

TS
stereobrain
Lima Yang Akan Selalu Terulang
Spoiler for Header:


Quote:
Kalian bertemu di sebuah kelas umum yang kebetulan kalian ambil karena wajib bagi program studi kalian.
Kau merasa bahwa dia berbeda dari teman-temannya. Senyumnya, gerak-geriknya, kebiasaan kecil yang ia lakukan ketika sedang bosan, semuanya terlihat begitu bersinar. Setelah berakhirnya cinta di masa lalu mungkin kau merasa ini saatnya untuk melangkah lagi. Kau mendekatinya.
Awalnya hanya bertukar jawaban dan pikiran tentang kelas hari itu, kemudian kau berani mendatangi kosnya untuk mengajaknya makan malam. Dari sana kau berangkat menuju kebahagiaan yang selama ini tak pernah kau rasakan. Kau merasa nyaman, lagu-lagu yang sebelumnya kau anggap cheesy tiba-tiba masuk akal, kau sengaja menyangkalhal tersebut dan membelokkan dirimu agar lebih seperti dirinya. Bagimu dunia ini begitu menyenangkan. Kalian mendengarkan musik yang sama, mencoba menyukai olahraga yang sama, membaca buku yang sama.
Kemudan datang semester berikutnya, kalian tak lagi berada dalam kelas yang sama. Namun, meski demikian, kau tetap mencoba berkomunikasi, toh masih banyak hal di dunia ini yang patut dibicarakan. Meskipun kalian tidak lagi bertukar pikiran tentang masalah kelas, kalian tetap menjalin hubungan baik. Kau mengikat kepastian dengan cara membawanya pada makan malam yang berakhir dengan sebutan pacar. Kalian berbahagia, sebuah titel baru berada di tangan kalian masing-masing, kepercayaan yang seakan dipastikan oleh waktu.
Lambat laun, kalian semakin jarang bertemu. Ketika kau menanyakan makan malam di mana, dia mengatakan bersama teman-temannya di restoran mahal yang tak pernah bisa kau gapai menunya. Dengan siapa? Teman yang mana? Pemikiran-pemikiran asing itu merangsek memasuki benakmu. Sebuah api mulai menyala kecil di hatimu. Cemburu. Kau menanyakan kegelisahanmu itu, dan dia berkata ditraktir teman sekelasnya, seorang pemanah yang kemarin ikut kejuaraan universitas. Kau merasa ini adalah persaingan, bukan lagi jalan yang mudah. Kau adalah pemain yang berusaha mempertahankan posisi nomor satu. Salah sedikit dan kau akan jatuh. Cemburu itu aneh, seperti amarah namun lebih menusuk.
Lalu sedikit demi sedikit kau merasa kelelahan. Dia lebih sering tertawa bersama teman-temannya dibanding bersamamu, entah itu hanya benakmu yang jahat atau memang demikian kenyataannya. Kau mulai lupa perasaan yang kau rasakan pada waktu bersama di kelas umum itu, gerak-geriknya kini tidak lagi menarik suka, namun menarik intrik. Kau ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya, dan apakah dirimu masih ada di sana. Andai kau bisa membaca pikiran, pasti dirimu akan bisa tidur tenang. Kalian mulai menjauh, dia merasakan energi tak baik namun dia tidak kuasa mengatakannya.
Keadaan ini membuatmu merasa tidak nyaman, kau tidak ingin kehilangan lagi. Segala cara kau lakukan untuk mendapatkan ketertarikannya lagi. Perjalanan ke gunung, pantai, desa, kota, taman, pulau, naik mobil, naik motor, pesawat, kereta, semuanya terasa menyenangkan namun tidak tercetak. Ironisnya, foto-foto dirinya banyak berserakan baik di memori handphonemu atau di percetakan sehabis photobooth. Ada kemesraan di sana, di setiap gambar tanganmu dan tangannya yang saling menyilang, namun semua begitu sesaat. Seakan-akan ini semua hanyalah caramu menawar waktu sebelum matanya kembali beralih pada orang lain, atau itu hanya ada di pikiranmu saja.
Kemarin, waktu di perpustakaan, kau melihat seseorang dengan kacamata yang membuat wajahnya nampak begitu imut. Matanya yang menyilangi buku di hadapannya membuatnya terlihat begitu hidup dan segar. Kau yakin dia sudah bermalam-malam menghadapi buku Kimia Organik itu, namun tidak sedikitpun kau melihat kelelahan di air mukanya. Tetapi perasaan kagum itu kau simpan. Malam itu dia bicara tentang teman sekelasnya dan bagaimana ia telah memenangkan kejuaraan, membawa nama universitas kalian melambung. Kau merasakan api itu semakin besar, terlebih ketika kau tahu kabar bahwa orang itu telah mengundang orang-orang tertentu untuk selebrasi malam minggu nanti, akan ada kejutan bagi seseorang. Kalahkah dirimu dalam permainan ini? Inikah akhirnya? Kau tidak tahu, namun kau mengambil langkah yang salah, tak kau izinkan dirinya datang. Ia marah, ngambek, dan memutuskan untuk tetap datang ke selebrasi itu.
Mengetahui hal itu kau marah, namun kau sudah pintar mengelabui dirimu sendiri dan orang lain dengan menyimpan amarah itu. Feed instastory miliknya penuh foto-foto gelap yang diterangi lilin di kue; balon-balon; dan bunga, banyak sekali bunga. Dia merayakan sesuatu yang kau bukan bagian di dalamnya. Katanya ini hanya untuk "teman terbaik" orang itu, tapi kau pernah bersalaman dengan orang itu, kenapa kau tidak diundang juga? Ribuan pertanyaan mengenai apa yang terjadi malam itu merubungi akal sehatmu. Ketika kau tanyakan hal ini, dia tersinggung, dan kalian yang tadinya jauh, semakin menjauh. Hingga akhirnya terputuslah benang yang kian hari makin tipis itu. Seketika, belum seminggu, dia sudah menaruh nama pemanah itu di profilnya. Kau mafhum, tak ada lagi gunanya marah, hanya tersisa bagian sedih dari cemburu, ini wajar. Semua orang mengalaminya. Semua orang mengetahui rasanya bagaimana.
Kau tidak begitu memikirkannya, kau dan kacamata tadi lebih sering duduk berdua di perpustakaan sekarang, kebetulan kalian mengambil kelas Kimia Organik.
Kau menerima kenyataan bahwa ia lebih bahagia bersama orang lain, toh kau juga lebih bahagia dengan orang lain, kan?
Kau merasa bahwa dia berbeda dari teman-temannya. Senyumnya, gerak-geriknya, kebiasaan kecil yang ia lakukan ketika sedang bosan, semuanya terlihat begitu bersinar. Setelah berakhirnya cinta di masa lalu mungkin kau merasa ini saatnya untuk melangkah lagi. Kau mendekatinya.
Awalnya hanya bertukar jawaban dan pikiran tentang kelas hari itu, kemudian kau berani mendatangi kosnya untuk mengajaknya makan malam. Dari sana kau berangkat menuju kebahagiaan yang selama ini tak pernah kau rasakan. Kau merasa nyaman, lagu-lagu yang sebelumnya kau anggap cheesy tiba-tiba masuk akal, kau sengaja menyangkalhal tersebut dan membelokkan dirimu agar lebih seperti dirinya. Bagimu dunia ini begitu menyenangkan. Kalian mendengarkan musik yang sama, mencoba menyukai olahraga yang sama, membaca buku yang sama.
Kemudan datang semester berikutnya, kalian tak lagi berada dalam kelas yang sama. Namun, meski demikian, kau tetap mencoba berkomunikasi, toh masih banyak hal di dunia ini yang patut dibicarakan. Meskipun kalian tidak lagi bertukar pikiran tentang masalah kelas, kalian tetap menjalin hubungan baik. Kau mengikat kepastian dengan cara membawanya pada makan malam yang berakhir dengan sebutan pacar. Kalian berbahagia, sebuah titel baru berada di tangan kalian masing-masing, kepercayaan yang seakan dipastikan oleh waktu.
Lambat laun, kalian semakin jarang bertemu. Ketika kau menanyakan makan malam di mana, dia mengatakan bersama teman-temannya di restoran mahal yang tak pernah bisa kau gapai menunya. Dengan siapa? Teman yang mana? Pemikiran-pemikiran asing itu merangsek memasuki benakmu. Sebuah api mulai menyala kecil di hatimu. Cemburu. Kau menanyakan kegelisahanmu itu, dan dia berkata ditraktir teman sekelasnya, seorang pemanah yang kemarin ikut kejuaraan universitas. Kau merasa ini adalah persaingan, bukan lagi jalan yang mudah. Kau adalah pemain yang berusaha mempertahankan posisi nomor satu. Salah sedikit dan kau akan jatuh. Cemburu itu aneh, seperti amarah namun lebih menusuk.
Lalu sedikit demi sedikit kau merasa kelelahan. Dia lebih sering tertawa bersama teman-temannya dibanding bersamamu, entah itu hanya benakmu yang jahat atau memang demikian kenyataannya. Kau mulai lupa perasaan yang kau rasakan pada waktu bersama di kelas umum itu, gerak-geriknya kini tidak lagi menarik suka, namun menarik intrik. Kau ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya, dan apakah dirimu masih ada di sana. Andai kau bisa membaca pikiran, pasti dirimu akan bisa tidur tenang. Kalian mulai menjauh, dia merasakan energi tak baik namun dia tidak kuasa mengatakannya.
Keadaan ini membuatmu merasa tidak nyaman, kau tidak ingin kehilangan lagi. Segala cara kau lakukan untuk mendapatkan ketertarikannya lagi. Perjalanan ke gunung, pantai, desa, kota, taman, pulau, naik mobil, naik motor, pesawat, kereta, semuanya terasa menyenangkan namun tidak tercetak. Ironisnya, foto-foto dirinya banyak berserakan baik di memori handphonemu atau di percetakan sehabis photobooth. Ada kemesraan di sana, di setiap gambar tanganmu dan tangannya yang saling menyilang, namun semua begitu sesaat. Seakan-akan ini semua hanyalah caramu menawar waktu sebelum matanya kembali beralih pada orang lain, atau itu hanya ada di pikiranmu saja.
Kemarin, waktu di perpustakaan, kau melihat seseorang dengan kacamata yang membuat wajahnya nampak begitu imut. Matanya yang menyilangi buku di hadapannya membuatnya terlihat begitu hidup dan segar. Kau yakin dia sudah bermalam-malam menghadapi buku Kimia Organik itu, namun tidak sedikitpun kau melihat kelelahan di air mukanya. Tetapi perasaan kagum itu kau simpan. Malam itu dia bicara tentang teman sekelasnya dan bagaimana ia telah memenangkan kejuaraan, membawa nama universitas kalian melambung. Kau merasakan api itu semakin besar, terlebih ketika kau tahu kabar bahwa orang itu telah mengundang orang-orang tertentu untuk selebrasi malam minggu nanti, akan ada kejutan bagi seseorang. Kalahkah dirimu dalam permainan ini? Inikah akhirnya? Kau tidak tahu, namun kau mengambil langkah yang salah, tak kau izinkan dirinya datang. Ia marah, ngambek, dan memutuskan untuk tetap datang ke selebrasi itu.
Mengetahui hal itu kau marah, namun kau sudah pintar mengelabui dirimu sendiri dan orang lain dengan menyimpan amarah itu. Feed instastory miliknya penuh foto-foto gelap yang diterangi lilin di kue; balon-balon; dan bunga, banyak sekali bunga. Dia merayakan sesuatu yang kau bukan bagian di dalamnya. Katanya ini hanya untuk "teman terbaik" orang itu, tapi kau pernah bersalaman dengan orang itu, kenapa kau tidak diundang juga? Ribuan pertanyaan mengenai apa yang terjadi malam itu merubungi akal sehatmu. Ketika kau tanyakan hal ini, dia tersinggung, dan kalian yang tadinya jauh, semakin menjauh. Hingga akhirnya terputuslah benang yang kian hari makin tipis itu. Seketika, belum seminggu, dia sudah menaruh nama pemanah itu di profilnya. Kau mafhum, tak ada lagi gunanya marah, hanya tersisa bagian sedih dari cemburu, ini wajar. Semua orang mengalaminya. Semua orang mengetahui rasanya bagaimana.
Kau tidak begitu memikirkannya, kau dan kacamata tadi lebih sering duduk berdua di perpustakaan sekarang, kebetulan kalian mengambil kelas Kimia Organik.
Kau menerima kenyataan bahwa ia lebih bahagia bersama orang lain, toh kau juga lebih bahagia dengan orang lain, kan?
Quote:
The Five Stages of Grief, atau lebih kerennya disebut model Kübler-Ross, adalah sebuah hipotesis mengenai lima tahapan yang dilakukan manusia sebagai cara menghadapi suatu keadaan kehilangan sesuatu. Karena tidak berbasis ilmiah, maka model ini lebih cocok digunakan dalam karya fiksi, namun tidak salahnya melihat model ini dalam kacamata kenyataan. Pada dasarnya, semua cerita mengenai kehilangan yang terjadi mengikuti model ini, dan semua pertemuan adalah kehilangan yang dijanjikan, maka hubungkan saja kedua titik itu.
Tahap pertama adalah denial, atau penyangkalan, ditandai dengan penolakan terhadap kenyataan; kedua adalah amarah, ditandai dengan meledaknya emosi, menyalahkan orang lain atau dunia terhadap kehilangan yang dialami; ketiga adalah tawar-menawar, seakan-akan nasib yang sudah terjadi bisa ditawar; keempat, depresi, di mana kesedihan menyelimuti, tidak ingin bertemu orang lain dan sebagainya; dan terakhir adalah menerima kenyataan.
Tetapi meskipun begitu, coba perhatikan, di hidup ini setelah menerima selalu akan ada penyangkalan, karena tidak mungkin suatu pertemuan tidak diakhiri perpisahan.
Lima ini, akan selalu terulang.
Tahap pertama adalah denial, atau penyangkalan, ditandai dengan penolakan terhadap kenyataan; kedua adalah amarah, ditandai dengan meledaknya emosi, menyalahkan orang lain atau dunia terhadap kehilangan yang dialami; ketiga adalah tawar-menawar, seakan-akan nasib yang sudah terjadi bisa ditawar; keempat, depresi, di mana kesedihan menyelimuti, tidak ingin bertemu orang lain dan sebagainya; dan terakhir adalah menerima kenyataan.
Tetapi meskipun begitu, coba perhatikan, di hidup ini setelah menerima selalu akan ada penyangkalan, karena tidak mungkin suatu pertemuan tidak diakhiri perpisahan.
Lima ini, akan selalu terulang.





tata604 dan tuhanparadewa memberi reputasi
10
6.7K
Kutip
56
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan