Kaskus

News

LordFariesAvatar border
TS
LordFaries
Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?
Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?

KOMPAS.com - Hari ini 45 tahun yang lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta turun ke jalan untuk mengkritik kebijakan ekonomi Pemerintahan Soeharto yang dianggap terlalu berpihak kepada investasi asing.

Aksi yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari 1974 ini dilakukan bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka untuk bertemu Presiden Soeharto.

Namun, aksi yang berjalan dengan damai itu kemudian diwarnai dengan kerusuhan. Sejumlah gedung dan kendaraan yang "berbau" Jepang menjadi sasaran. Ada yang dirusak, ada yang digulingkan, ada juga yang dibakar.

Mahasiswa yang melakukan demonstrasi membantah telah melakukan aksi yang berbuntut kerusuhan. Mereka merasa aksinya ditunggangi.

Meski begitu, kerusuhan ini menjadi alasan bagi rezim Orde Baru untuk membungkam gerakan mahasiswa yang dianggap menjadi penggerak Peristiwa Malari 1974.

Baca juga: Mengenang Malari, Saat Mahasiswa Melawan Rencana Investasi Soeharto

Anti asing atau perpecahan tubuh militer?
Pada awal pemerintahannya, Soeharto berusaha melakukan pembangunan dalam berbagai aspek. Adapun, salah satu kendalanya adalah utang yang dimiliki Pemerintahan Soekarno.

Pemerintaha Soeharto berupaya menutup utang warisan Orde Lama dengan memasukkan investasi dari negara lain.

Ketika itu, Amerika Serikat (AS) adalah menjadi mitra yang besar bagi Indonesia terutama di bidang energi dan tambang. Namun, dominasi Jepang di Asia saat itu ternyata lebih terlihat nyata.

Berbagai alat transportasi, elektronik, dan barang-barang konsumen terlihat lebih didominasi produk Jepang. Saat terdengar kabar bahwa Jepang akan investasi besar-besaran, hal inilah yang memicu gerakan mahasiswa.

Dikutip dari buku Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014) karya Jusuf Wanandi, setidaknya ada faktor lain ketika itu. Indikasi itu yaitu adanya "aroma" perpecahan tokoh militer yang berada di sekitar Soeharto.

Soemitro, Pangkopkamtib pada Januari 1971
Pada awal pemerintahan Orde Baru, Jenderal Soemitro merupakan Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib. Pada awal 1970-an, Soemitro sering memanggil menteri-menteri ke kantornya dan menyelenggarakan rapat mingguan.

Langkah ini menjadikan sisi kubu Ali Moertopo merasa gerah dan ingin mempertanyakan kepada Soeharto tentang sejumlah "manuver" yang dilakukan Soemitro

Pada 1973, Soemitro memulai langkah beraninya dengan mendatangi kampus-kampus. Soemitro mempunyai gagasan agar para mahasiswa lebih kritis terhadap pemerintah.

Langkah yang dilakukannya mendapat tentangan keras terhadap Ali Moertopo. Ditambah prajurit yang berjaga di rumah Ali dibebas tugaskan.

Pada akhir tahun 1973, Soeharto mengumpulkan jenderal-jenderalnya untuk melihat duduk perkara yang ada. Soemitro menangis sebelum pertemuan tersebut dimulai.

Akhirnya, Soemitro memberikan penjelasan dalam pertemuan itu bahwa dirinya tak ada niat untuk merongrong wibawa Pemerintahan Soeharto.

Pada 2 Januari 1975, jenderal-jenderal mengadakan jumpa pers dan memberitahukan kepada media bahwa tak ada masalah atau perpecahan di kubu militer.

Mahasiswa tetap beraksi
Peristiwa itu tak menghentikan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi yang dipersiapkan beberapa minggu sebelum kedatangan Kakuei Tanaka ke Indonesia. Mahasiswa tetap niat turun ke jalan.

Demonstrasi berawal dari apel ribuan mahasiswa dan pelajar yang berlangsung dari kampus Universitas Indonesia (UI) di Jalan Salemba menuju kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol pada tengah hari, 15 Januari 1974.

Di situ mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974. Para mahasiswa meminta pemerintah menurunkan harga, membubarkan asisten presiden, dan menggantung koruptor-koruptor.

Setelah apel bubar, para mahasiswa dan pelajar itu membakar patung Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka. Lalu mereka menuju ke Istana Kepresidenan.

Saat itu, Istana Kepresidenan menjadi tempat pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Kakuei Tanaka, yang datang sejak 14 Januari 1974.

Peluru mulai ditembakkan ke arah demonstran yang dinilai melakukan kekerasan. Mahasiswa sendiri membantah telah melakukan kekerasan. Sebab, saat itu mereka berdemonstrasi di sekitar Jalan MH Thamrin, sedangkan kerusuhan terjadi di sekitar Pasar Senen.

Kerusuhan Malari 1974 tercatat menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan.

Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis.

Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...

Tanaka tak jengkel
Ketika peristiwa itu terjadi, PM Jepang sedang berada di Indonesia untuk melakukan kunjungan. Walaupun kondisi di Jakarta tak kondusif akibat menolak kedatangannya, namun Tanaka tak merasa jengkel.

Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 17 Januari 1974, Tanaka tak menyatakakan ke media bahwa dirinya merasa jengkel karena ulah dari mahasiswa.

Menurut dia, demonstrasi yang tepat dilakukan bersamaan dengan kunjungannya ini akan digunakan untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang Jepang.

Tanaka malah berjanji akan meninjau kembali kerja sama Jepang-Indonesia, hingga tercipta hubungan yang lebih baik lagi.

Kunjungan Tanaka di Indonesia saat itu berjalan lancar. Dia juga mendapatkan jamuan makan malam dari Soeharto di Istana Negara.

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/15/16362931/peristiwa-malari-1974-protes-modal-asing-atau-dampak-perpecahan-militer

Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?
0
3.2K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan