- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sri Mulyani dan Kisah 'Menteri Pencetak Utang' Sejak Soekarno


TS
gilbertagung
Sri Mulyani dan Kisah 'Menteri Pencetak Utang' Sejak Soekarno
Sri Mulyani dan Kisah 'Menteri Pencetak Utang' Sejak Soekarno
Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Rabu, 30/01/2019 07:40 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani disindir Prabowo Subianto gemar mencetak utang. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Presiden Prabowo Subianto kembali mengeluarkan kritik sekaligus sindiran untuk pemerintahan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi). Kali ini, 'serangan' ditujukan tak langsung ke Jokowi, namun ke menteri keuangan Kabinet Kerja.
Meski tak menyebut nama Sri Mulyani Indrawati secara langsung, ia terus membahas soal jumlah utang yang terus menumpuk akibat menteri keuangan pemerintahan saat ini. "Kalau menurut saya, jangan disebut lagi lah ada Menteri Keuangan. Mungkin menteri pencetak utang. Utang menumpuk terus, bangga berutang, yang suruh bayar orang lain," ucapnya, akhir pekan lalu.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai serangan Prabowo sejatinya sah-sah saja, apalagi disampaikan pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sebab, serang-menyerang seperti ini memang sudah jadi pemakluman ketika euforia tahun politik tengah menyelimuti.
"Itu gimmick saja, bukan personal. Ini sah saja, toh semua kandidat politik biasanya begitu, di negara lain pun begitu," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (29/1).
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai sindiran itu seolah diberikan kepada Sri Mulyani karena tengah menjadi menteri keuangan di Kabinet Kerja. Hanya saja, menurutnya, kritik soal utang seharusnya tidak hanya diberikan kepada pemerintahan Jokowi.
Menurut dia, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi turut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku mitra pemerintah. "Kritik kepada pemerintah terkait utang ini tidak tepat. Utang adalah perwujudan APBN yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR," tekannya.
Sementara, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai sindiran Prabowo tak tepat jika hanya ditujukan bagi Sri Mulyani. Pasalnya, seluruh menteri keuangan yang pernah menjabat pasti berkontribusi terhadap utang pemerintah saat ini.
"Saya kira harus fair, dari era Presiden Soekarno, Indonesia sudah punya utang ke kreditur internasional. Jadi tuduhan itu menghakimi menteri keuangan dari era orde baru hingga saat ini," katanya.
Bedanya, menurut Bhima, pencetakan utang di era orde baru hingga Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih banyak berupa pinjaman bilateral hingga multilateral dengan tingkat bunga yang relatif lebih rendah.
Sedangkan yang dilakukan pemerintahan Jokowi cukup banyak melalui penerbitan surat utang (obligasi) dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, sekitar 8 persen untuk obligasi bertenor 10 tahun. Hal ini tak lepas dari kebutuhan pembiayaan yang meningkat seiring gencarnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur Jokowi.

Utang Pemerintah. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Kinerja Sri Mulyani
Terlepas dari sindiran Prabowo, Bhima menilai kinerja Sri Mulyani dalam mengelola APBN sekaligus utang masih jauh dari sempurna. Sri Mulyani dinilai belum cukup mampu menerbitkan surat utang dengan bunga yang menguntungkan pemerintah.
Tengoklah tingkat imbal hasil (yield) surat utang pemerintah saat ini yang berkisar 8 persen untuk tenor 10 tahun. Menurutnya, terlepas dari persaingan yield obligasi di pasar internasional, pemerintah seolah sulit mendapat bunga murah untuk membayar utang.
Hal ini tak lepas pula dari tingginya kebutuhan utang untuk pembangunan. "Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia," imbuhnya.
Sementara dari sisi penggunaan utang, catatan Bhima menunjukkan rasio utang terhadap pendapatan (debt to service ratio/DSR) Indonesia masih di atas 24 persen. Ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
DSR merupakan perbandingan antara utang dan penerimaan valuta asing (valas), misalnya dari ekspor. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa utang luar negeri yang ditarik pemerintah belum sejalan dengan perolehan pendapatan ekspor Indonesia.
Lebih lanjut, usai menerbitkan utang maka muncul pula bunga utang yang harus dibayar. Kenaikan utang pun membuat bunga utang yang harus dibayar kian besar. Pada APBN 2018 misalnya, pembayaran bunga utang mencapai Rp258,1 triliun atau 108,2 persen dari asumsi awal.
"Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," terangnya.
Penggunaan utang di era Sri Mulyani juga dinilai Bhima belum bisa mendongrak pertumbuhan ekonomi. Sejak Sri Mulyani menempati kembali menduduki kursi menteri keuangan, ekonomi Indonesia masih stagnan di kisaran 5,1 persen. Sementara pertumbuhan ekspor justru turun menjadi kisaran 6,65 persen pada tahun lalu.
Sementara dari sisi fiskal, penggunaan utang tak hanya digunakan untuk kegiatan produktif, seperti pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk pos belanja lainnya.
Ia mencontohkan belanja barang naik 80,9 persen, belanja pegawai naik 40,5 persen, dan belanja modal yang terkait infrastruktur naik 31,4 persen. Untuk itu, menurutnya, memang Sri Mulyani harus melihat lagi realisasi penggunaan dari setiap rupiah utang yang ditarik pemerintah.
Senada, Fithra melihat penarikan utang di era pemerintahan saat ini memang lebih masif. Tengoklah porsi utang luar negeri pemerintah yang hampir mencapai 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal di era SBY masih sekitar 24 persen.

Rasio utang pemerintah. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Padahal, dampak dari penggunaan utang ke perekonomian tidak setinggi era sebelumnya. Hal ini tercermin dari perekonomian yang masih betah tumbuh di kisaran 5 persen. "Meski alokasi penggunaannya cukup berbeda. Kalau di era SBY lebih banyak untuk subsidi, sedangkan di era Jokowi coba digeser ke infrastruktur," tuturnya.
Di sisi lain, penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur tak hanya membebani negara, tetapi juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terutama BUMN karya.
"Itu lah kenapa kemarin sempat ada sorotan juga dari Bank Dunia soal infrastruktur yang jadi akar beban ke BUMN," jelasnya.
Kendati begitu, dari sisi penggunaan utang, Fithra menilai Sri Mulyani tak bisa disalahkan seorang diri. Toh, ia hanya bagian pengelola fiskal, bukan yang secara langsung menggunakan utang tersebut. Walhasil, ketidakmampuan utang menggerakkan ekonomi juga salah para menteri teknis.
"Karena Sri Mulyani di fiskal, seolah-olah masalah utang hanya salah dia, padahal coba lihat bagaimana kementerian teknis. Saya menduga ini tak lepas dari kementerian teknis yang didominasi para politis," jelasnya.
Berbeda, Piter melihat kinerja Sri Mulyani sudah cukup baik. Sebab, sebagai bendahara negara, setidaknya ia mampu membuat defisit APBN hanya sekitar 1,7 persen dari PDB. Begitu pula dengan keseimbangan primer yang hanya sekitar Rp1,8 triliun. Tak ketinggalan, penerimaan belanja yang melampaui target hingga Rp1.936 triliun dan belanja negara yang terakselerasi hingga Rp2.202,2 triliun.
"Ini artinya pertambahan utang dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemerintah juga tidak pernah kelabakan yang tidak bisa membayar cicilan pokok dan bunga," ungkapnya.

Ilustrasi utang pemerintah. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Bakal 'Menteri Pencetak Utang' Selanjutnya
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai setidaknya ada beberapa kandidat yang cocok menggantikan menteri keuangan terbaik di dunia versi majalah The Banker itu.
Pertama, Chatib Basri. Menurutnya, menteri keuangan era SBY itu merupakan kandidat paling mumpuni untuk menggantikan Sri Mulyani saat ini karena dianggap cukup netral untuk mengelola sektor fiskal negeri ini.
Chatib dianggapnya tidak memiliki afiliasi politik khusus pada masing-masing calon presiden dan wakil presiden, sehingga ketika terpilih nanti diharapkan Chatib bisa benar-benar profesional dan netral dalam mengelola APBN. Selain itu, dari sisi popularitas, ia menilai Chatib cukup 'terkenal', sehingga bisa diterima oleh banyak kalangan.
"Chatib ini seperti Sri Mulyani sebenarnya. Cukup netral, memiliki pengalaman sebagai menteri keuangan, bisa berkoordinasi dengan sektor moneter, dan tentunya bisa menjalin hubungan internasional dengan baik," ucapnya.
Kedua, Ari Kuncoro. Dari latar belakang pendidikan, Fithra menilai Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) itu tak perlu diragukan.
"Dari sisi kapasitas, sudah cukup kaya. Tinggal tantangannya, beliau mungkin belum cukup terkenal, sehingga mungkin nanti ada kendala di pasar," jelasnya.
Ketiga, Faisal Basri. Baginya, sesama alumni 'jaket kuning' ini tentu tak perlu diragukan lagi kapasitasnya. Apalagi, Faisal cukup dikenal sebagai ekonom yang kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Menurutnya, dari sisi pasar, mungkin Faisal sudah cukup dikenal. Namun, ia masih sedikit meragukan penerimaan pasar terhadap sosok Faisal Basri. "Tapi mungkin kalau pun tidak jadi menteri keuangan, Faisal sangat bisa diandalkan sebagai menteri perindustrian ke depannya," tuturnya.
Keempat, Drajad Wibowo. Ekonom yang sudah cukup lama terjun ke bidang politik dan kini menjadi salah satu ekonom di kubu Prabowo-Sandiaga ini dinilai juga cukup mampu menggantikan Sri Mulyani. "Tapi kembali lagi, bagaimana penerimaan pasar," imbuhnya.
Sementara nama-nama lain, seperti Rizal Ramli hingga Fuad Bawazier yang belakangan cukup vokal melempar kritik ke pemerintah dinilainya kurang cocok kembali menempati kursi menteri keuangan.
"Saya rasa tidak cocok karena cenderung soliter, dan mungkin tidak diterima pasar. Mungkin karena cenderung suka bekerja sendiri," kata dia.
Di sisi lain, Fithra menilai kans Sri Mulyani sendiri untuk kembali memimpin sektor fiskal dalam negeri sudah cukup. Maklum saja, Sri Mulyani sudah menempati jabatan ini sejak era SBY.
"Kalau pun menjadi menteri, mungkin seharusnya naik menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, atau mungkin ke Bank Dunia, menjadi pengganti Jim Yong Kim (presiden Bank Dunia yang mengundurkan diri beberapa waktu lalu)," jelasnya.
Berbeda, Piter melihat kapasitas beberapa ekonom di Tanah Air memang cukup baik. Namun, menurutnya belum ada sosok yang tepat untuk menggantikan Sri Mulyani saat ini. Apalagi, kinerja mantan direktur pelaksana Bank Dunia dalam beberapa terkait dinilai cukup memuaskan.
"Sangat banyak ekonom yang pantas, baik dari kubu pasangan calon nomor urut 01 dan 02, tapi saya kira di antara semua yang pantas itu, Sri Mulyani adalah yang paling baik," pungkasnya. (agi)
Sumber
Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Rabu, 30/01/2019 07:40 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani disindir Prabowo Subianto gemar mencetak utang. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Presiden Prabowo Subianto kembali mengeluarkan kritik sekaligus sindiran untuk pemerintahan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi). Kali ini, 'serangan' ditujukan tak langsung ke Jokowi, namun ke menteri keuangan Kabinet Kerja.
Meski tak menyebut nama Sri Mulyani Indrawati secara langsung, ia terus membahas soal jumlah utang yang terus menumpuk akibat menteri keuangan pemerintahan saat ini. "Kalau menurut saya, jangan disebut lagi lah ada Menteri Keuangan. Mungkin menteri pencetak utang. Utang menumpuk terus, bangga berutang, yang suruh bayar orang lain," ucapnya, akhir pekan lalu.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai serangan Prabowo sejatinya sah-sah saja, apalagi disampaikan pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sebab, serang-menyerang seperti ini memang sudah jadi pemakluman ketika euforia tahun politik tengah menyelimuti.
"Itu gimmick saja, bukan personal. Ini sah saja, toh semua kandidat politik biasanya begitu, di negara lain pun begitu," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (29/1).
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai sindiran itu seolah diberikan kepada Sri Mulyani karena tengah menjadi menteri keuangan di Kabinet Kerja. Hanya saja, menurutnya, kritik soal utang seharusnya tidak hanya diberikan kepada pemerintahan Jokowi.
Menurut dia, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi turut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku mitra pemerintah. "Kritik kepada pemerintah terkait utang ini tidak tepat. Utang adalah perwujudan APBN yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR," tekannya.
Sementara, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai sindiran Prabowo tak tepat jika hanya ditujukan bagi Sri Mulyani. Pasalnya, seluruh menteri keuangan yang pernah menjabat pasti berkontribusi terhadap utang pemerintah saat ini.
"Saya kira harus fair, dari era Presiden Soekarno, Indonesia sudah punya utang ke kreditur internasional. Jadi tuduhan itu menghakimi menteri keuangan dari era orde baru hingga saat ini," katanya.
Bedanya, menurut Bhima, pencetakan utang di era orde baru hingga Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih banyak berupa pinjaman bilateral hingga multilateral dengan tingkat bunga yang relatif lebih rendah.
Sedangkan yang dilakukan pemerintahan Jokowi cukup banyak melalui penerbitan surat utang (obligasi) dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, sekitar 8 persen untuk obligasi bertenor 10 tahun. Hal ini tak lepas dari kebutuhan pembiayaan yang meningkat seiring gencarnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur Jokowi.

Utang Pemerintah. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Kinerja Sri Mulyani
Terlepas dari sindiran Prabowo, Bhima menilai kinerja Sri Mulyani dalam mengelola APBN sekaligus utang masih jauh dari sempurna. Sri Mulyani dinilai belum cukup mampu menerbitkan surat utang dengan bunga yang menguntungkan pemerintah.
Tengoklah tingkat imbal hasil (yield) surat utang pemerintah saat ini yang berkisar 8 persen untuk tenor 10 tahun. Menurutnya, terlepas dari persaingan yield obligasi di pasar internasional, pemerintah seolah sulit mendapat bunga murah untuk membayar utang.
Hal ini tak lepas pula dari tingginya kebutuhan utang untuk pembangunan. "Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia," imbuhnya.
Sementara dari sisi penggunaan utang, catatan Bhima menunjukkan rasio utang terhadap pendapatan (debt to service ratio/DSR) Indonesia masih di atas 24 persen. Ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
DSR merupakan perbandingan antara utang dan penerimaan valuta asing (valas), misalnya dari ekspor. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa utang luar negeri yang ditarik pemerintah belum sejalan dengan perolehan pendapatan ekspor Indonesia.
Lebih lanjut, usai menerbitkan utang maka muncul pula bunga utang yang harus dibayar. Kenaikan utang pun membuat bunga utang yang harus dibayar kian besar. Pada APBN 2018 misalnya, pembayaran bunga utang mencapai Rp258,1 triliun atau 108,2 persen dari asumsi awal.
"Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," terangnya.
Penggunaan utang di era Sri Mulyani juga dinilai Bhima belum bisa mendongrak pertumbuhan ekonomi. Sejak Sri Mulyani menempati kembali menduduki kursi menteri keuangan, ekonomi Indonesia masih stagnan di kisaran 5,1 persen. Sementara pertumbuhan ekspor justru turun menjadi kisaran 6,65 persen pada tahun lalu.
Sementara dari sisi fiskal, penggunaan utang tak hanya digunakan untuk kegiatan produktif, seperti pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk pos belanja lainnya.
Ia mencontohkan belanja barang naik 80,9 persen, belanja pegawai naik 40,5 persen, dan belanja modal yang terkait infrastruktur naik 31,4 persen. Untuk itu, menurutnya, memang Sri Mulyani harus melihat lagi realisasi penggunaan dari setiap rupiah utang yang ditarik pemerintah.
Senada, Fithra melihat penarikan utang di era pemerintahan saat ini memang lebih masif. Tengoklah porsi utang luar negeri pemerintah yang hampir mencapai 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal di era SBY masih sekitar 24 persen.

Rasio utang pemerintah. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Padahal, dampak dari penggunaan utang ke perekonomian tidak setinggi era sebelumnya. Hal ini tercermin dari perekonomian yang masih betah tumbuh di kisaran 5 persen. "Meski alokasi penggunaannya cukup berbeda. Kalau di era SBY lebih banyak untuk subsidi, sedangkan di era Jokowi coba digeser ke infrastruktur," tuturnya.
Di sisi lain, penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur tak hanya membebani negara, tetapi juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terutama BUMN karya.
"Itu lah kenapa kemarin sempat ada sorotan juga dari Bank Dunia soal infrastruktur yang jadi akar beban ke BUMN," jelasnya.
Kendati begitu, dari sisi penggunaan utang, Fithra menilai Sri Mulyani tak bisa disalahkan seorang diri. Toh, ia hanya bagian pengelola fiskal, bukan yang secara langsung menggunakan utang tersebut. Walhasil, ketidakmampuan utang menggerakkan ekonomi juga salah para menteri teknis.
"Karena Sri Mulyani di fiskal, seolah-olah masalah utang hanya salah dia, padahal coba lihat bagaimana kementerian teknis. Saya menduga ini tak lepas dari kementerian teknis yang didominasi para politis," jelasnya.
Berbeda, Piter melihat kinerja Sri Mulyani sudah cukup baik. Sebab, sebagai bendahara negara, setidaknya ia mampu membuat defisit APBN hanya sekitar 1,7 persen dari PDB. Begitu pula dengan keseimbangan primer yang hanya sekitar Rp1,8 triliun. Tak ketinggalan, penerimaan belanja yang melampaui target hingga Rp1.936 triliun dan belanja negara yang terakselerasi hingga Rp2.202,2 triliun.
"Ini artinya pertambahan utang dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemerintah juga tidak pernah kelabakan yang tidak bisa membayar cicilan pokok dan bunga," ungkapnya.

Ilustrasi utang pemerintah. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Bakal 'Menteri Pencetak Utang' Selanjutnya
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai setidaknya ada beberapa kandidat yang cocok menggantikan menteri keuangan terbaik di dunia versi majalah The Banker itu.
Pertama, Chatib Basri. Menurutnya, menteri keuangan era SBY itu merupakan kandidat paling mumpuni untuk menggantikan Sri Mulyani saat ini karena dianggap cukup netral untuk mengelola sektor fiskal negeri ini.
Chatib dianggapnya tidak memiliki afiliasi politik khusus pada masing-masing calon presiden dan wakil presiden, sehingga ketika terpilih nanti diharapkan Chatib bisa benar-benar profesional dan netral dalam mengelola APBN. Selain itu, dari sisi popularitas, ia menilai Chatib cukup 'terkenal', sehingga bisa diterima oleh banyak kalangan.
"Chatib ini seperti Sri Mulyani sebenarnya. Cukup netral, memiliki pengalaman sebagai menteri keuangan, bisa berkoordinasi dengan sektor moneter, dan tentunya bisa menjalin hubungan internasional dengan baik," ucapnya.
Kedua, Ari Kuncoro. Dari latar belakang pendidikan, Fithra menilai Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) itu tak perlu diragukan.
"Dari sisi kapasitas, sudah cukup kaya. Tinggal tantangannya, beliau mungkin belum cukup terkenal, sehingga mungkin nanti ada kendala di pasar," jelasnya.
Ketiga, Faisal Basri. Baginya, sesama alumni 'jaket kuning' ini tentu tak perlu diragukan lagi kapasitasnya. Apalagi, Faisal cukup dikenal sebagai ekonom yang kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Menurutnya, dari sisi pasar, mungkin Faisal sudah cukup dikenal. Namun, ia masih sedikit meragukan penerimaan pasar terhadap sosok Faisal Basri. "Tapi mungkin kalau pun tidak jadi menteri keuangan, Faisal sangat bisa diandalkan sebagai menteri perindustrian ke depannya," tuturnya.
Keempat, Drajad Wibowo. Ekonom yang sudah cukup lama terjun ke bidang politik dan kini menjadi salah satu ekonom di kubu Prabowo-Sandiaga ini dinilai juga cukup mampu menggantikan Sri Mulyani. "Tapi kembali lagi, bagaimana penerimaan pasar," imbuhnya.
Sementara nama-nama lain, seperti Rizal Ramli hingga Fuad Bawazier yang belakangan cukup vokal melempar kritik ke pemerintah dinilainya kurang cocok kembali menempati kursi menteri keuangan.
"Saya rasa tidak cocok karena cenderung soliter, dan mungkin tidak diterima pasar. Mungkin karena cenderung suka bekerja sendiri," kata dia.
Di sisi lain, Fithra menilai kans Sri Mulyani sendiri untuk kembali memimpin sektor fiskal dalam negeri sudah cukup. Maklum saja, Sri Mulyani sudah menempati jabatan ini sejak era SBY.
"Kalau pun menjadi menteri, mungkin seharusnya naik menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, atau mungkin ke Bank Dunia, menjadi pengganti Jim Yong Kim (presiden Bank Dunia yang mengundurkan diri beberapa waktu lalu)," jelasnya.
Berbeda, Piter melihat kapasitas beberapa ekonom di Tanah Air memang cukup baik. Namun, menurutnya belum ada sosok yang tepat untuk menggantikan Sri Mulyani saat ini. Apalagi, kinerja mantan direktur pelaksana Bank Dunia dalam beberapa terkait dinilai cukup memuaskan.
"Sangat banyak ekonom yang pantas, baik dari kubu pasangan calon nomor urut 01 dan 02, tapi saya kira di antara semua yang pantas itu, Sri Mulyani adalah yang paling baik," pungkasnya. (agi)
Sumber


tien212700 memberi reputasi
1
2.1K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan