Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
Kurelakan Dunia Demi Ramadhanku
Kurelakan Dunia Demi Ramadhanku

Kurelakan Dunia Demi Ramadhanku


"Kamu nggak puasa, Yud?" tanya Irwan pada teman kerjanya, Yudi.

Pria jangkung itu tengah menekuri sepanci sup dan sesekali dahinya mengernyit, tampak memikirkan sesuatu. Tangan kanannya memegang sebuah sendok kecil. Beberapa kali mengambil cairan beraroma sedap itu dengan sendok dan menyeruputnya perlahan.

"Aku ini koki. Aku harus memastikan semua masakan memiliki rasa yang pas biar nggak mengecewakan pelanggan. Salah satu caranya adalah dengan mencicipinya."

Jawaban diplomatis Yudi sukses membuat Irwan tutup mulut. Apa yang dikatakan temannya memang benar. Yudi hanya berusaha memberi tanggung jawab penuh pada pekerjaannya sebagai koki. Dia tidak bisa berargumen lebih dan memaksakan kehendak pada orang-orang di sekitarnya.

Yudi merupakan koki senior di rumah makan tempat mereka bekerja. Hampir sepuluh tahun dia mengabdi di tempat itu, sejak lulus sekolah tepatnya. Setelah menjadi pramusaji di tahun-tahun awal, dia mulai belajar menjadi koki secara otodidak dan sukses berkarir di sana.

Sementara Irwan baru bergabung sekitar sebulan yang lalu. Awalnya dia menolak bekerja di sana dengan alasan jauh dari kampung halaman, tempat anak dan istrinya tinggal. Apalagi rumah makan itu milik Cina, sudah pasti menjual beberapa menu makanan yang mengandung babi. Dia sempat ragu setelah kemudian Yudi meyakinkan bahwa menjadi pramusaji di sana pun gajinya menggiurkan.

Lagipula dia baru saja di-PHK dari pabrik seafood tempatnya bekerja dulu karena mengalami kebangkrutan. Dan saat itu mendekati Lebaran. Dengan segenap keyakinan mendapatkan pemasukan lebih untuk persiapan menyambut Idul Fitri, Irwan pun mengiyakan tawaran Yudi.

Ramadhan kali ini bertepatan dengan bulan Desember. Menjelang Hari Natal, pesanan membludak dan membuat semua karyawan kalang kabut, nyaris tak memiliki waktu istirahat. Dari beberapa karyawan di sana, mungkin hanya Irwan yang menjalankan puasa. Sebagian menyerah di tengah jalan, sebagian lagi berdalih dengan alasan-alasan tak masuk akal, seperti Yudi.

***

"Wan, sudah bedug tuh, buka puasa dulu nih," kata Karjo di sela-sela pekerjaannya.

Irwan baru saja sampai di dapur dengan membawa setumpuk piring kotor. Mata Karjo menyipit memandanginya yang tampak kepayahan. Dengan malas menyodorkan sebotol minuman ke wajah Irwan.

"Iya, Bang. Makasih sudah diingatkan," kata Irwan sopan, menerima pemberian Karjo, salah satu pramusaji kawakan di sana.

"Bismilahirahmanirahim ...."

"Mas Irwan, tolong layani meja sepuluh dong! Aku mau ke toilet sebentar," teriak seorang pramusaji lainnya.

Irwan tersedak. Air muncrat dari mulutnya, mengejutkan beberapa pasang mata yang memandangnya. Dia hanya geleng-geleng kepala, mengekori punggung pemuda dua puluh tahunan yang menghilang di balik pintu, dengan mata beloknya.

Dalam sekejap, Irwan sudah mulai sibuk kembali dengan pekerjaannya. Melayani pelanggan, membersihkan meja, membawa piring-piring kotor ke dapur, bahkan membuat minuman juga. Ketika Yudi mengatakan pramusaji, dia tak menyangka akan menjadi pekerja serabutan yang bahkan harus ikut membuang sampah setelah rumah makan tutup. Dia kepayahan, tapi tak menyerah.

Begitulah hari-hari selama bulan puasa ini dilalui Irwan. Dia sering sholat tak tepat waktu, berbuka terlambat, bahkan tidur terlalu larut dan mengendap-endap sendirian di dapur pada dini hari untuk makan sahur. Ya, dia menjadi satu-satunya orang yang bertahan dengan puasanya.

***
Siang itu Irwan tampak mondar-mandir dengan raut wajah yang keruh dan pandangan tak tentu arah. Berkali menabrak karyawan lain dan dibalas dengan umpatan.

"Hati-hati dong kalau jalan!"

"Kenapa, Wan?" tanya Yudi menghampiri. Dia baru saja menyelesaikan satu pesanan sup asparagus dan kini tengah bersiap makan siang bergiliran dengan koki lain.

"Gimana nih?" Irwan balik bertanya. Dia berkali melirik jam dinding di ujung ruangan. Sekarang hari Jum'at dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. "Aku bakalan telat ke mesjid!"

Yudi tampak berpikir keras. Dia memandang kesibukan para karyawan dan pesanan yang membludak.

"Hmmm ... gini aja," jelasnya. "Kamu minta izin sama Koh Lee. Biar nanti nggak dicari-cari."

Koh Lee adalah pemilik rumah makan dan kebetulan sedang berkunjung untuk memantau keadaan. Biasanya, Irwan tak perlu minta izin padanya untuk melaksanakan sholat Jum'at. Dia cukup memberitahu salah seorang karyawan untuk menggantikan pekerjaannya. Namun, kali ini berbeda. Rumah makan sedang ramai dan semua orang sibuk dengan tugas masing-masing. Dan kehadiran Koh Lee mau tak mau membuat Irwan dilema.

"Gimana kalau nggak dikasih izin?" tanya Irwan ragu.

"Dicoba aja dulu."

Dengan memantapkan hati, Irwan menghampiri Koh Lee. Pria bermata sipit itu tengah serius menekuri tumpukan nota di meja kasir.

"Permisi, Koh," sapa Irwan hati-hati. Dia berdiri kikuk di belakang kursi kasir dengan wajah menunduk. Bibirnya berkedut-kedut, seolah sedang merapalkan mantera untuk mengatasi kegugupannya.

"Ada apa?"

Pria peranakan Cina itu menoleh sebentar, kemudian kembali sibuk memperhatikan angka-angka yang tertera di kertas-kertas kecil.

"Ehm, begini ...."

Suaranya terhenti di tenggorokan. Sepintas menoleh Yudi yang sedari tadi memperhatikannya. Yudi balas memberinya anggukan.

"Saya mau minta izin keluar sebentar untuk ke masjid, Koh."

Di luar dugaan Koh Lee mengangkat wajahnya. Dia bangkit meninggalkan meja kasir dan kini berdiri menghadapinya.

"Kamu tahu ini hari apa?" tanyanya.

Mengejutkan. Pertanyaan macam apa ini?

"Hari Jum'at, Koh." jawab Irwan cepat. Dia bahkan terkejut mendengar jawabannya sendiri.

"Salah!"

Wajah dingin itu menyeringai.

"Hari ini adalah hari Natal. Kamu tahu apa artinya?"

Irwan menggeleng perlahan. Dia merasa menjadi orang bodoh karena mendapat pertanyaan-pertanyaan itu untuk permintaan izinnya menunaikan sholat Jum'at.

Koh Lee menghela napas, berat. Kedua tangannya bersedekap dan memandang pramusaji di hadapannya dengan wajah berkerut dan bibir mengerucut. Dia seolah telah siap mengeluarkan umpatan, tapi ditahannya.

"Artinya adalah ...." ujarnya setengah tak sabar. "Orang-orang tengah mengadakan pesta untuk merayakan Natal."

Irwan tampak belum memahami jawaban itu dan Koh Lee bisa menebaknya.

"Mereka datang berbondong-bondong di rumah makan ini, kita banjir orderan, dan semua karyawan tanpa terkecuali harus menyiapkan diri untuk menghadapinya."

"Artinya, baik kamu atau siapapun yang bekerja di sini tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum pekerjaan beres. Dan sepertinya tugasmu belum selesai. Benar, kan?"

"Berdiri di sini hanya akan membuang waktu. Lihat teman-temanmu yang keteteran. Apa kamu tega meninggalkan mereka?"

Irwan harus menjawab sendiri pertanyaan itu. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak, memenuhi rongga dada. Namun, di sisi lain amarahnya meledak mendapat tanggapan seperti itu. Lagi-lagi argumen tak masuk akal yang mereka jadikan dalih, seolah tak memiliki ruang untuk membela diri.

Ayah satu anak itu melangkah linglung menjauh dari bosnya. Dia terus memandang sekeliling dengan perasaan benci. Bagaimana mungkin dia bisa terperosok dalam dunia yang begitu kafir, begitu tak mengindahkan dirinya dan agamanya. Dia terus bertanya-tanya dalam hati apakah mereka Islam atau bukan. Kalau pun bukan, tidak adakah sedikit pun toleransi untuk agamanya?

Dalam keadaan kalut, Irwan menyerah. Dia tidak akan lagi mempertahankan dunia yang jelas-jelas melukai kebutuhan spiritualnya. Keesokan hari, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan berpamitan dengan teman-temannya. Dia yakin, hidup tidak akan berhenti hanya dengan merelakan dunia.

*End

Ilustrasi : pixabay
Diubah oleh YenieSue0101 04-03-2019 13:27
bekticahyopurnoAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan bekticahyopurno memberi reputasi
3
844
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan