Kaskus

Story

Missmuj12Avatar border
TS
Missmuj12
Langit Kuning Langsat
Langit Kuning Langsat

Langit sedang kosong melompong dari keberadaan awan. Rombongan yang biasa mengepul itu mungkin sedang bertengger di sudut langit yang lain detik ini. 


Atau mungkin sedang dalam perjalanan menuju kemari di antar hembus angin.
Mata-mata baru yang bangun tidur, mata-mata lelah menatap layar datar perangkat teknologi terkini, kelopak-kelopak yang diistirahatkan sejenak dalam kedip, mereka melakukan kegiatan-kegiatan sebagai tanda permainan peran di bumi dilaksanakan.

Di bawah pohon akasia berdiri semacam pondokan sawah, sengaja sekali didesain semodern mungkin, terlihat diusung dengan tiang-tiang besi dan ada meja panjang dari besi pula yang dinaungi genting merah. Di situ tempat orang mengakses internet.

Beberapa akasia kokoh menghadirkan nuansa rindang untuk penikmat internet di tempat itu. Ranting-ranting akasia bergelayut lembut seiring tiupan alam. Daun-daun hijau memanggil mata demi mensyukuri rupa-rupa alam yang sementara.

“Hey, hari ini bungaku akan tersebar di bawah-bawah...”, ungkapan semangat pohon akasia pertanda masih hidup pagi ini.

Jika koneksi internet bervolume, bermasa, atau setidaknya berwujud, di tempat itu tampak malang-melintang wujudnya.

 Anak-anak muda, orang-orang berusia senior, lelaki, perempuan sambil duduk atau berdiri menggunakan salah satu fasilitas kampus untuk mereka.

Itu adalah salah satu hak istimewa mereka. Kemudian mereka hanya memanfaatkan itu selagi sempat, selagi masih sebagai warga kampus itu.

“Mahasiswa suka yang gratisan, kan?”, aku teringat ungkapan bentuk perhatian seorang bapak dosen yang mengajar di kelasku pada semester enam.

Diujung hari-hari sebagai mahasiswi, seorang perempuan bertubuh medium menyusuri lobi kampus pagi itu. Dia hari ini sedang ingin mengenakan blouse kuning gading lengan panjang, jadi dia berpakai atasan itu kini. Ditambah hijab coklat yang dililit menutup auratnya, dan sepasang sepatu andalan sekaligus kesukaannya.

Dia menjinjing tas map plastik berwarna kuning terang.

“Sembilan, dua puluh lima...”, dia berhitung dalam hati.

“Lima menit lagi...”, dia terlihat mempercepat langkah.

Jika dia bertingkah begitu dan kedengaran mahasiswa atau mahasiswi lain, kemungkinan mereka akan menengok pada perempuan itu dan bertanya heran-heran. “Ada apa?” Minimal biasanya hanya berekspresi datar. Seolah faham saja urusan di gedung ini seputar perkuliahan.

Kalau mahasiswa pada semester yang masih mempelajari teori-teori, biasanya bergegasnya untuk ‘aku gak boleh telat kuliah hari ini’ atau ‘aku sudah telat’.

Mereka santai sekali pagi ini, berdiri-diri, berkumpul, memandang mahasiswa-mahasiswi lain, menatap satu sama lain dan membicarakan topik apapun.

“Apa jadwal mereka hari ini?”, perhatian perempuan itu sedikit teralihkan dengan situasi lobi, sambil tetap melangkah pasti, dia menolehkan leher ke sebelah kanan. Di pinggir itu sedang berdiri seorang mahasiswa menatapnya heran.

Balas saja pandangan itu dan segera berlalu hilang.

Perempuan itu bergegas menuntaskan salah satu kepentingannya berada di kampus gedung perkuliahannya sehari-hari, untuk selanjutnya pergi ke gedung kantor para pejabat kampus.

Cuaca pagi ini semeriah urusan si perempuan anak kampus itu. Dia akan menemui seseorang di ruang kerjanya. Siapakah orang itu?

Bukanlah orang nomor satu negeri ini, tapi terhitung orang penting di kampus Hijau Kota ini. Tentu saja orang penting, karena sesungguhnya perempuan itu mengidolakannya.

Laki-laki bercelana seperti kebanyakan andalan fashion pria di sini, celana kain panjang warna hitam, sedang berjalan ke arah perempuan itu. Lelaki berwajah bersih dengan kacamata (kemungkinan besar kacamata bantu lihat) mengarahkan pandang ke perempuan itu sejenak, melintas.

Tak ada interaksi yang berarti antara perempuan itu dengan pria yang ternyata hanya lewat situ. Oh, kutahu bukan itu orang penting yang hendak ditujunya.

“Hampir sampai...”, ungkapnya lega dalam hati.

Gedung itu berlantai empat, untuk sampai di lantai tiga haruslah meniti lajur tangga penghubungnya. Harus. Tidak ada fisilitas tangga berjalan atau ruang bergerak naik – turun tingkat bangunan.

“Huff... Mudah-mudahan bapak stand by...”, harapnya membatin sambil mengambil nafas di tengah perjalanan titian tangga.

Dia sedang semangat. Kemudian tampak dia memperbaiki helai jilbab berbahan adem yang dikenakan. Wajahnaya sekarang ada titik-titik keringat di bawah hidung.

Dia melanjutkan langkah pasti, lebih santai. Dia sadar pintu yang tuju tinggal delapan langkah besar di hadapannya, maka dia mempersiapkan diri. Dia tak bisa mengetuk pintu itu jika terengah. Menyeka keringat dengan jari-jari tangan kanannya. Dia mengetuk pintu dua ketukan dalam kesempatan pertamanya hari itu.

Assalamu’alaikum...”, salam khas agama Islam diujarkan perlahan-lahan suara. Takut takut jika orang di dalam sedang bekerja dengan otaknya, hingga buyar yang sudah dikerjakan karena suara salam si perempuan yang hanya mahasiswi. Bersyukurlah. Dia memilki karakter rendah hati. Namun, tetap meyakini suatu saat nanti setelah ini, dia bisa jadi seseorang.

Segera terdengar derik pintu dibuka, kemudian salam dijawab dengan lengkap. Selesai sudah urusan mengucap salam dan menjawab salam. Suatu ilmu diterapkan.
Sesosok pria dewasa lebih tinggi dari perempuan itu menampakan diri saat pintu mulai terbuka sedikit demi sedikit. Wajah pria itu matang oleh pengamalan, matang oleh pemahaman, dan bisa bersikap bijak.

Bismillah...”, perempuan yang ditatap pria itu berujar bisu.

Usianya sekitar empat puluh tahun. Dari penampilannya, dia cukup pantas untuk disangka sebagai dosen.

Jangan terlena, dia bisa membaca pikiranmu!

Jangan memikirkan yang lain-lain ketika kau berada dihadapannya.
Fokus!

Perempuan itu dipersilakan duduk di bangku tepat di seberang meja duduk pria itu. Aku tahu dia sangat gugup. Tangannya sibuk mencari-cari sisi-sisi yang nyaman untuk diposisikan di tempat duduk itu.

“Sudah dikerjakan PR-nya?”, pria itu memulai suara. Tanpa menanyakan nama perempuan itu terlebih dahulu, karena ini sudah menjadi pertemuan yang ketiga.

“Sudah, pak...”, sahut si perempuan sambil menanamkan keyakinan dalam jiwa sendiri.
Tanpa suara pria itu meminta menunjukan bukti ‘sudah’ yang dikatakan si perempuan di hadapnya.
Sebuah map kuning bertulis Dephnie di buka pria itu. Di dalamnya ada segepok kertas HVS putih yang tidak bersih lagi. Sudah dituangi tinta-tinta hitam di atasnya.

Pria itu dengan ekspresi datar khas pribadinya membaca lembar demi lembar kertas-kertas yang hanya berkunci paper clipdi tangannya.

Si perempuan tampak goyah dengan nasibnya saat ini. Setengah dirinya takut sekali masih membuat kesalahan yang sama atau lebih-lebih membuat kesalahan yang lain lagi. Setengah dirinya lagi yakin sudah benar apa yang dikerjakannya pada gepokan kertas HVS berharga.

“Habis aku...”, masih sama gumaman si perempuan ketika menemui pria dihadapnya empat hari yang lalu. Ini merupakan ekspresi gawat darurat yang mestinya akan selamat jika si pria berkata yang melegakan ruang hatinya.

Aku tak sanggup menyaksikan itu semua...

Tapi, mau bagaimanapun tahap satu itu harus dilalui perempuan itu jika ingin benar-benar selamat.
Suatu ketika, berbanding terbalik dari cita-cita terbarunya, dia ingin jadi se0rang Brand Ambassador salah satu brand make up di Indonesia.

“Jika aku menjadi Brand Ambassador-nya, tenang saja, aku bisa tetap mengenkan jilbab...”, begitu keyakinannya dalam hati sendiri.

Brand yang satu itu merupakan brand make up dalam negeri. Mereka menyesuaikan produk dengan keadaan sekitar dan menurutku cukup ‘ramah’ dengan orang-orang di sini. Aku gunakan kata ‘ramah’ untuk mengungkapkan harga produk-produk mereka tidak keterlaluan jika dibandingkan dengan produk-produk bagus yang brand orang-orang negeri dan luar negeri sudah kenal, berkwalitas, dan sepertinya mengerti aku.

Yeah, sepertinya mereka mengerti aku, karena untuk salah satu item penting make up, yaitu pewarna bibir, mereka mengupayakan warna-warna lipstick ataupun lip cream sesuai untuk warna kulit wajah sawo matang.

Kebanyakan kulit perempuan Indonesia berwarna sawo matang. Seperti kulit Dephnie. Warna kuning langsat juga merupakan warna kulit yang banyak dimiliki orang-orang di negeri tropis ini.

Sesungguhnya warna kulit kuning langsat tidak tampak seperti kulitnya buah langsat. Sama sekali tidak sesuai dengan sebutannya. Seorang pria penyanyi juga penulis lagu di kota ini heran perihal itu. Ia memperlihatkan setangkai buah langsat yang mengelantung delapan – sepuluh butir buah pada tangkainya.

Diletakan buah-buah bundar itu di lengan kiri bagian dalam, sementara tangan kanannya berusaha merekam video menggunakan telepon genggamnya di dalam sebuah mobil saat perjalanan menuju luar kota.

“Warna kulit kuning langsat... Kulit kuning langsat dan buah langsat, berbeda. Nah, tidak mirip sama sekali warnanya...”, bersungut-sungut pria dewasa itu menunjukan ketidakmiripan warna kulit lengannya dengan kulit buah langsat. Dia yakin benar warna kulitnya kuning langsat.
Mobil hitam bermuatan lima orang itu melesat menuju sebuah misi di luar kota.
Dephnie terbiasa yakin suatu saat dia mendapat kesempatan emas itu.

Dia sudah pernah menulis suatu impian di buku catatannya.

Pada suatu waktu dia memperoleh kesempatan di depan mata, tanpa perlu tapi-tapi dia meluncurkan satu angan kecilnya. Itu adalah impian bertemu dengan penulis terbaik yang pernah ada di dunia ini. Menurut versi Dephnie. Mungkin saja kalian memiliki idola penulis terbaik sepanjang masa yang lain, yang berbeda dengan pendapat Dephnie.

 Maka, keadaan Dephnie kini sudah lebih baik daripada detik-detik saat pak dosen membaca karya tulisnya. Pak dosen kini menatap lurus Dephnie, sedang menyampaikan sesuatu.
***


Sepulang dari kampus sore ini Dephnie akan melancarkan rencana hariannya. Bukan misi detektif.
Salah satu kebiasaan Dephnie menulis rencana-rencana aktifitas dalam sebuah catatan kecil yang dibelinya di toko buku murah perempatan tempat tinggalnya.

Sore ini tertulis di buku catatan ‘Mengembalikan buku Perpus”.
Dephnie akan bersiap diri.

Ia melihat-lihat isi lemari pakaiannya. Kedua bola matanya berputar bekeliling menguasai rongga-rongga lemari. Barang-barang ditata rapi terpisah menurut jenisnya masing-masing. Perempuan beralis tebal itu menghentikan pandangan pada helai jilbab putih dalam tatanan barang berjenis jilbab di dalam lemari itu.

Sejauh sepuluh kilometer, di depan sebuah toko kosmetik, seseorang mencoba menghubungi Dephnie menggunakan handphone layar sentuh miliknya. Dia berdiri di sana di antara lalu lalang pengunjung juga orang-orang yang hanya melintas di jajaran toko daerah itu.

Bip bip bip bip...

HandphoneDephnie memberi peringatan di atas meja rias di kamar.
Dephnie melangkah beranjak dari depan lemari pakaian. Berhenti di depan maja rias, melirik layar segi empat, dan mengambil handphone itu dengan tangan kanan.

Pandangannya lurus, terang ke layar handhphone. Sebuah panggilan masuk.

Telepon genggam hitam miliknya terus memperingatkan ada telepon masuk. Tetapi, tak dapat memahami air wajah orang yang memandangnya.

 “Siapa?”, tanya Dephnie tampak sedikit cemas. Alis hitamnya mengernyit dan matanya menyipit.
Handphone tersisa daya diangka lima belas persen. Terlihat pada pojok atas kanan layar.

“Hmm...”, Dephnie mengatupkan bibir atas dan bibir bawah. 
Merasa tidak perlu menjawab telepon. Tetapi, bisa saja ia merubah pikiran.

Perempuan pemiliknya mungkin tidak ingat lagi waktu terakir kali ia mengisi daya telepon genggam itu. Dia akhir-akhir ini mengisyaratkan resah gundah. Kini ditampakan pula, meski tak diungkapkan dari bibirnya. Tak mungkin, ia tak selera mengungkapkan perihal yang digundahkan hati.
 Lalu, bibir Dephnie menarik senyum tipis di depan cermin rias.

Meletakan telepon genggamnya.

Ia memilih menghadapi kenyataan.

Ia memilih menterjemahkan bahagia menurut sudut pandangnya.

***


Tampak seorang perempuan bertubuh ideal di depan toko kosmetik kota metropolitan memasukan benda ke dalam kantong jaket coklat muda yang dikenakan.

Terik sore menggelar display kuning. Mentari bergegas dari tugasnya. Awan menggantung bergerombol tiga – empat pada layar lebar atap planet bumi.

Jilbabnya berwarna polos hitam. Wajahnya berat, meskipun hidungnya menukik mancung, kedua alis mata simetris hitam legam membingkai paras tegas.

Menghela nafas dalam, sorot pandang ke depan, perepuan itu mengangguk kecil.

 “Satu jam lima belas menit...”, dia terlihat berbicara sendiri sambil melangkah beranjak.

Sepatu pantopel perempuan warna hitam dengan sedikit penyangga tumit berderak mengiringi langkah.

Suara klason meraung-raung memenuhi langit kota yang berwarna lembayung sore. Sore ini para pekerja diberi waktu kembali ke sarang untuk beristirahat, untuk kemudian esoknya kuat lagi melakukan rutinitas.

 Nama Lengkap perempuan tiga puluh tahunan itu Diphia Aluna. Dia tiba di salah satu kota metropolitan ini kemarin sore. Perempuan itu pertama kali berada di kota ini. Dia tadi keluar dari toko kosmetik bertulis papan besar, Queen’s Crown di tepi jalan Bakung. Benda kesukaannya adalah topi. Dia gemar mengumpulkan salah satu penutup kepala itu dengan bentuk dan warna berbeda-beda. Dia menata barang-barang koleksinya itu dalam sebuah lemari kaca besar dengan les bingkai perak mengkilap di ruang keluarga tempat tinggalnya.

“Koran...”, suara anak laki-laki bercelana pendek yang biasa mengisi rongga-rongga antar kendaraan di perempatan depan Queen’s Crown. 

“Tiga...”, sambil mengacungkan jari telunjuk, tengah, dan manis tangan kanannya menghadap kaca mobil yang ditutup rapat-rapat penghuninya.

Dari kaca jendela mobil yang tertutup rapat itu terlihat terbuka sedikit di bagian atas, kaca menurun lagi, keluar kertas kecil berlipat.

“Terima kasih...”, anak itu mengangguk kecil menatap kaca jendela mobil yang sudah kembali merapat.

Bip bip bip bip...

Telepon genggam polos tanpa tombol berkedip-kedip, bergetar, untuk memperingatkan pemiliknya. Dia tergeletak di dalam ruam tas sintetis gelap.

“Huhhh...”, Dephnie malas membuka tas selempangnya. 
Diraih muara bunyi bip bipitu. Sebuah panggilan masuk dari sederet angka.

“Baiklah...”, dipencet item hijau di layar telepon genggam, itu bukan tombol pencetan.

Panggilan berakhir. Meninggalkan pemberitahuan panggilan tak terjawab di layar. Layar redup. Hitam kembali.

“Lho, kok mati...”, Dephnie terkejut. 

Ada sedikit rasa lega memenuhi jiwa dan hatinya seketika.
 Dephnie mengenakan jilbab putih bercorak bunga warna krem dengan tangkai-tangkai warna coklat gelap. Bergegas menuju perpustakaan kota.

“Hah?...”, perempuan muda itu menghirup udara dalam-dalam melalui kerongkongannya. 

Mulutnya terbuka menampakan gigi-gigi depan.

bersambung...

sumber ilustrasi : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fi1.wp.com%2Femulatoria.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkartun-muslimah-7.jpg%3Fssl%3D1&imgrefurl=https%3A%2F%2Femulatoria.id%2Fanime%2Fgambar-kartun-anime-wanita-muslimah%2F&docid=BcClhdEIxni2NM&tbnid=8wmonv3Hf8jYmM%3A&vet=12ahUKEwi1vMW4ldbgAhUYiHAKHc-rBt44ZBAzKE4wTnoECAEQUg..i&w=564&h=797&hl=en-ID&authuser=0&safe=strict&bih=667&biw=1366&q=wanita%20berhijab%20cartoon&ved=2ahUKEwi1vMW4ldbgAhUYiHAKHc-rBt44ZBAzKE4wTnoECAEQUg&iact=mrc&uact=8   
anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan anasabila memberi reputasi
4
1.1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan