- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
cerpen "Air mata seorang prajurit" . fiksi


TS
good200
cerpen "Air mata seorang prajurit" . fiksi
AIR MATA SEORANG PRAJURIT
“Dor” penembakan terjadi dimana-mana. Aku berhasil diselamatkan orang tuaku. Namun, mereka mengorbankan nyawanya demi aku. Aku memandang ruangan pengap di bawah rumah. Hanya cukup untuk satu orang. Hanya ada beberapa makanan dan minuman. Tangisku tak kunjung berhenti. Hari itu tengah malam.
“Bunuh semua” perintah seorang jendral kepada bawahanya.
“Tanpa terkecuali”
Hatiku Cumiik.
“Seorang anak kecil berhasil kabur. Tak di ketahui dimana ia berada. Suasana berubah menjadi kacau balau. Teror ini tak berkesudahan. Hampir semua jerit dari berbagai arah menyerang mental seorang anak dibawah sudut kamar ibunya. Ia Cumiik keras tanpa ada suara. Di atasnya terbujur tubuh ayah dan ibunya darah masih segar mengalir pada lantai. Cukup deras hingga jatuh ke tempat persembunyianya. Ia hanya mampu mengeluarkan air mata tanpa ada suara. Dia limbung oleh suasana sekeliling desanya. Suara teriakan tangisan menghilang pergi bersama desingan peluru. Tak ada yang tahu mental anak itu mulai menjadi tak teratur.
Ia mencium aroma tak sedap. Keluar dari jasad kedua orang tuanya. Membuat hati semakin pengap. Di tambah bau alkohol yang semerbak menyeruak menghajar setiap hidung yang ditemuinya. Saat itu pukul 3 dini hari. Aku keluar dari tempat persembunyianku. Melihat kedua mayat orang tuaku membuatku menangis tak berdaya. Meski,ia tahu apa yang terjadi sejak tadi. Namun, entah mahluk apa yang membuatnya seketika mempunyai keberanian. ”Inginku basuh segala rasa sakit mereka” pikirnya. Melihat prajurit kelimpangan di setiap rumah menenggak minuman keras. Aku mengambil pisau dapur menusuk leher seorang prajurit. Belum sempat yang lain mengambil pistol, gesit tanganku merobek leher-leher jahanam ini dengan sekali serang. Aku berlari setelah mereka limbung tak bernyawa. Aku terengah-engah aku baru sadar memegang pisau berlumuran darah. Aku menjatuhkannya dan berlari kearah sungai. Mencari beberapa orang yang selamat. Tak kutemui seorang pun di perbatasan ini. Akhirnya aku kembali masuk kedalam hutan. Dimana aku dan teman-teman sering bermain. Ada satu gua dimana kita sering bermain petak umpet disini. Aku memasuki gua tersebut. Tak ada orang satupun. Aku masuk terduduk menatap langit-langit gua. Tangisku pecah. “kres” suara langkah kaki itu “kres” semakin mendekat kuambil sebongkah batu. Ketika ia masuk. Siap kuhantamkan kepalanya. Namun, tanganku seketika berhenti melihat jaka teman baikku berdiri, dengan luka disekujur tubuhnya. “jono kamu selamat” aku hanya mengangguk menahan keharuan yang mendalam. Ia limbung jatuh tak sadarkan diri.
“tenang disini saja aku akan pergi ke puskesmas mendapatkan sedikit obat” aku segera keluar tanpa melihatnya. Namun, terlihat prajurit berkeliaran setengah sadar. Melihat teman-temannya limbung tak bernyawa. Aku mencari apapun yang bisa digunakan menjaga diri. Namun, ternyata sebuah serbuan dari prajurit berbaju lain membuyarkan penjagaan mereka. Mereka kalang kabut. Peperangan sengit terjadi dalam sekejap mereka menyerah. Mereka semua ditangkap.
“hai” aku bersuara sekuat tenaga mereka mendatangiku. Mereka berbahasa asing entah apa yang mereka katakan. Aku membawanya pada jaka yang tertidur dengan tubuh penuh luka. Mereka segera membawa jaka menuju kapalnya. Aku mengikutinya namun, tak diperbolehkan.
“kamu berbahaya” satu orang tahu bahasa kami.
“kenapa?” tanyaku sambil menatap tubuh jaka yang hilang di masuk kedalam kapal.
“kau yang membunuh prajurit musuh” tanyanya
Aku hanya terdiam, darah masih menempel pada tanganku. kering. Dia melihat tanganku yang bergetar hebat.
“tak ada yang luka” dia bicara lagi
Dengan cepat aku mengambil pisau militernya. Menodongkan pada prajurit itu. Ia terperangah. Mengangkat kedua tanganya. “tenang nak” katanya lirih
Prajurit yang lain dengan cepat menodongkan moncong pistol kepadaku. “turunkan” perintahnya. Dengan hitungan detik mereka menurunkannya. Dia dengan cepat mengambil pisau dan mengamankanku. Ia melepaskanku senyum diwajahnya mengembang penuh arti.
“berapa umurmu nak?”
“10 tahun”
“apa kau yang membunuh sepuluh prajurit musuh?”
Aku hanya mengangguk. Tubuhku menggigil karena melihat dan menyadari apa yang telah kulakukan.
“kau ikutlah denganku” katanya lirih.
Aku kehilangan jejak kapalnya ia telah pergi meninggalkan beberapa riak ombak di tepian. Senja kelabu membasuh langit kala itu. Aku menatap tajam di peraduan ini. Tubuhku penuh dengan sayatan pisau. Kini tubuhku telah menjadi lebih besar berotot. Sepuluh tahun aku mengikuti pelatihan agen rahasia ini. Hampir setiap rival yang berhadapan denganku harus masuk kedalam tenda medis. Dan aku selalu di kurung selama dua hari. Namun, rahasia di balik jeruji itulah aku semakin menjadi kuat. Kontrol psikologiku tak teratur. Namun, hari ini aku berhasil.
“john” komandan memanggilku
“siap komandan”
“kau adalah agen terhebatku, sekarang saatnya kau masuk kedalam tumpukan jerami”
“siap komandan”
Aku siap menjadi kobaran api membakar semua prajurit jahannam itu. Aku akan diturunkan ke lapangan. Banyak sahabatku berguguran tak tertolong saat latihan. Namun, dendam yang kusimpan ini bagai bara yang selalu menyala. Aku siap papa. Aku siap mama. Mataku memerah membuat takut siapapun yang melihatnya.
“john”
“siap komandan”
“ingat jangan lepas kendali”
“siap komandan”
Sebenarnya dokter psikolog yang menanganiku telah aku ancam untuk membuat surat palsu agar aku diterjunkan ke lapangan. Dendamku terlalu berpengaruh pada penyamaranku. Namun, aku telah siap.
Aku mengambil beberapa perlengkapan pakaian musuh. Aku di tembak dikaki. Tanganku disayat pisau. Alibi penyamaran. Aku dibuang. Merangkak menuju desa yang disinyalir adalah markas musuh. Kakiku terasa nyeri. Beberapa orang menemukanku. Membawaku ke dalam tenda perawatan. “aku menemukannya diperbatasan dengan militer pembela etnis”
“batalion berapa kamu?” tanya seseorang menanyaiku
“batalion 7 divisi elang merumput” untung saja informasi dari anggota yang masuk sini benar.
“anggota yang lain?”
“mereka tak selamat pak, hanya saya yang kembali dengan selamat”
“apa mereka membiarkanmu hidup”
Sial kondisi yang tak menguntungkan untukku
“iya pak mereka memberi peringatan agar kita mundur dari medan”
“sombong sekali militer-militer itu”
Untung saja ia percaya, kalau tidak mungkin terbongkar semua penyamaranku.
“kita serang pangkalan pasukan pembela”
Wajahnya merah padam, kumisnya agak bergoyang-goyang. Layaknya rerumputan terkena angin. Mereka pun undur diri meninggalkanku beristirahat.
***
Tak ada lagi jono yang bermanja di pelukan ibu, tak ada lagi canda tawanya bersama sang ayah. Yang ada hanya John yang penuh duka bersama gundukan dendam yang siap membuncah.
“bunglon 4 melapor”
“diterima. Laporkan!”
“mereka siap menyerang markas kita. Mereka masih mengumpulkan prajurit”
“laporan diterima. Jangan sampai ada kontak senjata, sampai ada perintah”
“siap!”
Laporan selesai. Aku hanrus segera menyelidiki dalang dibalik pembunuhan semua orang desaku. Dendam ini tak akan pernah selesai sampai aku membunuhnya perlahan. Disini aku bertemu dengan tiga teman Bunglon-ku. Aku kurang mengenal mereka.
“selamat datang letnan coloneljack”
Senyum merekah pada wajahnya jack. Ia adalah pemimpin pasukan garis depan.
“lapor komandan. Siap menjalankan tugas”
“ingatkah kau tentang sesuatu yang aku bicarakan padamu”
“tentang sahabatku?”
“iya aku selalu membicarakannya denganmu”
Dia terdiam. Air matanya meleleh sesaat ia keluar dari ruang komandan.
“bunglon 2 melapor”
“diterima. Laporkan!”
“ada beberapa penyusup di markas. Kami akan segera kirim daftarnya”
“siap. Segera kirim”
Data tentang penyusupan beredar luas di telinga atasan. Dengan datar sang komandan menjawab segala masalah itu menenangkan mereka semua.
“data belum terkirim sepenuhnya”
Tak ada jawaban dari seberang sana. Hanya suara bisu.
“matikan komunikasi kita. Sepertinya mereka ketahuan”
Perintah komandan. Ia memberi intrusi penyiapan pasukan. Jack dengan sigap undur diri.
Di seberang danau dekat markas musuh. dua mayat tergeletak dengan luka sayat di leher. John, dia berlari menyelamatkan diri. Mencari sesuatu yang mengganjal hatinya.
“ bunglon 4 ini bunglon 1 kau dimana?”
“aku berada dipersembunyianku”
“dimana itu?”
“kemana bunglon 2 dan 3?” tanyaku
“mereka diserang saat melaporkan data penyusup”
“apa?”
Aku menghubungi markas. Tak ada jawaban. Tak ada kode untuk kita.
“bunglon 1 apa ada tugas untuk kita”
“ada. Namun, kita harus bertemu”
Kami bertemu dibelakang gudang senjata mereka. Para prajurit jahanam itu.
“bakar gudang senjata lalu segera masuk bunker pertahanan ketua”
Kami membakarnya dan segera meninggalkan tempat itu. Serangan dari komandan pun membuat gebrakan dan suatu ancaman yang dasyat. Peperangan hebat terjadi.
Kami pun bertemu ditempat dimana tak ada seorang pun yang tahu. Kecuali ketua musuh yang berada disini nantinya. Ini bunker perlindungan.
“ kau nanti masuklah. Aku adalah prajurit penjaga ketua”
“siap”
Semua rencana berjalan dengan lancar. Ketua memasuki bunker. Hanya dua orang kepercayaan yang menjaganya masuk kedalam bunker. Dan empat lainnya baru saja berjaga di depan. Aku melihat hanya ada satu jendela disini. Terlihat laut dibawah. Namun.
“dor”
Ketika pintu bunker tertutup. Penjaga menembak salah seorang temannya.
“kamu sudah gila?”
“hai, ketua. Kau tidak tahu aku”
“Yogi?”
“kenapa kau lakukan ini. Kau adalah prajurit terbaikku”
“kau John, bukankah kau ingin menanyakan sesuatu?”
Aku keluar dari tempat persembunyian, memainkan pedang militerku. Aku tersenyum bengis. Mataku menyala.
“siapa dalang di balik kejadian yang membunuh semua orang desaku?”
“kau dari etnis terlarang?”
“dia adalah salah satu dari anak yang selamat” jawab Yogi
“jawab, atau perlu pisau ini yang berbicara?”
“Dasar ular berbisa. Kau tak layak hidup didunia”
Aku mengarahkan pisauku menggores wajahnya. Darah mengalir membasahi tempat ia berdiri. Teriakan keras mengaung didalam bunker
“Cukup, john. Kita harus bersabar sampai komandan datang”
Aku menghajarnya dengan tendangan. Membuatnya jatuh tertelungkup.
“Duar” pintu bunker terbuka
“Angkat tangan kalian!”
Kamipun mengangkat tangan. Hanya aku merasa familiar dengan wajahnya. Komandan bersama dengan jaka?
“Jaka?”
“Berhentilah kau jono”
“Hei, ada apa?”
“Kau telah mengkhianati kami”
Bagaimana bisa ia berkata demikian dan komandan kenapa ia diam saja. Ketua musuh mengangkat wajahnya.
“Bagaimana kau masih hidup?”
“kau masih mengenalku?”
Ia membuat intruksi membunuh. Musuh. Aku menodongkan pistol pada ketua. Jaka menodongkan pistol padaku. Dan jaka ditodong oleh yoga. Ia menggerakkan tangannya.
Yoga menembak tangan kami hingga aku dan jaka tak bisa memegang pistol itu lagi.
“komandan apa ini? Jelaskan padaku”
“anak-anak kaum ular. Apa kau tak sadar telah ku manfaatkan”
“apa?”
“jadi komandan berbohong padaku? Tentang jono. Tentang agen ini”
“asal kau tahu aku adalah dalang di balik pembantaian etnismu”
“namun, aku tahu saudaraku ini yang mencoba menyingkirkan aku dari militer ini juga membenci kalian”
“maka aku kirim pasukan hebatku untuk masuk ke dalam kelompok militer ini dan membuat mereka dengan suka rela membabat habis kalian”
“namun, karena kulihat kalian punya kemampuan maka akhirnya aku melatih kalian untuk merebut kursi militer ini lagi”
“apa maksudnya ini?”
“kau tak sadar kenapa hanya aku yang paham bahasa kalian?”
“karena aku berasal dari militer ini”
Sial, dadaku sakit dan sesak. Haruskah berakhir seperti ini?. Haruskah aku meledakkannya?
Maaf jaka. Aku harus mengorbankanmu untuk hal ini. Satu jendela itu. Aku meledakkanya. Dibalik jendela itu adalah air yang cukup besar untuk menerobos masuk kesini. Arus besar itu mendorong mereka semua keluar dari bunker. Aku baru sadar tempat bunker ini didalam danau yang tak jauh dari sini. Kami terdorong keluar dengan tangan terluka aku ambil pisau militer itu menyabet leher yoga, lalu aku potong pergelangan kaki ketua. Aku melihat komandan tersedak oleh air itu. Aku mendekatinya, memukulnya berkali-kali hingga darah keluar dari hidungya aku memukulnya tanpa ampun. Jaka menghentikan aku.
“cukup jon”
“kau membela dia yang membunuh semua etnis kita?”
“sudahlah, ia sudah mati”
“dasar jahanam” aku berteriak pada komandan
Hatiku pilu seorang yang menolongku ternyata dalang dibalik kematian orang tuaku. Dalang dibalik pembunuhan itu. Hatiku pilu disisi lain aku bahagia aku berhasil membunuhnya. Balas dendam. Aku tak tahu harus tertawa atau sedih. Jaka memelukku.
“Terima kasih telah membalas dia. jahanam itu. Aku tak sanggup membunuhnya karena dia telah menolongku”
Hatiku kebas tak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang keluar dari kedua mata ini. Bara dendam telah padam berganti kesedihan.
the end
karya: MasSae.


anasabila memberi reputasi
1
527
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan