Terdengar langkah kaki yang kian mendekat menuju atap, aku segera menghapus beberapa tetes air mataku yang menggelincir jatuh.

“Ton, ayuk turun” katanya sambil tersenyum

“Bentar Wil, aku masih ingin memandang langit” kataku

“Aku sahabatmu Ton, aku tau kau akan selalu ada di atap setiap patah hati”

“Haha, begitulah Wil, tempat ini selalu membuatku nyaman”

“Selalu nyaman, apalagi saat almarhum ayahmu selalu menceritakan garis bintang”

“Iya meskipun sekarang dia telah bahagia disana” kataku

“Ayuklah, masak karena Ratna kamu begini”

“Yah, begitulah kawan. Dia selalu memberiku harapan, dia sempurna”
Kataku tersenyum mengenangnya, kemudian muka sedihku terlihat karena ingat dia lebih memilih laki-laki itu.

“Ayolah, bagi seorang yang sedang jatuh cinta, taiKucing pun rasa coklat”

“Mungkin dia yang terakhir aku cintai dan harapkan” kataku menunduk pilu, Air mataku tak dapat lagi ku tahan, untung saja semesta mendukungku dengan menghadirkan rintik hujan yang kian lama kian deras. Menutupi air mataku yang mengalir.

 “Ikhlaskan semua dan bangkitlah”
Aku hanya mampu mengangguk pelan tanpa suara mulutku terkunci rapat tanpa bisa berkata-kata.

“Hujan akan semakin deras, bisakah kita turun sekarang?”

“Turunlah dulu Wil, aku butuh waktu untuk sendiri”
Dia tidak setuju dengan apa yang aku katakana, dia menggelengkan kepala.

“Ayo turun sekarang!” dia memaksa.

“Turunlah dulu!” suaraku meninggi dan garang dia akhirnya mengalah untuk turun duluan. Aku memikirkanya, memikirkan wanita sialan dan munafiq yang menghancurkan semangatku, wanita yang meluluh lantahkan segalanya, rasa kecewa, marah, sedih, sakit, gundah semua bercampur menjadi satu bingkai yang membuat mengalirkan air mataku dengan deras bersamaan dengan turunya hujan. Hingga bisikan setan yang memaksa untuk melompat dari tempat ternyamanku saat itu.