- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pedagang Tanah Abang: Zaman Ahok PKL Diperlakukan Lebih Manusiawi


TS
winarwi
Pedagang Tanah Abang: Zaman Ahok PKL Diperlakukan Lebih Manusiawi
Quote:
JawaPos.com - Penataan kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat belum lepas dari persoalan. Pedagang kaki lima (PKL) yang dipindahkan ke Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) tidak semuanya terakomodasi. Disinyalir lapak yang terdapat di sepanjang JPM disewakan lagi oleh pemilik lapak kepada PKL dengan tarif lebih mahal. Padahal Pemprov DKI Jakarta menyatakan sewa lapak di JPM hanya Rp 500 ribu per bulan.
"Kami merasa penataan PKL di Tanah Abang belum serapi yang diharapkan. Sejatinya yang menempati lapak di JPM itu PKL yang selama ini berjualan di bawah," ungkap Febrian, 33, salah seorang pedagang kepada JawaPos.com, Senin (4/1).
Menurutnya, 446 jumlah lapak di JPM bisa menampung semua PKL yang selama ini dianggap membuat Tanah Abang semrawut. Hanya saja masih ada saja PKL yang berjualan di bawah dan dekat stasiun karena diduga ada yang mendapatkan lapak bukan PKL. Lantas mereka menyewakan lagi PKL. Tarifnya sekitar Rp 4,5 juta sampai Rp 5 juta per bulan," ungkapnya. Sementara dari ketentuan Pemprov DKI Jakarta sewa lapak Rp 500 ribu per bulan.
Lebih jauh dikatakan pria yang sudah delapan tahun berjualan di Tanah Abang ini, penyerahan lapak tidak setranparan pada zaman gubernur lama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Dulu ketika penataan Blok G aja transparan. Jelas siapa yang mendapat kios dan berapa harganya. Kini terkesan diam-diam. Zaman Ahok PKL masih diperlakukan manusiawi," imbuhnya.
Sebelumnya Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi menyebut lapak di JPM dikelola oleh PD Sarana Jaya. Lapak itu disewakan dengan tarif yang sudah ditentukan yakni Rp 500 ribu per bulan. "Pembayaran kontribusi itu dibayarkan ke Sarana Jaya," Irwandi.
Menurutnya dia retribusi sebesar itu tidak membebani para pedagang. Jika dihitung per hari, para pedagang hanya perlu menyisihkan uang sekitar Rp 16 ribu per hari. Dia berharap semua pedagang dapat disiplin menaati peraturan yang ada. Pembagian kunci untuk masing-masing kios di JPM berlangsung pada 10 Desember 2018 lalu.
Sementara itu, Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho menyebut, keberadaan JPM Tanah Abang ditengarai cukup mengusik oknum preman. Terutama oknum preman yang terbiasa mengais rezeki di sana.
"Kan preman ada potensi kehilangan pendapatan kemudian muncul pedagang baru di Jalan Jatibaru yang kemudian mengklaim sebagai PKL Jatibaru. Padahal waktu kami verifikasi orang-orang ini nggak ada," jelasnya saat dihubungi, Senin (21/1).
Teguh menyebutkan memang ada 650 pedagang di Jalan Jatibaru telah terdata oleh Ombudsman. Walaupun baru 446 pedagang yang sudah direlokasi ke JPM dan sebagian ada yang menempati blok F. Sehingga tercatat masih ada 149 pedagang yang entah berjualan di mana.
"Bisa dibayangkan jadi sekarang ada penambahan dari pedagang yang tidak mau masuk ke blok F saja ada 149 orang. Alasan mereka tidak mau jualan di blok F karena kurang laku," tegasnya.
Menariknya, Teguh membocorkan para pedagang kerap menyetor kepada preman sebesar Rp 30-50 ribu per harinya. Padahal sebelum adanya JPM, tercatat 500 pedagang aktif membayar kepada preman.
"Gini sekarang 500 pedagang masuk ke JPM sama ke blok F berapa coba potensi kehilangan pendapatan perhari para preman ini. 500 kali Rp 50 ribu orang saja sudah Rp 25 juta perhari loh," ungkapnya.
Tragisnya angka ini membuat Ombudsman, mendorong Pemprov DKI lebih aktif melakukan konsolidasi, dengan menempatkan para PKL baru yang mengklaim sebagai PKL lama atau yang tidak terangkut ke JPM dan blok F.
https://jawapos.com/jpg-today/04/02/...ebih-manusiawi
menyesalkan sekarang,,,, mamam tuh gabener
"Kami merasa penataan PKL di Tanah Abang belum serapi yang diharapkan. Sejatinya yang menempati lapak di JPM itu PKL yang selama ini berjualan di bawah," ungkap Febrian, 33, salah seorang pedagang kepada JawaPos.com, Senin (4/1).
Menurutnya, 446 jumlah lapak di JPM bisa menampung semua PKL yang selama ini dianggap membuat Tanah Abang semrawut. Hanya saja masih ada saja PKL yang berjualan di bawah dan dekat stasiun karena diduga ada yang mendapatkan lapak bukan PKL. Lantas mereka menyewakan lagi PKL. Tarifnya sekitar Rp 4,5 juta sampai Rp 5 juta per bulan," ungkapnya. Sementara dari ketentuan Pemprov DKI Jakarta sewa lapak Rp 500 ribu per bulan.
Lebih jauh dikatakan pria yang sudah delapan tahun berjualan di Tanah Abang ini, penyerahan lapak tidak setranparan pada zaman gubernur lama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Dulu ketika penataan Blok G aja transparan. Jelas siapa yang mendapat kios dan berapa harganya. Kini terkesan diam-diam. Zaman Ahok PKL masih diperlakukan manusiawi," imbuhnya.
Sebelumnya Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi menyebut lapak di JPM dikelola oleh PD Sarana Jaya. Lapak itu disewakan dengan tarif yang sudah ditentukan yakni Rp 500 ribu per bulan. "Pembayaran kontribusi itu dibayarkan ke Sarana Jaya," Irwandi.
Menurutnya dia retribusi sebesar itu tidak membebani para pedagang. Jika dihitung per hari, para pedagang hanya perlu menyisihkan uang sekitar Rp 16 ribu per hari. Dia berharap semua pedagang dapat disiplin menaati peraturan yang ada. Pembagian kunci untuk masing-masing kios di JPM berlangsung pada 10 Desember 2018 lalu.
Sementara itu, Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho menyebut, keberadaan JPM Tanah Abang ditengarai cukup mengusik oknum preman. Terutama oknum preman yang terbiasa mengais rezeki di sana.
"Kan preman ada potensi kehilangan pendapatan kemudian muncul pedagang baru di Jalan Jatibaru yang kemudian mengklaim sebagai PKL Jatibaru. Padahal waktu kami verifikasi orang-orang ini nggak ada," jelasnya saat dihubungi, Senin (21/1).
Teguh menyebutkan memang ada 650 pedagang di Jalan Jatibaru telah terdata oleh Ombudsman. Walaupun baru 446 pedagang yang sudah direlokasi ke JPM dan sebagian ada yang menempati blok F. Sehingga tercatat masih ada 149 pedagang yang entah berjualan di mana.
"Bisa dibayangkan jadi sekarang ada penambahan dari pedagang yang tidak mau masuk ke blok F saja ada 149 orang. Alasan mereka tidak mau jualan di blok F karena kurang laku," tegasnya.
Menariknya, Teguh membocorkan para pedagang kerap menyetor kepada preman sebesar Rp 30-50 ribu per harinya. Padahal sebelum adanya JPM, tercatat 500 pedagang aktif membayar kepada preman.
"Gini sekarang 500 pedagang masuk ke JPM sama ke blok F berapa coba potensi kehilangan pendapatan perhari para preman ini. 500 kali Rp 50 ribu orang saja sudah Rp 25 juta perhari loh," ungkapnya.
Tragisnya angka ini membuat Ombudsman, mendorong Pemprov DKI lebih aktif melakukan konsolidasi, dengan menempatkan para PKL baru yang mengklaim sebagai PKL lama atau yang tidak terangkut ke JPM dan blok F.
https://jawapos.com/jpg-today/04/02/...ebih-manusiawi
menyesalkan sekarang,,,, mamam tuh gabener


tien212700 memberi reputasi
19
8.6K
Kutip
121
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan