- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Jika Kalian Belum Seperti Dia Tidak Usah Sombong Dulu, Pasti Kalah Jauh


TS
Surobledhek746
Jika Kalian Belum Seperti Dia Tidak Usah Sombong Dulu, Pasti Kalah Jauh
Quote:
Bagi kamu yang merasa gagah perkasa, keren tidak terkira, jangan sombong dulu. baca cerita ini. Pasti dirimu akan tersipu malu

Spoiler for BEGINILAH CERITANYA, RUGI JIKA TIDAK MEMBACA HINGGA AHKIRNYA:
Beberapa tahun yang lalu, kami bersama beberapa orang ikut dalam perjalan untuk suatu urusan. Tepatnya ada pelatihan. Tempat tinggal kami adalah salah satu kota kabupatn di Kalimantan Selatan. Datang ke Jakarta. Kota besar. Kagum dan bangga. Gedung bertingkat tinggi-tinggi. Lampu gemerlapan. Indah nian.
Katrok ya? Begitulah adanya. Nah, ketika malam pertama pada capek semua. Masing-masing segera masuk kamar hotel. Menikmati dinginnya AC. Pokoknya setelan paling dingin 16[sup]0[/sup]C. Selimut tebal. Tidur pulas. Tak terasa pagi hari. Kemudian kegiatan rombongan berbelanja di Tanah Abang.
Segala macam yang dilihat diborong. Begitulah orang kampung datang ke kota besar. Semua yang dilihat selalu ingin dibeli. Seharian keliling Tanah Abang. Sore pulang. Bawan berat. Masuk kamar. Bosan ingin jalan-jalan. Tujuan utama Monas. Sepakat. Bersama 5 orang teman naik taksi ke Monas.
Dari sinilah cerita dimulai. Setelah makan malam, sekitar pukul 22.00 malam tiba di parkiran monas. Waktu itu Monas masih bebas. Tidak seperti sekarang, masuk harus lewat pintu depan. Ada pagar pula.ketika itu bisa masuk dari mana saja.
Sampai sekitar Monas, masih banyak yang berjualan kopi naik sepeda. Kopi dan mei instan di lapak-lapak sekitar Monas. Kebiasaan di Jakarta. Banyak sepeda dengan kopi termosan dan mei instan yang siap disantap hanya dengan seduhan air panas.
Lelah keliling-keliling pelataran Monas, akhirnya tanpa dikomando semua berhenti dan duduk di sekitar penjuan kopi dan mei instan dengan lapak plastic digelar remang-remang. Penjajanya sekitar usia 20 tahunan, perempuan.
Kucoba memesan kopi gelas. Tak tanggung-tanggung. Kopi pahit dua bungkus di sedu dalam gelas plastic kecil diisi air setengah gelas. Pahit poll. Teman yang lain akhirnya memesan juga. Berkerumunlah di tempat penjual kopi tadi. Perbincangan dimulai.
“Mbak, sudah berapa lama jualan di sini?” celetuk salah seorang teman.
“Sudah lama, Bang. Beberapa bulan. Saya asal Indramayu. Ke sini mendatangi temanku. Katanya enak cari uang di Jakarta. Jualan kopi saja.” Dia bercerita tanpa diminta. Sambil asyik menuangkan kopi masing-masing kami.
“Mbak sudah bersuami?” kata temanku yang lain nyambar.
“Sudah, Bang.” Sambil senyum-senyum bangga.
Kemudian Dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan yang sulit ketika berada di desa. Tentang perkimpoiannya yang gagal akibat dijodohkan. Ketika lulus SMP sudah dinikahkan. Kemudian, ketika jalan dua tahun sudah bercerai lagi. Ditinggal suami kimpoi lagi. Sebelumnya selingkuhnya ketahuan.
Tentang perkimpoiannya yang kedua, sama-sama cinta. Sempat pacaran setahun dalam pertemuan di sosial media. Jadian, terus melanjutkan ke jenjang perkimpoian. Namun akhirnya gagal juga akibat suaminya yang tidak bekerja. Dia merasa diperas. Meskipun sudah punya suami tetap tetap disuruh bekerja.
Atas saran kenalan, diajak pergi ke Jakarta oleh seorang pemuda. Katanya, jualan kopi di pelataran Monas menguntungkan. Berjualan hanya waktu malam, siangnya bisa melakukan pekerjaan lain. Akhirnya tergoda untuk hidup layak.
Dan cerita-cerita yang lain, kami semua tertegun mendengarkan cerita penjual kopi. Jika kopi di gelas habis, memesan lagi. Melihat kami dari Kalimantan Dia sangat senang, dikiranya orang Kalimantan yang datang ke Jakarta adalah orang-orang kaya dan royal dalam berbelanja.
Tak beberapa lama datang seorang pemuda kurus, dekil. Mendekat lalu duduk mendekat ke penjual kopi tadi. Dia berhenti bercerita, lalu dengan nada pelan berbicara kepada orang yang datang tadi. Kami memaklumi, dan asyik saling bercerita. Pengalaman berbelanja dan beratnya belanjaan yang dibawa ke Hotel setelahseharian dari Tanah Abang siang tadi.
Setelah selesai dengan perbincangannya, penjual kopi tadi menyapa pada kami, “Bang, ini suami saya.”
Kaget kami dibuatnya. Perempuan yang cantiknya bisa dibandingkan dengan inul dara tista dapat suami seperti itu? Kagetnya kami simpan, hanya bisik-bisik ringan.
Aku kemudian membuka percakapan dengan suami penjual kopi tadi.
“Oh iya, maaf. Tadi dari mana?” tanyaku sekenanya.
Dia tertawa, bangga dengan pekerjaannya. Lalu bercerita, persis isterinya penjual jamu tadi.
“Saya ini kerjanya membersihkan sampah di sekitar Monas ini, Bang bila sudah senja, kerjaan saya itu memunguti sampah. Memasukkan ke dalam bak sampah yang lebih besar. Kalau pagi kami jualan kopi keliling, Bang. Dengan isteri saya yang satunya. Isteri yang ini dia tinggal di rumah, membereskan dan mengerjakan urusan rumah. Jadi saat pulang jualan, bisa makan dan istirahat dengan tenang. Karena yang ngurus rumah sudah ada.”
Kami saling toleh satu sama lain, Dia isterinya dua?? Amboeeee!!!!
Waduh kalah kita ini, begitu teriakan salah seorang teman kami. Dia mendengar. Dan lebih bangga lagi berkata. Isteri saya ada tiga, Bang. Isteri pertama saya di Tasik Malaya. Dua bulan sekali saya pulang ke Tasik Malaya.
Selesai. Kami yang dengan bangganya berkata, punya isteri cantik jelita. Sebagian punya selingkuhan di mana-mana. Tak berani beristeri dua, apalagi tiga. Padhal kata sebagian orang hidup kami sangat berkecukupan. Tetap saja seperti anak bego yang telah dipecundangi oleh tukang sampah monas. Dekil, tapi punya isteri tiga. Dan saling akur.
Katrok ya? Begitulah adanya. Nah, ketika malam pertama pada capek semua. Masing-masing segera masuk kamar hotel. Menikmati dinginnya AC. Pokoknya setelan paling dingin 16[sup]0[/sup]C. Selimut tebal. Tidur pulas. Tak terasa pagi hari. Kemudian kegiatan rombongan berbelanja di Tanah Abang.
Segala macam yang dilihat diborong. Begitulah orang kampung datang ke kota besar. Semua yang dilihat selalu ingin dibeli. Seharian keliling Tanah Abang. Sore pulang. Bawan berat. Masuk kamar. Bosan ingin jalan-jalan. Tujuan utama Monas. Sepakat. Bersama 5 orang teman naik taksi ke Monas.
Dari sinilah cerita dimulai. Setelah makan malam, sekitar pukul 22.00 malam tiba di parkiran monas. Waktu itu Monas masih bebas. Tidak seperti sekarang, masuk harus lewat pintu depan. Ada pagar pula.ketika itu bisa masuk dari mana saja.
Sampai sekitar Monas, masih banyak yang berjualan kopi naik sepeda. Kopi dan mei instan di lapak-lapak sekitar Monas. Kebiasaan di Jakarta. Banyak sepeda dengan kopi termosan dan mei instan yang siap disantap hanya dengan seduhan air panas.
Lelah keliling-keliling pelataran Monas, akhirnya tanpa dikomando semua berhenti dan duduk di sekitar penjuan kopi dan mei instan dengan lapak plastic digelar remang-remang. Penjajanya sekitar usia 20 tahunan, perempuan.
Kucoba memesan kopi gelas. Tak tanggung-tanggung. Kopi pahit dua bungkus di sedu dalam gelas plastic kecil diisi air setengah gelas. Pahit poll. Teman yang lain akhirnya memesan juga. Berkerumunlah di tempat penjual kopi tadi. Perbincangan dimulai.
“Mbak, sudah berapa lama jualan di sini?” celetuk salah seorang teman.
“Sudah lama, Bang. Beberapa bulan. Saya asal Indramayu. Ke sini mendatangi temanku. Katanya enak cari uang di Jakarta. Jualan kopi saja.” Dia bercerita tanpa diminta. Sambil asyik menuangkan kopi masing-masing kami.
“Mbak sudah bersuami?” kata temanku yang lain nyambar.
“Sudah, Bang.” Sambil senyum-senyum bangga.
Kemudian Dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan yang sulit ketika berada di desa. Tentang perkimpoiannya yang gagal akibat dijodohkan. Ketika lulus SMP sudah dinikahkan. Kemudian, ketika jalan dua tahun sudah bercerai lagi. Ditinggal suami kimpoi lagi. Sebelumnya selingkuhnya ketahuan.
Tentang perkimpoiannya yang kedua, sama-sama cinta. Sempat pacaran setahun dalam pertemuan di sosial media. Jadian, terus melanjutkan ke jenjang perkimpoian. Namun akhirnya gagal juga akibat suaminya yang tidak bekerja. Dia merasa diperas. Meskipun sudah punya suami tetap tetap disuruh bekerja.
Atas saran kenalan, diajak pergi ke Jakarta oleh seorang pemuda. Katanya, jualan kopi di pelataran Monas menguntungkan. Berjualan hanya waktu malam, siangnya bisa melakukan pekerjaan lain. Akhirnya tergoda untuk hidup layak.
Dan cerita-cerita yang lain, kami semua tertegun mendengarkan cerita penjual kopi. Jika kopi di gelas habis, memesan lagi. Melihat kami dari Kalimantan Dia sangat senang, dikiranya orang Kalimantan yang datang ke Jakarta adalah orang-orang kaya dan royal dalam berbelanja.
Tak beberapa lama datang seorang pemuda kurus, dekil. Mendekat lalu duduk mendekat ke penjual kopi tadi. Dia berhenti bercerita, lalu dengan nada pelan berbicara kepada orang yang datang tadi. Kami memaklumi, dan asyik saling bercerita. Pengalaman berbelanja dan beratnya belanjaan yang dibawa ke Hotel setelahseharian dari Tanah Abang siang tadi.
Setelah selesai dengan perbincangannya, penjual kopi tadi menyapa pada kami, “Bang, ini suami saya.”
Kaget kami dibuatnya. Perempuan yang cantiknya bisa dibandingkan dengan inul dara tista dapat suami seperti itu? Kagetnya kami simpan, hanya bisik-bisik ringan.
Aku kemudian membuka percakapan dengan suami penjual kopi tadi.
“Oh iya, maaf. Tadi dari mana?” tanyaku sekenanya.
Dia tertawa, bangga dengan pekerjaannya. Lalu bercerita, persis isterinya penjual jamu tadi.
“Saya ini kerjanya membersihkan sampah di sekitar Monas ini, Bang bila sudah senja, kerjaan saya itu memunguti sampah. Memasukkan ke dalam bak sampah yang lebih besar. Kalau pagi kami jualan kopi keliling, Bang. Dengan isteri saya yang satunya. Isteri yang ini dia tinggal di rumah, membereskan dan mengerjakan urusan rumah. Jadi saat pulang jualan, bisa makan dan istirahat dengan tenang. Karena yang ngurus rumah sudah ada.”
Kami saling toleh satu sama lain, Dia isterinya dua?? Amboeeee!!!!
Waduh kalah kita ini, begitu teriakan salah seorang teman kami. Dia mendengar. Dan lebih bangga lagi berkata. Isteri saya ada tiga, Bang. Isteri pertama saya di Tasik Malaya. Dua bulan sekali saya pulang ke Tasik Malaya.
Selesai. Kami yang dengan bangganya berkata, punya isteri cantik jelita. Sebagian punya selingkuhan di mana-mana. Tak berani beristeri dua, apalagi tiga. Padhal kata sebagian orang hidup kami sangat berkecukupan. Tetap saja seperti anak bego yang telah dipecundangi oleh tukang sampah monas. Dekil, tapi punya isteri tiga. Dan saling akur.

Quote:
Makanya, jangan terlalu bangga menjadi yang paling gagah, yang paling banyak harta. Kalau tidak berani jujur dan terbuka dengan pasangan yang ada.
Quote:
Demikian cerita perjalanan ke Monas. Indah dan Menggoda. Tapi kalah oleh tukang sampah yang memiliki isteri tiga.
Baca juga:
status sosmed
Diubah oleh Surobledhek746 07-04-2019 06:52






soezack dan 3 lainnya memberi reputasi
4
3.5K
Kutip
123
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan