- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KIARA: Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Bahari Meningkat


TS
sukhoivsf22
KIARA: Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Bahari Meningkat
Ahmad Bhagaskoro

Sekjen KIARA, Susan Herawati
(tengah) (foto: VOA/Ahmad
Bhagaskoro)
Pemerintah diminta
memperhatikan masyarakat
di dalam proyek-proyek
pembangunan di kawasan
pesisir.
JAKARTA - Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) mencatat proyek
pembangunan di kawasan
pesisir dalam 4 tahun terakhir
telah merampas ruang hidup
masyarakat pesisir yang
tersebar dari Sumatera hingga
Papua. Perampasan tersebut
mulai dari larangan mendekat
kawasan pesisir untuk
pariwisata, kehilangan mata
pencaharian, hingga
kriminalisasi masyarakat
setempat.
Adapun pembangunan di
kawasan pesisir yang masif
terjadi meliputi reklamasi,
pertambangan, kawasan
pariwisata, konservasi serta
perkebunan sawit di pesisir.
Sekjen KIARA, Susan Herawati
mengatakan, ada sekitar 12 ribu
desa pesisir yang terdampak
proyek pembangunan tersebut.
Mereka kehilangan mata
pencaharian
"Kita mengapresiasi apa yang
dilakukan Kementerian Kelautan
dan Perikanan bahwa kita harus
berdaulat di laut dengan
mengusir para pencuri ikan.
Saya sepakat. Tapi melihat
perjalanan panjang 2018,
Permasalahan paling substansi
yang kita hadapi adalah bukan
hanya kemiskinan, tapi juga
perampasan ruang yang
meningkat tajam," jelas Susan
Herawati di Jakarta, Senin
(14/1).
Data KIARA menyebutkan ada
sekitar 780 keluarga yang
terdampak dari belasan desa
tersebut. Hal tersebut seiring
dengan peningkatan proyek di
pesisir seperti reklamasi yang
meningkat menjadi 40 wilayah
pesisir dari sebelumnya 37 titik.
Kemudian pertambangan
pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadi 1.895 konsesi dari
sebelumnya hanya di 21 lokasi.
Di samping itu, Susan
menambahkan privatisasi pulau
kecil juga terus meningkat dari
tahun lalu sebanyak 14 pulau
kecil menjadi 79 pulau. Serta
proyek-proyek perkebunan
kelapa sawit yang mencapai
675.791 hektare.
"Dalam konteks Kelautan dan
Perikanan (KKP) tentu kita
berharap KKP adalah payung
besar nelayan, masyarakat
pesisir, masyarakat petambak
garam, perempuan nelayan.
Jadi seharusnya konteks
kedaulatannya tidak hanya ilegal
fishing. Masa dalam 4 tahun
terakhir, ngomongnya hanya
penenggalaman kapal," tambah
Susan.
Menanggapi itu, Dirjen
Pengelolaan Ruang Laut KKP,
Brahmantya Satyamurti
Poerwadi, mengatakan perlu
mengecek ulang proyek-proyek
reklamasidan lainnya yang
disebut Kiara banyak
merampas ruang hidup
masyarakat pesisir. Namun, ia
menegaskan selalu
mengutamakan masyarakat
dalam setiap proyek-proyek.
Di samping itu, KKP selalu
berpegang pada aturan yang
ada ketika ada pengajuan izin
ke kementeriannya. Adapun
yang menjadi urusan KKP yaitu
soal Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan Kawasan
Strategis Nasional Tertentu
(KSNT).
"Sifat kita sih selalu
menyampaikan bahwa
masyarakat selalu di depan,
syaratnya mereka harus
menjaga. Misalnya tadi saya
sampaikan seperti masyarakat
adat atau lokal kita berikan
alokasi ruangnya dan tempat
mereka untuk berusaha. Tapi di
sisi lain harus dimengerti juga
ketika pemerintah daerah butuh
untuk mengembangkan
wilayahnya," jelas Brahmantya
Satyamurti Poerwadi di kantor
KKP, Jakarta, Kamis (17/1).
Brahmantya menegaskan
kementeriannya juga terus
mendampingi masyarakat yang
mengalami konflik di wilayah
pesisir. Salah satu konflik yang
sudah diselesaikan dengan
tuntas yaitu konflik soal tanah
pantai di Kecamatan Meral,
Kabupaten Karimun yang
memiliki sertifikat hak milik.
[Ab/em]
https://www.voaindonesia.com/a/kiara...ingkat/4748513

Sekjen KIARA, Susan Herawati
(tengah) (foto: VOA/Ahmad
Bhagaskoro)
Pemerintah diminta
memperhatikan masyarakat
di dalam proyek-proyek
pembangunan di kawasan
pesisir.
JAKARTA - Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) mencatat proyek
pembangunan di kawasan
pesisir dalam 4 tahun terakhir
telah merampas ruang hidup
masyarakat pesisir yang
tersebar dari Sumatera hingga
Papua. Perampasan tersebut
mulai dari larangan mendekat
kawasan pesisir untuk
pariwisata, kehilangan mata
pencaharian, hingga
kriminalisasi masyarakat
setempat.
Adapun pembangunan di
kawasan pesisir yang masif
terjadi meliputi reklamasi,
pertambangan, kawasan
pariwisata, konservasi serta
perkebunan sawit di pesisir.
Sekjen KIARA, Susan Herawati
mengatakan, ada sekitar 12 ribu
desa pesisir yang terdampak
proyek pembangunan tersebut.
Mereka kehilangan mata
pencaharian
"Kita mengapresiasi apa yang
dilakukan Kementerian Kelautan
dan Perikanan bahwa kita harus
berdaulat di laut dengan
mengusir para pencuri ikan.
Saya sepakat. Tapi melihat
perjalanan panjang 2018,
Permasalahan paling substansi
yang kita hadapi adalah bukan
hanya kemiskinan, tapi juga
perampasan ruang yang
meningkat tajam," jelas Susan
Herawati di Jakarta, Senin
(14/1).
Data KIARA menyebutkan ada
sekitar 780 keluarga yang
terdampak dari belasan desa
tersebut. Hal tersebut seiring
dengan peningkatan proyek di
pesisir seperti reklamasi yang
meningkat menjadi 40 wilayah
pesisir dari sebelumnya 37 titik.
Kemudian pertambangan
pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadi 1.895 konsesi dari
sebelumnya hanya di 21 lokasi.
Di samping itu, Susan
menambahkan privatisasi pulau
kecil juga terus meningkat dari
tahun lalu sebanyak 14 pulau
kecil menjadi 79 pulau. Serta
proyek-proyek perkebunan
kelapa sawit yang mencapai
675.791 hektare.
"Dalam konteks Kelautan dan
Perikanan (KKP) tentu kita
berharap KKP adalah payung
besar nelayan, masyarakat
pesisir, masyarakat petambak
garam, perempuan nelayan.
Jadi seharusnya konteks
kedaulatannya tidak hanya ilegal
fishing. Masa dalam 4 tahun
terakhir, ngomongnya hanya
penenggalaman kapal," tambah
Susan.
Menanggapi itu, Dirjen
Pengelolaan Ruang Laut KKP,
Brahmantya Satyamurti
Poerwadi, mengatakan perlu
mengecek ulang proyek-proyek
reklamasidan lainnya yang
disebut Kiara banyak
merampas ruang hidup
masyarakat pesisir. Namun, ia
menegaskan selalu
mengutamakan masyarakat
dalam setiap proyek-proyek.
Di samping itu, KKP selalu
berpegang pada aturan yang
ada ketika ada pengajuan izin
ke kementeriannya. Adapun
yang menjadi urusan KKP yaitu
soal Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan Kawasan
Strategis Nasional Tertentu
(KSNT).
"Sifat kita sih selalu
menyampaikan bahwa
masyarakat selalu di depan,
syaratnya mereka harus
menjaga. Misalnya tadi saya
sampaikan seperti masyarakat
adat atau lokal kita berikan
alokasi ruangnya dan tempat
mereka untuk berusaha. Tapi di
sisi lain harus dimengerti juga
ketika pemerintah daerah butuh
untuk mengembangkan
wilayahnya," jelas Brahmantya
Satyamurti Poerwadi di kantor
KKP, Jakarta, Kamis (17/1).
Brahmantya menegaskan
kementeriannya juga terus
mendampingi masyarakat yang
mengalami konflik di wilayah
pesisir. Salah satu konflik yang
sudah diselesaikan dengan
tuntas yaitu konflik soal tanah
pantai di Kecamatan Meral,
Kabupaten Karimun yang
memiliki sertifikat hak milik.
[Ab/em]
https://www.voaindonesia.com/a/kiara...ingkat/4748513
0
1.5K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan