Kaskus

Story

Missmuj12Avatar border
TS
Missmuj12
Pelarian ke Rumah Rayap
Pelarian ke Rumah Rayap


Pandangan lurus, memperjelas indra lihat sesosok perempuan.

Angin semilir menyapu sejuk wajah-wajah para pekerja yang pulang sore. Para pekerja yang pulang malam... Mungkin akan disapu sejuk juga wajahnya, itu jika ada angin malam.

Beberapa hari kini cuaca kering. Berawan benar-benar bukan berarti tanda akan turun hujan.
Adakalanya awan-awan menggantung riuh, sebuah pertunjukan pada langit lapang.

“Apa kabarmu?”, nada riang tiba-tiba menyapa sopan si Dephnie.

Di pelataran teras Perpustakaan Kota kini dibangun tempat-tempat bernaung payung warna-warni. 
Ada yang polos berwarna biru. Itu warna yang bagus untuk sebuah tempat menampung ide bagi para pengunjung Perpustakaan Kota yang berusaha mengundang ide-ide datang tanpa pergi lagi.

Alhamdulillah... Sehat.”, jawab Dephnie klasik, ia tampak kaget.

Alhamdulillah, begitu... Emm, nyari buku?”, tanya lagi orang itu kepada perempuan di hadapnya. 

Yang ditanya itu sejak tadi tampak raut wajah terheran-heran.
Tak ubahnya seorang tokoh amnesia dalam sinetron menanyakan ‘Saya dimana? Kau siapa? Sekarang jam berapa?’
Setelah melirik ke dekap tangannya sendiri, Dephnie menyahut pertanyaan itu dengan jawaban singkat padat, “Iya...”. 
Orang yang bertanya-tanya itu tersenyum kecil, bibirnya tipis, dagu lancipnya yang familiar dimata Dephnie.
Dephnie merasa susah. Diam-diam ia mengeluh dalam hati tentang orang di depan sosoknya itu.

“Eemmm..”, orang bercelana kain warna abu-abu terang itu menggumam dengan anggukan kecil, sebuah simbol ‘saya mengerti’.

“Kalau gitu, saya pergi dulu... Nyari toilet di sini...”, pamit orang itu seraya balik kanan beranjak sendiri.

“Eh, mau ngapain?”, tanya Dephnie, suaranya meninggi.

“Baca Koran...”, jawab orang bersuara parau itu.

Maksudnya yang benar saja. “Memangnya orang kalau di toilet untuk main sulap...”, fikirnya tak terlisankan.

Dephnie yang ditinggalkan terpatung geli di tempat. Tertawa dalam hati sendiri.
Punggung orang yang bertanya-tanya menghilang di balik sosok lemari besar. Tempat memamerkan buku-buku berjudul menggiurkan.

“Kok dia di sini? Dia cari buku juga? Dia masa liburan? Dia, dia, dia, dia... Dan seterusnya...”, Dephnie memasang wajah kesal menyusuri tangga menuju lantai empat.

Tak, tak, tak... Suara sepatu tinggi yang biasanya digunakan wanita, terdengar dari sebelah belakang tubuh Dephnie yang sedang naik – turun nafas mulai penat dengan anak-anak sang tangga Perpustakaan Kota.
Sebelah kanan dari tangga, berdiri berjejer rak buku koleksi Perpustakaan Kota. Rak-Rak berbau khas kertas-kertas berusia usang. Rata-rata dari mereka berwarna kuning kecoklatan. Ada yang sudah bercerai lembar halamannya. Banyak juga koleksi yang terhitung baru. Rak di lantai empat adalah kategori koleksi referensi, ensiklopedia, dan novel.

“Hemm.... Sebuah kisah dari kisah nyata...”, Dephnie agaknya mengulik isi sebuah karya fiksi.

Diraihnya buku bersampul warna biru gradasi putih pada rak setingkat di atas kepalanya.

Bip bip bip bip bip...

Suara bergetar dari dalam saku rompi hitam Dephnie menghambur ketenangannya.

“Ssttt..., jangan sampai mengganggu orang membaca...”, peringatan seorang teman karib Dephnie dulu memutar memori masa kecil.

Nomor yang sama sejak tujuh jam terakhir masuk daftar panggilan masuk.
Dephnie menghela nafas, menghembuskan keluar, memandang ke depan, mencoba ringan. Dia faham hatinya akan tetap berat meski menghela dan menghembuskan udara berkali-kali.

Bip bip bip... Suara itu amat menggoda suasana tenang ruangan. Klik.
Berhenti sudah peringatan telepon masuk. Ruang sekitar menjadi lega, lengang.

“Dia belum menyerah juga...”, sangka Dephnie. Dia mematung di depan rak, pandangannya tidak fokus dengan buku lagi.

“Dia harusnya menyerah saja...”, ungkapnya mengharap.

“Atau saya yang menyerah.”, Dephnie mengigit bibir bawah.

“Mungkin dia di sini sekarang...”, sebagai terkaan berjaga-jaga.

Perempuan bersepatu rata itu menyedot oksigen sebanyak mampunya, mengeluarkan sebutuhnya.
“Saya harus pindah, segera...”, putusnya diakhir kebuntuan.

Dengan membawa sebuah buku fiksi, ia menyusuri tangga turun ke lantai tiga, menuju meja besar. Meja berbahan batu marmer terasa dingin disentuh Dephnie. Fikirannya melesat lamban.

“Bisa pinjam kartu anggotanya, mbak...”, minta petugas bagian peminjaman buku.

“Oh, silakan...”, Dephnie mengeluarkan sebuah kartu warna biru muda.

Titt... Set. Selesai proses pendataan buku dan pencatatan waktu terakhir pulang buku yang dipinjam Dephnie.

“Terima kasih, selamat membaca...”, sapa ramah petugas berseragam krem di seberang meja.

“Terima kasih juga...”, sahut Dephnie mencoba menyeimbangi keadaan.

Lantai Perpustakaan Kota berwana putih mengkilap. Ada hiasan potret aktifitas tani selebar enam puluh centimeter. Sebuah papan  peringatan untuk para pengunjung agar menjaga nada bicara ataupun nada dering alat komunikasi digantung di sisi depan dari posisi Dephnie yang menuju ke lantai dua bangunan.

Tiba di lantai dasar, perempuan pengguna rompi hitam dan sepatu hitam itu menghampiri pojok ruangan. Di situ letak meja penyimpanan barang.

Dephnie mengeluarkan kartu anggota miliknya dan menghadapkan data dirinya ke arah sinar sensor warna merah di meja tamu.

Tit! Valid.

Ada deretan berpetak-petak layar berwarna hitam tepat di belakang meja panjang, sebagai meja tamu. Dephnie membuka salah satu laci penyimpanan yang tertulis nama dan potret dirinya pada layar depan laci itu. Itu adalah sebuah sistem penyimpanan barang sebagai suatu layanan untuk para anggota Perpustakaan Kota.

Pengunjung yang tidak memiliki kartu anggota tidak mendapat kesempatan penyimpanan begitu. Mereka memiliki laci-laci manual. Mereka membuka sendiri dan mengunci sendiri laci kayu yang masih kosong.

Setelah mengambil barang-barang yang ditinggal dalam laci berlayar dan membuka otomatis itu, dia melangkah menuju pintu keluar.

Terima kasih atas kunjungan anda. Semoga selamat sampai tujuan.
Itu tulisan berwarna biru terang pada layar hitam panjang di atas pintu keluar. Pintu keluar membuka dan menutup sendiri tanpa disuruh.

“Dia sudah keluar, bu...”, suara parau berbicara dengan seseorang diseberang telepon. Tampak dagu tajam bergerak naik turun. Dilihat-lihat tepat di bawah dagu itu sebuah jakun juga bergerak-gerak mengikuti ritme suara pemilik dagu. Ia bukan seorang perempuan. Meskipun warna kulitnya tampak terang mengkilap.

“Wah, segarnya angin sore. Wah saya sepertinya terlena di dalam, ini terlalu sore...”, fikir Dephnie seraya kemudian refleks melirik jam di tangan.

“Lima, lima puluh sembilan...”, ia membaca letak jarum panjang dan jarum pendek jam tangan di pergelangan kanannya.

Deru lalu lalang kendaraan di depan Perpustakaan Kota masih setia mengiringi senja menuju gulita.

“Ke rumah dulu. Sebentar aja, persiapkan barang...”, rencana Dephnie di atas motornya.

Tiga detik, keluar sebuah motor bersistem ramah untuk perempuan dari pagar Perpustakaan Kota, berwarna hitam pula.

Perjalanan lurus yang sedang ditempuh Dephnie dari Perpustakaan Kota menuju tempat tinggalnya terasa berkelok-kelok. Bagaimana tidak, dia merasa dikejar-kejar kecewa. Sebentar lagi kecewa itu bisa saja menahan roda belakang motornya. Sehingga, perjalanan yang hanya dua kilometer membuatnya ingin menangis kencang tanpa air mata.

Sisa-sisa lentera sang mentari menelisik antara lindung bangunan-bangunan pinggir jalan ketika motor Dephnie berhenti taat aturan lalu lintas.

Tit titt....
Bahasa kendaraan bermotor di belakang mengajak pengemudi yang lain melanjutkan perjalanan. Sudah selesai lampu merah pada tiang kurus simpang empat jalan Bakung, jalan Tulip ke arah lurus. Di sisi lajur yang dipersilakan tak mentaati lampu lalu lintas, jalan kiri adalah jalan Kamboja. Jalan beraspal dipenuhi kendaraan bermotor dengan macam-macam merk, warna, dan bentuk.

“Setibanya di rumah, pertama, kemas barang-barang. Barang-barang yang akan kubutuhkan saja...”, pertimbangan Dephnie sembari menarik gas pada kepal tangan kanan.

“Lalu... Makanan, minum, sikat gigi jangan sampai tertinggal...”, lebih rinci  pertimbangannya kini.

“Itu saja...”, katanya sambil mengatupkan bibir atas dan bawah sehingga mengukir senyum, pertanda puas dengan pertimbangan yang dimatangkan segera. Mata di balik penutup wajah dari helm hitam menyipit karena kembang senyuman.

Dephnie melaju memasuki jalan Bakung. Ada dua kelokan sebelum tiba di rumahnya. Sebuah pohon mangga berbuah terlewati, di depan sana ada pohon mangga yang masih berbunga. Tepat di sebelahnya sebuah rumah bergaya kuno dihancur – robohkan. Rumah itu dibangun dari kayu-kayu panjang bersusun. Sejak kecil, Dephnie diantar jemput ke sekolah melalui jalur itu. kayu rumah itu semakin kusam, catnya memudar. Tumbuh rumah-rumah rayap di bagian-bagian rumah.

“Mungkin, orang yang dulu merawat rumah itu sudah tua dan pindah tempat tinggal bersama anaknya...”, tebak Dephnie sekilas menengok rumah itu.

Rumah bercat putih itu sudah tertinggal di belakang. Kemudi motor terus melesat, terkadang mengerem seperlunya.
Seorang anak laki-laki menyeberang jalan, rem ditarik Dephnie sedikit memperlambat gerak kendaraan. Anak itu menyeberang digandeng seorang perempuan. Kemungkinan besar ibunya.
Dephnie sontak teringat sosok ibu dalam hidupnya.
Baginya, ibu memperlakukan ia layaknya puteri kerajaan sewaktu kecil. Dephnie memiliki beberapa gaun, dengan pita, dan manik-manik berkelip.
Dephnie suka gaun, dan kini masih menyukai.

Ibu Dephnie pernah berpesan kepada puteri kecil satu-satunya di keluarga besar mereka, bahwa “Gaun yang cantik tak akan bisa terlihat cantik kalau yang mengenakan berwajah cemberut...”. Itu masih Dephnie ingat. Maka, ia mengerti arti senyum.

Gaun berwarna putih adalah gaun pertama untuk Dephnie. Ibunya memakaikannya pertama kali saat Dephnie berusia lima bulan hadir di dunia. Gaun itu berhias pita merah di pinggang, manik bulat-bulat putih dirangkai pada bagian leher.
Dephnie juga tahu itu. Ibunya pernah memberitahunya. Cerita itu dipatri dalam ingatan Dephnie. Jika terlintas sosok ibu dalam benaknya, cerita itu jadi salah satu cerita manis sebagai alasan senyumnya mengembang.

Cahaya mentari mulai meredup. Pohon-pohon yang tadinya diterpa sinar mentari menyimpan bayang-bayangnya. Dephnie memasuki pekarangan rumahnya, mematikan mesin motor, dan mencabut kunci motornya.

Assalamu’alaykum...”, Dephnie mengucap salam memasuki rumah yang kosong.

“Okay... Kita bersiap...”, riang dan tergesa geraknya kini. Dinyalakan lampu ruang tamu, ruang tengah, kamarnya, memasuki kamarnya, dan menuju ke dapur.

“Hemm... Lebih baik makan dulu, deh...”, gumamnya sambil memegang perut dengan telapak kanan.

Di lemari pendingin ada seloyang persiapan makanan. Berjejer ikan layang yang membeku dalam kotak pembeku lemari es.
Dephnie menyalakan kompor, meletakan wajan di atas mata kompor.
Ketika minyak yang dituang ke dalam wajan sudah panas, langsung saja masukan ikan layang. Ikan itu sudah bersih dan berbumbu.

Bip bip bip bip....
Keringat mengucur dari pori pelipis Dephnie yang menanti ikan matang saat telepon genggam diisi daya. 

“Huhh...”, keluh Dephnie bersungut-sungut.

Ia tampak bangkit dari duduknya di atas kursi plastik empat kaki. Melepas sambungan kabel pengantar listrik dari lubang telepon genggamnya.

“Hallo...”, sapa Dephnie memulai suara.

“Hallo... Benar ini dengan Dephnie?”, orang di seberang telepon memastikan pemilik suara.

“Iya, benar. Ini dengan siapa?”, Dephnie memastikan orang di seberang telepon memang orang dan bukan robot.

“Oh, ya... Kau meninggalkan dompet di Perpustakaan Kota, Deph...”, si pembicara di seberang sana terdengar akrab dengan Dephnie melalui sambungan telepon itu.

Tidak ada sahutan dari Dephnie. Ia mengerutkan alis tebalnya, mengingat saat terakhir ia membawa dompetnya. Matanya berkeliling kiri – kanan mencari-cari jejak langkahnya satu jam terakhir di Perpustakaan Kota.

“Tertinggal?”, curiga Dephnie kepada si penelpon.

“Saya Nicki...”, si penelpon meyakinkan Dephnie. Kemudian ia melanjutkan temuannya kepada perempuan yang sedang dihubungi itu.

“Saya baru saja menemukan dompet perempuan berwarna ungu bercorak polkadot pink kecil-kecil di salah satu rak koleksi buku fiksi Perpustakaan Kota... Saya menemukan kartu namamu, ada nomor teleponmu untuk dihubungi...”, orang di seberang telepon menjelaskan, suara paraunya memenuhi rongga-rongga indra dengar Dephnie.

“Sebentar...”, Dephnie meraih tas selempang hitam yang tadi digunakan pergi ke Perpustakaan Kota.
“Kok, tidak ada...”, heran sendiri Dephnie tidak menyaksikan dompet miliknya dalam tas itu. Wajahnya kebas menyadari suatu kehilangan.

“Nick, terima kasih sudah memberitahu saya. Saya tidak ingat meletakan dompet di rak buku tadi...”, Dephnie tampak lega dan bersyukur kepada orang yang disebut Nick di seberang saluran telepon.

“Saya masih di Perpustakaan Kota, jika kau mau mengambilnya...”, keterangan pria itu memberi jejak kehilangan dompet Dephnie bukan hal yang harus dicemaskan. Sudah aman.

Suara Dephnie lenyap. Hening sebentar. Ia butuh menimbang udara, perut, dan waktu. Waktunya seharusnya tidak digunakan untuk yang lain-lain kecuali mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa. Udara malam dengan perut yang belum diisi bahan bakar.

“Duh, bagaimana ya?”, ungkap Dephnie dilema.

“Atau saya antarkan ke rumahmu, tidak masalah kok...”, tawaran baik dari pria berdagu tajam yang menelpon. Seolah menyaksikan Dephnie terhimpit oleh situasi, pria itu hanya tidak bisa membiarkan temannya dalam dilema dompet tertinggal di Perpustakaan Kota.

“Emmmm...”, Dephnie tampak lebih dilema. Separuh dari dilema dirinya memutuskan.

“Boleh juga kalau diantar ke sini... Saya tidak ada waktu ke sana, tapi...”, Dephnie menggumam dalam batin seraya melonggarkan dirinya dari himpitan situasi. Ia memiringkan kepala ke kanan sambil matanya berkedip-kedip. Wajahnya terang disiram cahaya lampu dapur.

“Sebentar, aku akan ke sana lagi...”, sebuah keputusan akhirnya meluncur dari lisan perempuan berjilbab putih berdiri di samping lemari pendingin.

“Oh, tak masalah aku akan mampir ke sana setelah ini...”, kata-kata pengertian itu seperti menyelimuti tubuh Dephnie dari udara malam dengan perut tanpa bahan bakar malam itu.

“Saya dekat kok dari rumah ke sana... Sebentar ya, saya ambil jaket, langsung ke sana...”, jawab Dephnie sepontan.

“Kalau gitu saya tunggu. Hati-hati di jalan...”, pesan pria bersuara parau itu mengakhiri pembicaraan di telepon.

Dephnie menyalakan mesin motor yang tadi teronggok bisu di halaman depan. Melesat semampunya dalam gulita. Gulita tak berarti sepi, gulit tak berarti sendiri.
emoticon-Travelleremoticon-Jempolemoticon-Angel
Bersambung....
Pengunjung yang baik hadir dengan meninggalkan jejak.
Beri cendol agan, komentar agan, dan follow
sumber ilustrasi : https://media5.picsearch.com/is?oLphva3FFUbS_RjqhRrhfVAFXQedpJbw6MEhyp-9hPs&height=266
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
3
825
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan