Mungkin banyak Agan Sista di sini yang tak asing lagi dengan nama Soe Hok Gie. Ya, alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) tersebut memang terkenal berkat tulisan-tulisannya yang kritik dan kisah hidupnya yang menginspirasi. Maka nggak heran jika sutradara sekelas Riri Riza tertarik membuat film biopik sang aktivis tersebut.

Seperti judulnya, film ini berkisah mengenai sosok Gie (Nicholas Saputra)--panggilan akrab Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tumbuh pada masa pergolakan ketika Indonesia terjebak perang dingin di antara kubu Blok Barat dan Blok Timur. Ia adalah pemuda merdeka yang hanya tunduk pada keadilan.

Di awal film, Riza langsung menggambarkan sosok Gie yang kritik dan berani mengambil sikap sejak ia masih remaja. Contohnya, ketika Gie menentang guru SMP-nya yang tak paham mengenai perbedaan pengarang dan penerjemah. Pun, di SMA, ia juga tak segan memberikan pendapatnya yang amat kritis seperti saat dirinya mengkritik mengenai sistem demokrasi terpimpin yang baru diterapkan di Indonesia.

Namun, film tak lama berkutat pada masa remaja Gie. Film berlanjut dan lebih banyak mengisahkan masa kuliah Gie di UI, seperti saat ia coba menentang praktek perpolitik di kampus yang hanya berorientasi atas nama golongan, atau saat ia bergabung bersama kelompok gerakan bawah tanah yang kerap menentang pemerintahan, atau bahkan saat ia menggerakan massa Fakultas Sastra untuk berdemo menentang kebijakan pemerintah.

Walau begitu, film tak selalu berkutat menceritakan sisi idealis Gie. Film juga mengisahkan sisi melankolis Gie, seperti saat ia menikmati keindahan alam saat mendaki gunung, atau saat ia berpacaran dengan dua wanita yang pernah dekatnya dengannya, Ira (Sita Nursita) dan Sinta (Wulan Guritno).


Secara kesuluruhan, Riza dapat mengimplementasikan dengan baik tulisan-tulisan Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstranke bentuk visual. Walau tak dapat dimungkiri, terdapat beberapa tambahan karakter fiktif yang bertujuan membuat cerita lebih berwarna dan komersial.

Nicholas Saputra berhasil memerankan karakter Gie yang intelek, berdidealisme tinggi, namun juga melankolis. Dalam wawancara dengan Tempo, adik perempuan Gie, Jeanne Sumual, bahkan kagum dengan kemampuan Nicholas memperagakan gaya jalan kakaknya tersebut. Namun, terdapat perbedaan besar karakter Gie di dunia nyata dan layar lebar: Jeanne mengatakan kakaknya tak sedingin karakter yang diperankan Nicholas, melainkan lebih ekspresif bahkan cerewet.

Walau begitu, Nicholas secara meyakinkan dapat menyampaikan pola pikir Gie terhadap kondisi politik saat itu. Ya, poin terpenting dalam film ini--setidaknya menurut subjektifitas saya--adalah tergambar buruknya perpolitik Indonesia di masa-masa akhir rezim Orde Lama dan awal Orde Baru.

Lewat tulisan-tulisannya yang tajam, Gie dengan tegas mengkritik pemerintahan Soekarno yang sudah sangat otoriter, yang menyebabkan banyaknya ketidakadilan sosial dan penyalagunaan kekuasaan. Bahkan setelah perjuangannya menggulingkan rezim Soekarno berhasil, Gie tak serta merta berhenti menyuarakan keadilan.

Gie merasa pemerintahan baru di bawah rezim Soeharto tak kalah busuknya dengan pemerintahan Soekarno. Gie benar-benar mengecam tindakan genosida yang dilakukan pemerintahan Soeharto kepada orang-orang yang diyakini partisipan Partai Komunis Indonesia di Bali.


Tindakan Gie yang berani mengambil sikap demi menegakan idealismenya tentu patut dicontoh pemuda masa kini. Objektifitas Gie juga wajib ditiru: ia tak bertindak untuk golongan, namun demi kepentingan orang banyak.

Bagi penikmat sejarah atau untuk kamu yang ingin mengenal sosok Soe Hok Gie, film ini wajib ada di watch-list-mu. Bagi kamu yang belum membaca buku Catatan Seorang Demonstran, film ini sangat cocok sebagai pengantarnya.