Kaskus

Entertainment

bangzaldiAvatar border
TS
bangzaldi
Mengulik Sejarah Nama Nio (娘), Cina ‘Benteng’ di Indonesia
Mengulik Sejarah Nama Nio (娘), Cina ‘Benteng’ di Indonesia


MATA INDONESIA, JAKARTA– Coba deh sesekali kalian menyempatkan diri memeriksa nama-nama perempuan Cina Benteng. Terutama yang berusia 40 tahun ke atas.


Kalian pasti akan menemukan satu yang khas dari nama mereka. Yaitu selalu ada kata nio di belakangnya, seperti Masnah Pang Tjin Nio, penyanyi cokek terakhir.


Teman saya pun sempat bercerita beberapa waktu lalu. Saat dia masih kecil, pernah berbaur dengan Cina Benteng di Kp Rawa Bengkel di Cengkareng.


Dia banyak menemukan perempuan peranakan Tionghoa menggunakan nama nio. Bahkan tidak tahu apakah seluruhnya, atau sebagian besar. Yang pasti hampir semua perempuan Tionghoa yang ia temui di seputar Cengkareng sampai ke Tangerang, mengunakan nama nio.


Ia pun tidak merasa aneh dengan semua, dan tak sempat bertanya. Tapi setelah menjelang tua, dirinya mulai bertanya-tanya mengapa semuanya menggunakan nio.


Dirinya sempat berteori, nio adalah identitas yang dilekatkan untuk mengidentifikasi perempuan dan laki-laki. Sayangnya teori ini konyol. Karena tidak dibangun atas dasar pengetahuan akan ke-Tionghoa-an, dan sejarah.


Menjadi lebih konyol lagi, teman saya ini tidak bisa berbahasa Tionghoa sama sekali. Ia mengaku kian penasaran setelah berkunjung ke Panongan, dan iseng-iseng – benar-benar pekerjaan orang gila – membaca bongpay di permakaman Tionghoa. Hampir semua nama perempuan menggunakan nio.


Ia pun akhirnya mencoba membaca sebanyak mungkin pustaka dan penelitian soal masyarakat Tionghoa di Batavia. Dimulai dari kedatangan pertama permukim Tionghoa ke Batavia, era keemasan bisnis budak Bali, dan terbentuknya masyarakat Tionghoa peranakan yang mapan.


Benar mana? Niang atau Nio (娘)


Markus Vink, dalam The World Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century, mencatat terdapat 22.500 budak di Batavia pada abad ke-17. Sebagian besar, kira-kira 90 persen berasal dari Bali. Sisanya dibawa pedagang budak dari Makasar, Bugis, dan Ambon, dan wilayah lain di Nusantara.


Dari jumlah itu, sebanyak 10 ribu adalah perempuan. Perempuan Bali adalah primadona bagi pemukim Tionghoa. Mereka laris-manis di pasar budak, dan mengisi rumah-rumah para saudagar Tionghoa di sekujur Batavia.


Sebelum dipasarkan, budak-budak Bali dimukimkan di beberapa lokasi di sekujur pinggir Batavaia. Jejak permukiman itu masih terlihat sampai kini. Di Tanah Abang, misalnya, ada nama Kampung Bali (监光猫汝). Di Sunter, terdapat tiga nama Kampung Bali. Lainnya di sekitar Kelurahan Kalideres dan Kapuk, Jakarta Barat, dan Ciputat (Jakarta Selatan). Sayang, nama Kampung Bali di Jakarta Selatan telah lenyap. Di Jakarta Timur ada namanya Bali Mester.


Kedatangan perempuan Bali ke Batavia sebagai budak, mengawali munculnya kaum ‘peranakan’. Studi Prof Yuang Bingling terhadap arsip Kongkoan (公馆) Batavia dan catatan pengadilan (Gongan bu) antara 1755 sampai 1950 membuktikan hal itu.


Claudine Salmon, dalam Le rôle des femmes dans l’émigration Chinoise en Insulinde, menulis tidak ada data yang memperlihatkan pendatang awal Tionghoa ke Batavia dan kota-kota pelabuhan di sekujur Asia Tenggara sebagian wanita. Lelaki Tionghoa yang keluar dari desa-desa mereka juga tidak berkelompok, tapi individual. Ketika tiba di daerah tujuan, mereka membentuk komunitas yang semuanya laki-laki.


Setelah beberapa tahun, dan memiliki kemampuan finansial, mereka mencoba menikah dengan wanita pribumi. Namun, sulit bagi mereka mendapatkan perempuan dari sekitar Batavia yang umumnya telah memeluk Islam.


Jumlah pendatang Tionghoa yang terus bertambah, sampai jauh melebihi komunitas etnis pemukim lainnya, adalah pasar bagi budak wanita. Pedagang budak, utamanya orang Belanda, melihat situasi ini sebagai bisnis menguntungkan. Mereka membanjiri Batavia dengan budak dari Bali, Makasar, dan Bugis.


Wanita Bali menjadi primadona karena berkulit lebih terang, dan beragama Hindu. Sehingga, tidak ada masalah bagi wanita Bali memasak dan menyediakan daging babi.


Yuan Bingling, dalam Chinese Women in Jakarta During The Colonial Periode, menulis budak Bali – orang Tionghoa menyebut nya gin’a (囝仔) – terdaftar di pemerintah kota sebagai  bi (婢), artinya budak perempuan. Para budak dijual dengan harga antara 20 sampai 30 guilder – setara dengan beberapa bulan gaji manual worker di Batavia saat itu.


Sebagai budak, para wanita Bali ini kehilangan semua hak, bahkan ketika mereka telah memiliki anak. Hanya pada situasi tertentu mungkin mereka mendapat promosi menjadi qie (妾) atau selir, tapi tidak mendapat status Cina. Sebagai qie, seorang budak wanita tidak bisa lagi diperjual-belikan, karena telah menjadi bagian keluarga sang tuan. Ia mengasuh anak, dan – jika mampu memikat hati majikan – diberikan kepercayaan mengelola harta.


Jika tidak menjadi qie, seorang budak wanita bisa diperjual-belikan beberapa kali dalam seumur hidup. Seorang gin’a asal Bugis, seperti diceritakan Yuan Bingling, berpindah pemilik tujuh kali sampai berusia 61 tahun. Dalam banyak kasus, seorang lelaki Tionghoa ingin menikahi budaknya secara sah menurut adat Tionghoa dan terdaftar di Majelis Kongkoan. Ini hanya bisa dilakukan dengan men-cina-kan sang budak. Caranya, si lelaki harus mencari keluarga yang bersedia mengadopsi gin’a. Keluarga yang mengadopsi membuat surat pernyataan telah mengadopsi perempuan Bali, memberinya marga dan nama.


Meski demikian tetap harus ada identifikasi yang dilekatkan kepada perempuan pribumi yang telah di-cina-kan. Yaitu kata niang (Mandarin) atau nio (Hokkien) di belakang namanya. Misal; Gong Xiniang atau Wu Genniang. Belum cukup, orang Tionghoa mengadopsi kata dalam bahasa Inggris untuk sang budak yang dichinesean, yaitu lady. Jadilah seroang budak pribumi yang telah dichinesean, misalnya, bernama Lady Gong Xiniang, atau Lady Wu Geniang. Secara harfiah, niang atau nio berarti ibu.


Seorang juragan Tionghoa bisa menikahi beberapa wanita yang telah dichinesean, beberapa qie, dan budak biasa atau yang tidak dichinesean dan tidak dijadikan selir. Jadi ada tiga kelas perempuan di dalam rumah-rumah masyarakat Tionghoa kaya saat itu.


Iwai Shigeki, dalam Women and Commerce in Southeast Asia, tidak melihat hal ini. Menurutnya, hanya ada istri sah dan selir. Dalam pengertian Iwai, selir berstatus budak — perempuan yang menjadi pemuas nafsu sang tuan dan pelayan rumah tangga. Iwai tidak melihat ada qie di antara keduanya.


Ia sampai pada kesimpulan ini setelah mempelajari kasus Huang Zhiniang — wanita peranakan yang diperistri Kapiten Gao Gen’guan. Nama Huang Zhiniang muncul dalan catatan Gongan bu, karena bersengketa dengan sang suami. Kapten Gao memiliki Huang Zhuniang sebagai istri yang sah dan beberapa budak.


Huang melahirkan beberapa anak. Sejumlah budak Kapiten Gao juga memberikan anak. Tidak seluruh budak Kapiten Gao berasal dari Bali. Ada juga dari Makasar dan Bugis. Shigeki tidak menyebut berapa anak yang lahir dari rahim selir dan istri sah sang kapten. Ia hanya menulis Kapiten Gao membangun keluarga multietnis.


Budak tidak memiliki hak mengasuh anak. Saat harus keluar dari rumah untuk dijajakan di pasar, sang budak harus berpisah dengan anak yang dilahirkannya. Menariknya, anak-anak yang lahir dari rahim selir, istri sah, atau budak — lelaki atau perempuan — memiliki hak yang sama dalam semua hal; penggunaan nama keluarga, dan pembagian harta warisan.


Kalau pun ada perbedaan, anak laki-laki — lahir dari rahim selir atau bukan — tidak menggunakan identifikasi khusus pada namanya. Anak perempuan tetap harus menggunakan niang atau nio, plus lady.


Wanita peranakan hanya boleh menikah dengan lelaki Tionghoa dan peranakan. Mereka telah, meski bukan sepenuhnya, menjadi Cina dan pemerintah VOC melarang perkimpoian antarras. Sejarah mencatat ada seorang niang yang sangat dicintai pembelinya, hingga mendapat kepercayaan mengelola bisnis, yaitu Lady Maoli shi. Ia adalah istri Kapitan Yan Er, atau lebih dikenal dengan sebutan Gan Djie.


Pada 1648, Kapitan Yan Er meninggal dunia dan VOC menunjuk Lady Maoli shi sebagai penggantinya. Jadilah wanita itu bernama Lady Kapitan Maoli shi. Lady Maoli, sering pula dikenal dengan Nyonya Gan Jie, tercatat dalam sejarah sebagai kapten pribumi satu-satunya dan wanita pengayom semua etnis. Ia meletakan delapan teko di depan rumahnya, setelah beberapa kali melihat pedagang keliling kehausan saat berteduh tak jauh dari tempatnya.


Delapan teko itu terus diisi air teh, dan orang-orang yang lewat akan selalu menyempatkan diri untuk minum. Kini kawasan tempat Nyonya Gan Jie tinggal bernama Petekoan (八茶罐), yang berasal dari kata pek (delapan) dan teko (tempat air). Arsip Kongkoan juga mencatat pengaduan seorang pekerja Tionghoa yang hendak menikahi seorang budak. Cia Jieming, pekerja Tionghoa itu, pada Agustus 1788 mengadukan kasusnya ke pengadilan Belanda karena Kongkoan melarangnya menikahi seorang nubi, atau bekas budak.


Kongkoan mengatakan Laoji, sang nubi, belum berstatus Tionghoa. Jadi, perkimpoian tidak boleh terjadi. Jieming mengatakan Laoji telah berstatus Cina dan bernama You Liulang. Kongkoan tetap tidak percaya, karena tidak ada identifikasi niang di nama wanita itu. Pengadilan Belanda melakukan investigasi untuk menghindari kasus bigamy. Hasilnya, Laoji pernah diadopsi seorang keluarga Tionghoa, dan telah memperoleh status Tionghoa. Kongkoan, demikian pengadilan Belanda, harus mengijinkan pernikahan Jieming dengan Laoji.


Kemapanan


Seseorang tidak selamanya menjadi budak. Selalu ada kesempatan bagi para wanita asal Bali, Bugis, dan Makasar pada saat itu, melepaskan status budak dan menjadi orang merdeka. Namun ini tidak mudah. Arsip Gongan bu mencatat sebuah kasus menarik. Pada 5 Mei 1790, seorang budak – yang telah menjadi pemuas nafsu sang majikan tapi tidak pernah diadopsi dan dinikahi secara resmi – berusaha membebaskan diri. Sang tuan memitanya mencari sejumlah uang untuk membeli kebebasannya.


Sang budak mencari orang yang memiliki uang dan bersedia membeli kebebasannya. Singkat cerita, ada orang yang berbaik hati dan bersedia membeli kebebasan sang budak. Sebagai uang muka, orang itu menyerahkan sepuluh persen dari harga yang diminta pemilik. Namun ketika pembeli kebebasan sang budak hendak merampungkan transaksi, si pemilik menolak melepasnya. Gongan bu memutuskan transaksi harus tetap diselenggarakan. Karena sang budak telah memiliki bayi perempuan, maka akta jual tidak menyertakan sang bayi.


Bayi yang lahir dari hubungan dengan lelaki Tionghoa otomatis menjadi Cina. Sebagai Cina, seorang bayi tidak boleh diperjual-belikan. Seorang budak yang telah di-cina-kan, atau menjadi niang, berhak menuntut kompensasi ketika dicerai. Setelah menjadi janda, mereka juga berhak meminta mas kimpoi kepada lelaki – tentu saja orang Tionghoa – yang ingin menikahinya.


Artinya, status Cina yang diberikan kepada seorang budak tidak akan luntur meski telah bercerai dengan lelaki yang bebelinya dari pasar. Para niang juga tidak akan menjadi pribumi, kecuali jika kembali ke kampung halamannya. Menariknya, tidak ada kasus seorang wanita budak asal Bali, Makasar, atau Bugis, kembali ke masyarakatnya.


Yuang Bingling juga mencatat xinke, atau pendatang baru, yang bisa membaca dan berasal dari keluarga terhormat di tanah kelahirannya bisa menikah dengan wanita keturunan tanpa membayar mas kimpoi. Xinke, yang biasanya lelaki dewasa dan miskin, hanya diminta meletakan dua lilin merah di altar keluarga. Perkimpoian dengan xinke dimaksudkan agar anak-anak yang lahir secara fisik telah kembali menjadi Cina.


Sebelum terjadi pembantaian Tionghoa 1740, masyarakat peranakan di Batavia relatif telah mapan. kimpoi-mawin antar niang dan lelaki peranakan, atau niang dengan pendatang baru, berlangsung terus.


Meski demikian penjualan wanita budak masih berlangsung untuk memenuhi kebutuhan perilaku poligami para saudagar, serta membludaknya para pendatang baru akibat booming industri gula ommelanden (kawasan selatan Batavia).


Sampai permulaan abad ke-19, kepemilikan wanita budak menjadi simbol status para orang kaya Tionghoa di Batavia. Di sisi lain, pendatang baru mati-matian bekerja di kebun-kebun tebu, atau penggilingan, agar bisa menabung dan membeli budak. Ketika VOC membantai orang Tionghoa di dalam kota, setelah para buruh Cina di luar benteng melakukan penyerbuan yang gagal, serdadu Belanda sebenarnya sedang membantai kaum peranakan; anak-anak para selir dan wanita budak yang telah di-cina-kan.


Sumber






0
2.7K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan