ada.
“SAH SAH !!” Aku mendengar sayup suara banyak orang. Aku tersenyum begitu juga Shinta. “Aku kesana yah Gung.” Ucap Shinta kemudian dia berjalan meninggalkanku. Mataku tak berpaling darinya yang berjalan menuju ke arah Masjid itu. Saat aku tak lagi melihatnya, giliran aku yang berjalan masuk untuk memberikan selamat pada 2 orang yang kini resmi menjadi sepasang suami istri.
Aku berdiri diambang pintu, bersandar, melihat antrian orang yang ingin mengucapkan selamat pada pengantin baru. Aku tersenyum ke arah Shinta, mengurungkan niatku masuk ke dalam masjid ini. Aku berjalan kembali meninggalkan masjid ini, lantai ini, juga gedung ini.
Senja telah berganti malam. Seperti dugaanku, langit menurunkan hujanya. Aku berdiri di depan pintu sebuah ruangan serba guna. Menyapa beberapa teman yang hadir di acara resepsi pernikahan sahabatku. Puluhan pertanyaan rindu aku jawab tanpa ragu, pertanyaan tentang cintaku di masa lalu aku abaikan selalu. Aku masuk ke ruang serba guna itu. Seorang sahabat mengiringi langkahku.
Di singgasana pelaminan aku melihat sahabatku duduk bak raja negeri dongeng. Bersanding mesra dengan seorang wanita yang rupanya tak ada beda dengan seorang yang aku cinta. Disebelah sahabatku, aku melihat seorang pria paruh baya duduk tegak bak bangsawan Negeri feodal.
Aku terus melangkah, hingga aku berada tepat di depan kedua Raja dan Ratu semalam ini. Mempelai pria menghampiriku, memelukku, tak henti-hentinya dia berucap maaf dan terimakasih padaku. Air matanya berlinang. Lantas aku mengusap bahunya guna mereda harunya.
“Udah lo, ga perlu minta maaf sama makasih, semua udah takdir-Nya.” Ucapku pada sahabatku.
Lalu aku berpaling menghampiri mempelai wanita. “Shan jagain Beny yah, awasin tuh biar ga main poker mulu, hahaha.” Bisikku pada mempelai wanita.
“Tenang, kan mulai besok ATM-nya gue pegang. Hahahaha.” Sahutnya sambil menempelkan pipinya pada pipiku. “Thanks yah Gung” Lanjutnya berbisik. Aku hanya tersenyum dan pandangan kami berdua tertuju pada titik yang sama, pada Shinta yang sedang berdiri di ujung akhir di bawah pelaminan.
Tiba aku dihadapan seorang pria paruh baya, berbadan tegap bak prajurit juga bergaya perlente bak bangsawan. Aku melihatnya seperti seorang Ksatria Eropa abad pertengahan. Namun beliau bukanlah Ksatria, Beliau hanya seorang tua dengan masa lalu kelam, yang darahnya juga mengalir dalam diriku. Dia Ayahku. “Yah selamat yah.” Ucapku mencoba tegar.
“Kamu sudah dewasa yah, Gung. Maafkan Ayah.” Sahut Ayahku memelukku.
“Sudah Yah, kami sudah memaafkan Ayah, Ibu menitip pesan untuk Ayah, maaf katanya tidak bisa datang. Yaa Ayah tahu lah high season di Bali gimana”
“Iya, Ayah mengerti. Tapi beliau sehatkan?”
“Never been better” Jawabku tersenyum.
Di akhir langkahku berpasan kembali dengan orang yang aku cinta dulu. Semoga aku akan selalu bisa menambahkan kata “dulu” di akhir kalimat dia orang yang aku cinta.
“So, Brother in law. What’s next?” Tanya Shinta tersungging senyum di bibirnya.
“I don’t know, Tapi menambal kamu di sini, mungkin prioritasku, 5 tahun sudah aku mencoba, nyatanya belum bisa. 5 tahun lagi aku akan mencoba, aku tidak tahu nanti hasilnya. Doakan saja.” Jawabku tersenyum.
“Adilkah meminta doa pada orang yang juga mendoakan hal yang sama?”
Aku meraih kedua pundak Shinta. “Taa, 5 tahun lalu kamu bisa mengajarkan aku bagaimana keluarga lebih penting. Now, how old are you?”
“So? Kita sama-sama mendoakan agar kita move on segera.” Ucapku dan Shinta bersamaan yang disusul tawa dari kami.
Hidup memang selalu penuh dengan kejutan. 20 tahun aku hidup bahagia dalam balutan keluarga yang utuh nan sejahtera. Siapa sangka? Ternyata sosok Ayah yang aku kagumi ternyata bermain api bahkan sudah berlangsung lebih lama dari usiaku dan kini membakarku. Siapa sangka? Orang yang bertahun-tahun aku kenal sebagai sahabatku ternyata memiliki DNA yang sama sepertiku. 5 tahun lalu aku mengetahui itu semua. Kecewa sudahlah jangan ditanya. Semua sumpah serapah telah aku ucapkan pada Ayahku, Ibunda sahabatku, bahkan pada Semesta. Mungin aku takan kecewa jika dia yang se-DNA denganku adalah sahabatku. Mungkin aku juga takan kecewa jika sahabatku bukanlah kekasih saudara kembar Mantan pacarku. Mungkin aku juga takan kecewa jika Mantan pacarku bukanlah seorang kembar, tapi nyatanya? Dari milyaran manusia di bumi. Semesta telah mentakdirkan takdirku dengan orang-orang disekitarku. Jika dipikir dengan matematis mungkin akan muncul perbandingan 1: TAK TERHINGGA. Tapi itulah Semesta. Semakin aku mencoba mengerti semakin aku dibuat tidak mengerti.
Hidup adalah susunan dari permasalahan. Kita tidak bisa menghindari masalah, karena jalan keluar dari sebuah masalah itu sendiri adalah sebuah masalah. Bahkan ada orang yang berkata kalau hidup saja adalah sebuah masalah. Seberapa banyak kamu terbentur, seberapa hancur, itu adalah bentuk-Nya. Ikhlas kan saja, ambil nilai dari setiap beturan hidup yang kita rasakan. Jangan pernah takut hancur, karena suatu saat segalanya akan melebur.
Tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan, jangan takut akan bekasnya, karena kalau sudah membekas bukankah luka itu tanda luka sudah kering mengeras?
Move on itu bukan untuk melupakan sesuatu kekecewaan atas tanggalnya harapan. Move on itu mengambil nilai pelajaran dari sebuah kekecewaan.
...
Sebuah cerita masa lalu tidak akan pernah sama walau dimainkan lagi oleh orang yang sama.
Salam
Anak Agung Gede. R
#SaatnyaMoveOn
Sebuah cerita masa lalu tidak akan pernah sama walau dimainkan lagi oleh orang yang sama.
Salam
Anak Agung Gede. R
#SaatnyaMoveOn
Diubah oleh nyunwie 21-03-2019 12:04






mmuji1575 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.1K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan