- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ironi Robert Tantular, Dicekal KPK, Dibebaskan Bersyarat oleh Kemenkumham


TS
the.commandos
Ironi Robert Tantular, Dicekal KPK, Dibebaskan Bersyarat oleh Kemenkumham
Mantan Direktur Utama Bank Century Robert Tantular mendapat remisi 74 bulan 110 hari atau sekitar 77 bulan dan bebas bersyarat. Hal tersebut menjadi sorotan publik karena dirasa mengusik rasa keadilan.
Baca juga : KPK Panggil 8 Saksi Kasus Suap DAK Pendidikan Kabupaten Cianjur
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Ade Kusmanto mengatakan, remisi tersebut diajukan oleh Lapas Cipinang sesuai usulan nomor W10.Pas.01.05.06-540 tertanggal 5 Mei 2017.
Ade menyebut, pembebasan bersyarat Robert semestinya dimulai pada 18 Mei 2018. Namun hal itu ditunda karena dia harus menjalani pidana kurungan pengganti denda selama 17 bulan sejak 18 Mei hingga 10 Oktober 2018.
Baca juga : KPK Panggil 7 Saksi Kasus Suap Proyek SPAM di Kementerian PUPR
Selain itu, Robert juga menjalani subsider kurungan 14 bulan karena tidak membayar denda pada perkara pertamanya sebesar Rp100 miliar dan perkara keduanya sebesar Rp 10 miliar, terhitung mulai 18 Mei 2017 sampai dengan 12 Juli 2018. Robert kemudian membayar denda perkara keempatnya senilai Rp 2,5 miliar pada Juli 2018 hingga tidak harus menjalani subsider kurungan 3 bulan.
"Akumulasi perolehan remisinya 74 bulan, 110 hari. Itu setelah yang bersangkutan menjalani sekitar 10 tahun dari total 21 tahun hukuman penjaranya," kata Ade Kusmanto kepada Law-justice.co, pekan lalu.
Baca juga : IPW Nilai Debat Capres Tak Esensial Paparkan Pembenahan Hukum
Sebelumnya, Robert merupakan tersangka kasus penggelapan dana nasabah Bank Century dan Antaboga. Ia adalah pemegang saham pengendali di Bank Century yang ditangkap dan ditahan polisi pada 26 November 2008.
Atas perbuatannya, Robert divonis 21 tahun penjara dalam 4 kasus yaitu vonis 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider 8 bulan kurungan dalam kasus perbankan. Kemudian dia mendapat vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam kasus perbankan yang kedua. Berikutnya, dia juga divonis bersalah dalam 2 kasus pencucian uang, yakni masing-masing 1 tahun dan 1 tahun serta denda Rp 2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada Robert, kata Ade, sudah dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Ada sejumlah syarat bagi narapidana yang berhak mendapat pembebasan bersyarat dan remisi.
Ade menyebut dasar dari pemberian keistimewaan itu yakni pasal 15 dan 16 KUHP, UU nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PP No 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan WBP, PP nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP, sebagaimana telah diubah dengan PP nomor 28 tahun 2006 dan diubah kembali dengan PP nomor 99 Tahun 2012, Permenkumham RI nomor 21 Tahun 2013 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat sebagaimana telah diubah dengan Permenkumham RI nomor 21 Tahun 2016 dan diubah kembali dengan Permenkumham RI nomor 3 Tahun 2018.
Secara sederhananya, kriteria narapidana mendapatkan bebas bersyarat yakni telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, berkelakuan baik selama menjalani pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
“Robert Tantular telah menjalani 2/3 masa pidana dikurangi remisi yang dia dapat. Tetapi dia tidak bebas murni, dia memiliki kewajiban wajib lapor, diawasi Kejaksaan dan Bapas, dan tidak boleh meninggalkan Indonesia. Apabila dalam masa bimbingannya melakukan pelanggaran baik itu sifatnya tata tertib maka bisa dicabut dan dimasukan ke dalam Lapas untuk menjalani sisa hukuman yang harus dijalani,” ujarnya.
Sedangkan proses pemberian remisi, kata Ade, bukan diajukan oleh narapidana. Remisi merupakan hak dari warga binaan yang secara otomatis diberikan kepada seluruh narapidana yang memenuhi persyaratan yang ada. “Jadi secara otomatis remisi itu diusulkan oleh pihak Lapas, bukan pribadi narapidana,” tegasnya.
Adapun penentuan besaran remisi hingga mencapai 74 bulan, 110 hari yang diperoleh Robert merupakan akumulasi dari remisi yang didapat setiap tahunnya. Akumulasi itu terdiri dari beberapa item seperti remisi HUT Kemerdekaan RI, remisi Natal, remisi sebagai pemuka agama di Lapas, dan remisi kemanusiaan.
Masing-masing item tersebut memiliki jenjang besaran remisi bertingkat sesuai beriringnya waktu. Misalnya saat menjalani pidana penjara satu tahun atau 12 bulan, maka remisi HUT Kemerdekaan RI cuma dapat 1 bulan. Bagitu masuk tahun ke dua atau 24 bulan penjara, maka besaran remisinya meningkat sampai 2-3 bulan.
Begitu pula dengan remisi keagamaan. Pada tahun pertama menjalani massa penjara, maka narapidana hanya dapat memperoleh remisi keagamaan di bawah 15 hari. Begitu masuk tahun kedua, maka remisi akan meningkat lebih banyak lagi.
“Namun ada batasan remisi. Maksimal remisi HUT Kemerdekaan RI itu adalah 6 bulan. Jadi kalau misalkan pidananya 21 tahun, tahun ke-5 itu bisa dapat remisi 6 bulan tiap tahun. Tidak bisa lebih dari 7 bulan,” kata Ade.
Selain itu, dalam pemberian remisi juga terdapat penilaian mengenai perilaku baik seorang narapidana. Kriteria berperilaku baik itu antara lain seperti narapidana tidak pernah melangggar tata tertib Lapas saat 9 bulan menjelang bebas bersyarat, tidak berbuat onar, tidak membuat kegaduhan, dan tidak membuat gangguan keamanan ketertiban. Kemudian narapidana juga taat dan patuh mengikuti semua program yang diberikan oleh Lapas.
“Robert Tantular terbukti aktif sebagai pemuka agama di gereja dalam Lapas. Selain itu, ia juga aktif mendonorkan darahnya sehingga mendapatkan remisi kemanusiaan,” kata Ade.
Ade menambahkan, Robert Tantular dijerat dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Oleh sebab itu, pemberian remisi Robert tidak masuk dalam PP nomor 99 Tahun 2012, yang mengatur pidana khusus seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran berat HAM.
“Yang bersangkutan bukan narapidana korupsi, akan tetapi tergolong pidana perbankan. Jadi pidana Robert Tantular tidak masuk dalam ketentuan PP 99/2012 karena dia didakwa dan tiputus dengan UU Perbankan. Adapun pada kasus pencucian uang, itu masuk dalam penipuan nasabah,” imbuhnya.
Pembebasan bersayarat Robert berlaku sampai dengan 11 Juli 2024. Selama pembebasan bersyarat, Robert diawasi oleh Kejaksaan Negeri Bekasi dan dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan Bogor.
KPK Menilai Pemberian Remisi Longgar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemberian bebas bersyarat dan remisi sebanyak 74 bulan 110 hari kepada Robert terlalu longgar. Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif menyatakan kepada media bahwa seharusnya pemberian remisi dan bebas bersyarat, harus dipertimbangkan dengan ketat bagi narapidana-narapidana dengan kejahatan khusus, meski diatur undang-undang.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan bahwa KPK telah melakukan upaya pengawasan terhadap Robert Tantular. Pengawasan tersebut berupa pencegahan untuk bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan sejak pertengahan Desember tahun lalu. Pencegahan ini guna mendukung penyelidikan dalam pengembangan kasus bailout Bank Century.
Menurut Febri, pada dasarnya pencegahan ke luar negeri terhadap seseorang bisa dilakukan di tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK, kata Febri, masih terus meminta keterangan dari berbagai pihak dalam pengembangan kasusnya.
Selain itu, KPK juga melakukan penyelidikan terkait pemberian keistimewaan kepada Robert berupa bebas bersyarat dan remisi. Ada sebanyak 40 orang telah dimintai keterangan terkait hal tersebut.
"KPK masih membutuhkan keterangan sejumlah pihak untuk proses penyelidikan. Tentu dalam proses penyelidikan kami tidak bisa menyampaikan secara lebih rinci. Tapi antara lain ada unsur Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan mantam pejabat di BI," kata dia.
Febri menekankan, KPK juga harus hati-hati dalam penyelidikan baru kasus ini. Ia mengaku membatasi diri dalam memberi keterangan soal perkembangan substansi penyelidikan. Sejauh ini, KPK baru menjerat Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang 4 Kebijakan Pengelolaan Moneter dan Devisa. Budi Mulya divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.
Jika dihitung lebih rinci lagi, Robert sama halnya mendapat potongan masa tahanan selama 6 tahun 4 bulan. Dengan masa hukuman 10 tahun dan mendapat remisi 77 bulan, itu artinya Robert setiap tahunnya mendapatkan remisi 7 bulan. Dari 12 bulan selama satu tahun, dia cuma menjalani hukuman 5 bulan.
Kriteria Bebas Bersyarat Harus Diatur Ulang
Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan menjelaskan aturan mengenai kriteria bebas bersyarat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) huruf k. Bebasnya narapidana berlaku setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Sedangkan ketentuan pemberian remisi atau pengurangan masa menjalani pidana diatur dalam beberapa aturan negara. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi.
Dua hal itu, remisi dan bebas bersyarat, sepenuhnya merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam membuat dan menjalankan aturan yang ada. Salah satu poin utama dalam menentukannya adalah seberapa besar seorang narapidana memenuhi kriteria berkeprilakuan baik selama dalam tahanan.
“Masyarakat menilai bahwa remisi 74 bulan 110 hari itu dirasa tidak adil, tapi itu aturannya memang memungkinkan mendapat remisi seperti itu. Maksudnya gini lho, kenapa sih seorang narapidana mendapatkan remisi? Yang berhak mendapat remisi yakni narapidana yang berkelakuan baik. Pertanyaannya adalah apa kriteria seorang narapidana berkelakuan baik?” ujar Agustinus saat dihubungi Law-justice.co.
Kriteria berprilaku baik, kata dia, sering kali diartikan dengan tidak pernah berkelahi di dalam Lapas, bersikap sopan, patuh, mengikuti program pembinaan, dan lain-lain. Menurutnya, kriteria-kriteria tersebut sangat menguntungkan bagi mereka yang disebut narapidana berkerah putih (white collor Crime).
Menurutnya, narapidana berkerah putih tersebut seringkali memanfaatkan peraturan yang ada mengenai kriteria berprilaku baik. Sebab narapidana berkerah putih rata-rata memiliki latar belakang seperti kelas menengah atas, seorang intelektual, dan saleh. Berbeda dengan para narapidana jalanan (street criminal) yang memiliki perawakan garang, bertubuh kekar, galak, dan beringas.
Ia memberi contoh, misalnya pada kasus yang menjerat Artalyta Suryani alias Ayin, seorang pengusaha yang terlibat penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam kasus tersebut, Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS.
Setelah menjalani 2/3 dari total hukuman penjara, Artalyta mendapat remisi 2 bulan 20 hari. Ayin dinilai telah mengikuti seluruh program Lapas dengan baik. Bahkan, Ayin diangkat menjadi pemuka pendidikan umum pada tanggal 23 Juni 2010 melalui SK Nomor W29.PK.01.01.02-482 yang diterbitkan Kantor Wilayah Kemenhuk dan HAM Banten.
“Artalyta itu kan juga sama mendapat keistimewaan di dalam LP. Artinya yang perlu dikritisi adalah peraturan mengenai kriteria berprilaku baik. Misalnya kalau narapidana kasus korupsi memberi tips kepada petugas Lapas, maka itu termasuk prilaku buruk. Artinya dia belum berubah dari prilaku korupnya. Memang aturannya itu memungkinkan narapidana mendapatkan revisi sekian banyak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata Agustinus, jika merujuk pada peraturan yang ada, maka pemberian bebas bersyarat dan remisi 74 bulan 110 hari kepada Robert Tantular sesuai dengan aturannya. Sebagai catatan bahwa pemberian remisi sebanyak itu juga berarti pemberian remisi yang optimal atau maksimal. Artinya Robert Tantular dinilai berperilakuan sangat baik atau sempurna.
“Nah pertimbangan itu harus mengacu pada konsep pemidanaan Indonesia. Bahwa konsep pemidanaan yang benar itu sifatnya re-sosialisasi dan re-edukasi, jadi mengembalikan narapidana ke masyarakat dan memasyarakatkan kembali. Oleh karena itu memang perlu diberikan reward atau remisi agar mereka yang sudah baik segera bebas,” ujarnya.
Agustinus menambahkan bahwa yang terjadi saat ini para narapidana berkerah putih dengan cerdik memanfaatkan aturan remisi tersebut secara maksimal. Hal tersebut perlu diwaspadai karena narapidana berkerah putih itu memiliki akses lebih pada kekuasaan, bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan bisa mempengaruhi perubahanaturan.
“PP 99/2012 perlu dipertahankan. Cukup ada penyesuaian misalkan diberlakukan pada tindak pidana tertentu seperti terorisme, korupsi, kejahatan berat HAM, dan narkotika,” imbuhnya.
https://law-justice.co/ironi-robert-tantular-dicekal-kpk-dibebaskan-bersyarat-oleh-kemenkumham.html
Selamat membaca
Baca juga : KPK Panggil 8 Saksi Kasus Suap DAK Pendidikan Kabupaten Cianjur
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Ade Kusmanto mengatakan, remisi tersebut diajukan oleh Lapas Cipinang sesuai usulan nomor W10.Pas.01.05.06-540 tertanggal 5 Mei 2017.
Ade menyebut, pembebasan bersyarat Robert semestinya dimulai pada 18 Mei 2018. Namun hal itu ditunda karena dia harus menjalani pidana kurungan pengganti denda selama 17 bulan sejak 18 Mei hingga 10 Oktober 2018.
Baca juga : KPK Panggil 7 Saksi Kasus Suap Proyek SPAM di Kementerian PUPR
Selain itu, Robert juga menjalani subsider kurungan 14 bulan karena tidak membayar denda pada perkara pertamanya sebesar Rp100 miliar dan perkara keduanya sebesar Rp 10 miliar, terhitung mulai 18 Mei 2017 sampai dengan 12 Juli 2018. Robert kemudian membayar denda perkara keempatnya senilai Rp 2,5 miliar pada Juli 2018 hingga tidak harus menjalani subsider kurungan 3 bulan.
"Akumulasi perolehan remisinya 74 bulan, 110 hari. Itu setelah yang bersangkutan menjalani sekitar 10 tahun dari total 21 tahun hukuman penjaranya," kata Ade Kusmanto kepada Law-justice.co, pekan lalu.
Baca juga : IPW Nilai Debat Capres Tak Esensial Paparkan Pembenahan Hukum
Sebelumnya, Robert merupakan tersangka kasus penggelapan dana nasabah Bank Century dan Antaboga. Ia adalah pemegang saham pengendali di Bank Century yang ditangkap dan ditahan polisi pada 26 November 2008.
Atas perbuatannya, Robert divonis 21 tahun penjara dalam 4 kasus yaitu vonis 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider 8 bulan kurungan dalam kasus perbankan. Kemudian dia mendapat vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam kasus perbankan yang kedua. Berikutnya, dia juga divonis bersalah dalam 2 kasus pencucian uang, yakni masing-masing 1 tahun dan 1 tahun serta denda Rp 2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada Robert, kata Ade, sudah dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Ada sejumlah syarat bagi narapidana yang berhak mendapat pembebasan bersyarat dan remisi.
Ade menyebut dasar dari pemberian keistimewaan itu yakni pasal 15 dan 16 KUHP, UU nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PP No 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan WBP, PP nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP, sebagaimana telah diubah dengan PP nomor 28 tahun 2006 dan diubah kembali dengan PP nomor 99 Tahun 2012, Permenkumham RI nomor 21 Tahun 2013 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat sebagaimana telah diubah dengan Permenkumham RI nomor 21 Tahun 2016 dan diubah kembali dengan Permenkumham RI nomor 3 Tahun 2018.
Secara sederhananya, kriteria narapidana mendapatkan bebas bersyarat yakni telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, berkelakuan baik selama menjalani pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
“Robert Tantular telah menjalani 2/3 masa pidana dikurangi remisi yang dia dapat. Tetapi dia tidak bebas murni, dia memiliki kewajiban wajib lapor, diawasi Kejaksaan dan Bapas, dan tidak boleh meninggalkan Indonesia. Apabila dalam masa bimbingannya melakukan pelanggaran baik itu sifatnya tata tertib maka bisa dicabut dan dimasukan ke dalam Lapas untuk menjalani sisa hukuman yang harus dijalani,” ujarnya.
Sedangkan proses pemberian remisi, kata Ade, bukan diajukan oleh narapidana. Remisi merupakan hak dari warga binaan yang secara otomatis diberikan kepada seluruh narapidana yang memenuhi persyaratan yang ada. “Jadi secara otomatis remisi itu diusulkan oleh pihak Lapas, bukan pribadi narapidana,” tegasnya.
Adapun penentuan besaran remisi hingga mencapai 74 bulan, 110 hari yang diperoleh Robert merupakan akumulasi dari remisi yang didapat setiap tahunnya. Akumulasi itu terdiri dari beberapa item seperti remisi HUT Kemerdekaan RI, remisi Natal, remisi sebagai pemuka agama di Lapas, dan remisi kemanusiaan.
Masing-masing item tersebut memiliki jenjang besaran remisi bertingkat sesuai beriringnya waktu. Misalnya saat menjalani pidana penjara satu tahun atau 12 bulan, maka remisi HUT Kemerdekaan RI cuma dapat 1 bulan. Bagitu masuk tahun ke dua atau 24 bulan penjara, maka besaran remisinya meningkat sampai 2-3 bulan.
Begitu pula dengan remisi keagamaan. Pada tahun pertama menjalani massa penjara, maka narapidana hanya dapat memperoleh remisi keagamaan di bawah 15 hari. Begitu masuk tahun kedua, maka remisi akan meningkat lebih banyak lagi.
“Namun ada batasan remisi. Maksimal remisi HUT Kemerdekaan RI itu adalah 6 bulan. Jadi kalau misalkan pidananya 21 tahun, tahun ke-5 itu bisa dapat remisi 6 bulan tiap tahun. Tidak bisa lebih dari 7 bulan,” kata Ade.
Selain itu, dalam pemberian remisi juga terdapat penilaian mengenai perilaku baik seorang narapidana. Kriteria berperilaku baik itu antara lain seperti narapidana tidak pernah melangggar tata tertib Lapas saat 9 bulan menjelang bebas bersyarat, tidak berbuat onar, tidak membuat kegaduhan, dan tidak membuat gangguan keamanan ketertiban. Kemudian narapidana juga taat dan patuh mengikuti semua program yang diberikan oleh Lapas.
“Robert Tantular terbukti aktif sebagai pemuka agama di gereja dalam Lapas. Selain itu, ia juga aktif mendonorkan darahnya sehingga mendapatkan remisi kemanusiaan,” kata Ade.
Ade menambahkan, Robert Tantular dijerat dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Oleh sebab itu, pemberian remisi Robert tidak masuk dalam PP nomor 99 Tahun 2012, yang mengatur pidana khusus seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran berat HAM.
“Yang bersangkutan bukan narapidana korupsi, akan tetapi tergolong pidana perbankan. Jadi pidana Robert Tantular tidak masuk dalam ketentuan PP 99/2012 karena dia didakwa dan tiputus dengan UU Perbankan. Adapun pada kasus pencucian uang, itu masuk dalam penipuan nasabah,” imbuhnya.
Pembebasan bersayarat Robert berlaku sampai dengan 11 Juli 2024. Selama pembebasan bersyarat, Robert diawasi oleh Kejaksaan Negeri Bekasi dan dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan Bogor.
KPK Menilai Pemberian Remisi Longgar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemberian bebas bersyarat dan remisi sebanyak 74 bulan 110 hari kepada Robert terlalu longgar. Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif menyatakan kepada media bahwa seharusnya pemberian remisi dan bebas bersyarat, harus dipertimbangkan dengan ketat bagi narapidana-narapidana dengan kejahatan khusus, meski diatur undang-undang.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan bahwa KPK telah melakukan upaya pengawasan terhadap Robert Tantular. Pengawasan tersebut berupa pencegahan untuk bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan sejak pertengahan Desember tahun lalu. Pencegahan ini guna mendukung penyelidikan dalam pengembangan kasus bailout Bank Century.
Menurut Febri, pada dasarnya pencegahan ke luar negeri terhadap seseorang bisa dilakukan di tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK, kata Febri, masih terus meminta keterangan dari berbagai pihak dalam pengembangan kasusnya.
Selain itu, KPK juga melakukan penyelidikan terkait pemberian keistimewaan kepada Robert berupa bebas bersyarat dan remisi. Ada sebanyak 40 orang telah dimintai keterangan terkait hal tersebut.
"KPK masih membutuhkan keterangan sejumlah pihak untuk proses penyelidikan. Tentu dalam proses penyelidikan kami tidak bisa menyampaikan secara lebih rinci. Tapi antara lain ada unsur Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan mantam pejabat di BI," kata dia.
Febri menekankan, KPK juga harus hati-hati dalam penyelidikan baru kasus ini. Ia mengaku membatasi diri dalam memberi keterangan soal perkembangan substansi penyelidikan. Sejauh ini, KPK baru menjerat Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang 4 Kebijakan Pengelolaan Moneter dan Devisa. Budi Mulya divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.
Jika dihitung lebih rinci lagi, Robert sama halnya mendapat potongan masa tahanan selama 6 tahun 4 bulan. Dengan masa hukuman 10 tahun dan mendapat remisi 77 bulan, itu artinya Robert setiap tahunnya mendapatkan remisi 7 bulan. Dari 12 bulan selama satu tahun, dia cuma menjalani hukuman 5 bulan.
Kriteria Bebas Bersyarat Harus Diatur Ulang
Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan menjelaskan aturan mengenai kriteria bebas bersyarat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) huruf k. Bebasnya narapidana berlaku setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Sedangkan ketentuan pemberian remisi atau pengurangan masa menjalani pidana diatur dalam beberapa aturan negara. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi.
Dua hal itu, remisi dan bebas bersyarat, sepenuhnya merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam membuat dan menjalankan aturan yang ada. Salah satu poin utama dalam menentukannya adalah seberapa besar seorang narapidana memenuhi kriteria berkeprilakuan baik selama dalam tahanan.
“Masyarakat menilai bahwa remisi 74 bulan 110 hari itu dirasa tidak adil, tapi itu aturannya memang memungkinkan mendapat remisi seperti itu. Maksudnya gini lho, kenapa sih seorang narapidana mendapatkan remisi? Yang berhak mendapat remisi yakni narapidana yang berkelakuan baik. Pertanyaannya adalah apa kriteria seorang narapidana berkelakuan baik?” ujar Agustinus saat dihubungi Law-justice.co.
Kriteria berprilaku baik, kata dia, sering kali diartikan dengan tidak pernah berkelahi di dalam Lapas, bersikap sopan, patuh, mengikuti program pembinaan, dan lain-lain. Menurutnya, kriteria-kriteria tersebut sangat menguntungkan bagi mereka yang disebut narapidana berkerah putih (white collor Crime).
Menurutnya, narapidana berkerah putih tersebut seringkali memanfaatkan peraturan yang ada mengenai kriteria berprilaku baik. Sebab narapidana berkerah putih rata-rata memiliki latar belakang seperti kelas menengah atas, seorang intelektual, dan saleh. Berbeda dengan para narapidana jalanan (street criminal) yang memiliki perawakan garang, bertubuh kekar, galak, dan beringas.
Ia memberi contoh, misalnya pada kasus yang menjerat Artalyta Suryani alias Ayin, seorang pengusaha yang terlibat penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam kasus tersebut, Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS.
Setelah menjalani 2/3 dari total hukuman penjara, Artalyta mendapat remisi 2 bulan 20 hari. Ayin dinilai telah mengikuti seluruh program Lapas dengan baik. Bahkan, Ayin diangkat menjadi pemuka pendidikan umum pada tanggal 23 Juni 2010 melalui SK Nomor W29.PK.01.01.02-482 yang diterbitkan Kantor Wilayah Kemenhuk dan HAM Banten.
“Artalyta itu kan juga sama mendapat keistimewaan di dalam LP. Artinya yang perlu dikritisi adalah peraturan mengenai kriteria berprilaku baik. Misalnya kalau narapidana kasus korupsi memberi tips kepada petugas Lapas, maka itu termasuk prilaku buruk. Artinya dia belum berubah dari prilaku korupnya. Memang aturannya itu memungkinkan narapidana mendapatkan revisi sekian banyak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata Agustinus, jika merujuk pada peraturan yang ada, maka pemberian bebas bersyarat dan remisi 74 bulan 110 hari kepada Robert Tantular sesuai dengan aturannya. Sebagai catatan bahwa pemberian remisi sebanyak itu juga berarti pemberian remisi yang optimal atau maksimal. Artinya Robert Tantular dinilai berperilakuan sangat baik atau sempurna.
“Nah pertimbangan itu harus mengacu pada konsep pemidanaan Indonesia. Bahwa konsep pemidanaan yang benar itu sifatnya re-sosialisasi dan re-edukasi, jadi mengembalikan narapidana ke masyarakat dan memasyarakatkan kembali. Oleh karena itu memang perlu diberikan reward atau remisi agar mereka yang sudah baik segera bebas,” ujarnya.
Agustinus menambahkan bahwa yang terjadi saat ini para narapidana berkerah putih dengan cerdik memanfaatkan aturan remisi tersebut secara maksimal. Hal tersebut perlu diwaspadai karena narapidana berkerah putih itu memiliki akses lebih pada kekuasaan, bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan bisa mempengaruhi perubahanaturan.
“PP 99/2012 perlu dipertahankan. Cukup ada penyesuaian misalkan diberlakukan pada tindak pidana tertentu seperti terorisme, korupsi, kejahatan berat HAM, dan narkotika,” imbuhnya.
https://law-justice.co/ironi-robert-tantular-dicekal-kpk-dibebaskan-bersyarat-oleh-kemenkumham.html
Selamat membaca
3
2.8K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan