- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Belum Ada Aturan Jelas soal Buangan Limbah PLTU ke Laut


TS
sukhoivsf22
Belum Ada Aturan Jelas soal Buangan Limbah PLTU ke Laut
oleh Lusia Arumingtyas
[Jakarta] di 3 January 2019

Regulasi soal limbah buangan
pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) batubara pada perairan,
sungai dan laut masih lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 8/2009 tentang
Baku Mutu Air Limbah
Pembangkit Thermal ini,
dianggap masih longgar dan
belum memastikan laut terbebas
dari cemaran limbah cair.
Saat ini, 91% PLTU batubara
terletak di wilayah pesisir dengan
kapasitas listrik 24.435,96
megawatt (MW). Berdasarkan
rencana usaha penyediaan
tenaga listrik (RUPTL), tahun
2018-2027, sebanyak 82% PLTU
dengan kapasitas 44.047 MW
berada di pesisir.
Banyaknya, PLTU berada di
pesisir karena operasi
memerlukan air banyak.
Berdasarkan penelitian
Greenpeace 2013, jumlah air
dipasok 8.359 liter. PLTU banyak
di pesisir laut ini sangat rentan
pencemaran.
”Tidak ada baku mutu air limbah
PLTU batubara yang dibuang ke
laut membuat tak ada jaminan
perlindungan ekosistem pesisir
dan laut,” kata Angela Vania,
Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim
Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), di
Jakarta.
Berdasarkan analisis ICEL,
peraturan baku mutu air limbah
PLTU batubara saat ini masih
longgar hingga tak mampu
mencegah pencemaran dan atau
kerusakan ekosistem pesisir dan
laut.
”Aturan ini (Permen LH Nomor
8/2009-red) tak mengatur air laut
hingga tak bisa jadi acuan baku
mutu air limbah PLTU batubara
dibuang ke laut,” katanya.
Regulasi itu, memiliki kekurangan,
antara lain perameter suhu
limbah bahang terlalu longgar
untuk dapat mewujudkan baku
mutu suhu air laut, membolehkan
kenaikan suhu 40 derajat Celcius
saat buang ke badan air
penerima limbah. Ia berbeda
dengan baku mutu suhu air laut di
Keputusan Menteri LH Nomor
51/2004 yang membolehkan
kenaikan suhu tak lebih dari dua
derajat Celcius.
Kalau suhu rata-rata air laut di
Indonesia, 29,5 derajat Celcius,
kenaikan suhu air laut seharusnya
tak lebih 31,5 derajat Celcius.
Dampaknya, terjadi kenaikan suhu
air laut, turunkan kadar oksigen
dalam laut dan kurangi kualitas
ekosistem laut, biota laut akan
stres bahkan mati.
”Ini khawatir berdampak pada
perubahan pola migrasi dan
reproduksi biota laut,” katanya.
Dampak lain terkait air limpasan
dan air lindi dari penyimpanan
batubara pun tak diatur dalam
Permen LH Nomor 8/2009. Jika
tempat penyimpanan batubara
dalam keadaan terbuka, batubara
yang terkena air hujan akan
menghasilkan air limpasan dan air
lindi.
Air limpasan adalah air hujan yang
mengalir di permukaan tumpukan
batubara dan membawa serbuk
yang menempel pada badan
batubara. Sedangkan, air lindi
adalah yang mengandung organik
dan anorganik elemen hasil
pencucian batubara dan masuk
ke tanah atau badan air lain.
”Timbulan air lindi dan limpasan ini
bersifat beracun bagi tanaman,
ikan, margasatwa, dan serangga
akuatik serta menurunkan kualitas
badan air penerima hingga tak
layak untuk jadi sumber air minum
dan sumber rekreasi,” katanya.
Pasalnya, mengandung logam
berat seperti seng, timbal,
aluminium, arsen dan tembaga.
ICEL pun mendesak Kementerian
Lingkungan Hidup Kehutanan
(KLHK) menyusun, aturan baku
mutu air limbah PLTU batubara,
antara lain, pertama, menetapkan
parameter suhu limbah bahang
yang sama dengan parameter
suhu dalam baku mutu air laut,
yaitu 31,5 derajat Celcius.
”Apabila standar itu sulit dipenuhi
karena ketidakmampuan
teknologi, dapat ditetapkan baku
mutu alternatif dengan melihat
karakteristik ekosistem pesisir
dan laut yang jadi lokasi PLTU
batubara dan maksimal suhu
limbah bahang 34,5 derajat
Celcius,” katanya. Kedua,
menetapkan parameter logam
berat untuk sumber coal
stockpile.
MR Karliansyah, Direktur Jenderal
Pengendalian Kerusakan dan
Pencemaran Lingkungan KLHK
menilai, aturan baku mutu air
limbah sudah ada regulasinya.
”Permen LH Nomor 8/2009 di
dalamnya ada baku mutu air
limbah untuk pembangkit
berbahan bakar batubara.”
Di mana saja lokasi
pembangkitnya, kata Karliansyah,
air limbah harus memenuhi baku
mutu sesuai diatur dalam regulasi
itu.
”Jika mereka meminta izin
membuang air limbah ke laut,
pemberian izin beserta kewajiban
persyaratan harus didasarkan
atas hasil kajian daya dukung dan
tampung perairan laut
penerimanya,” katanya kepada
Mongabay.
Analisa yang dikeluarkan melalui
kertas kebijakan dengan judul
urgensi peraturan khusus
mengenai baku mutu
pembuangan air limbah PLTU
batubara ke laut ini mengkaji
aturan lain, antara Undang-
undang Nomor 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51/2004 tentang Baku
Mutu Air Laut. Juga Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor
8/2009 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha atau kegiatan
pembangkit listrik tenaga thermal
dan Peraturan MenLH Nomor P.63
tahun 2016 tentang persyaratan
dan tata cara penimbunan limbah
bahan berbahaya dan beracun
pada fasilitas penimbunan akhir.
Angela Vania mengatakan, kalau
tak ada upaya pencegahan PLTU
baturara, baik yang sudah
beroperasi maupun yang akan
tambah, potensi pencemaran
ekosistem pesisir dan laut makin
besar.
Ket foto utama:
Batubara dalam negeri terserap,
salah satu sebagai sumber
energi buat PLTU. Dalam gambar
ini tampak anak-anak kecil
bermain di Pantai Menganti, yang
hanya berjarak tak sampai satu
kilometer dari PLTU barubara.
Foto: Tommy Apriando/
Mongabay Indonesia
https://www.mongabay.co.id/2019/01/0...h-pltu-ke-laut
[Jakarta] di 3 January 2019

Regulasi soal limbah buangan
pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) batubara pada perairan,
sungai dan laut masih lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 8/2009 tentang
Baku Mutu Air Limbah
Pembangkit Thermal ini,
dianggap masih longgar dan
belum memastikan laut terbebas
dari cemaran limbah cair.
Saat ini, 91% PLTU batubara
terletak di wilayah pesisir dengan
kapasitas listrik 24.435,96
megawatt (MW). Berdasarkan
rencana usaha penyediaan
tenaga listrik (RUPTL), tahun
2018-2027, sebanyak 82% PLTU
dengan kapasitas 44.047 MW
berada di pesisir.
Banyaknya, PLTU berada di
pesisir karena operasi
memerlukan air banyak.
Berdasarkan penelitian
Greenpeace 2013, jumlah air
dipasok 8.359 liter. PLTU banyak
di pesisir laut ini sangat rentan
pencemaran.
”Tidak ada baku mutu air limbah
PLTU batubara yang dibuang ke
laut membuat tak ada jaminan
perlindungan ekosistem pesisir
dan laut,” kata Angela Vania,
Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim
Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), di
Jakarta.
Berdasarkan analisis ICEL,
peraturan baku mutu air limbah
PLTU batubara saat ini masih
longgar hingga tak mampu
mencegah pencemaran dan atau
kerusakan ekosistem pesisir dan
laut.
”Aturan ini (Permen LH Nomor
8/2009-red) tak mengatur air laut
hingga tak bisa jadi acuan baku
mutu air limbah PLTU batubara
dibuang ke laut,” katanya.
Regulasi itu, memiliki kekurangan,
antara lain perameter suhu
limbah bahang terlalu longgar
untuk dapat mewujudkan baku
mutu suhu air laut, membolehkan
kenaikan suhu 40 derajat Celcius
saat buang ke badan air
penerima limbah. Ia berbeda
dengan baku mutu suhu air laut di
Keputusan Menteri LH Nomor
51/2004 yang membolehkan
kenaikan suhu tak lebih dari dua
derajat Celcius.
Kalau suhu rata-rata air laut di
Indonesia, 29,5 derajat Celcius,
kenaikan suhu air laut seharusnya
tak lebih 31,5 derajat Celcius.
Dampaknya, terjadi kenaikan suhu
air laut, turunkan kadar oksigen
dalam laut dan kurangi kualitas
ekosistem laut, biota laut akan
stres bahkan mati.
”Ini khawatir berdampak pada
perubahan pola migrasi dan
reproduksi biota laut,” katanya.
Dampak lain terkait air limpasan
dan air lindi dari penyimpanan
batubara pun tak diatur dalam
Permen LH Nomor 8/2009. Jika
tempat penyimpanan batubara
dalam keadaan terbuka, batubara
yang terkena air hujan akan
menghasilkan air limpasan dan air
lindi.
Air limpasan adalah air hujan yang
mengalir di permukaan tumpukan
batubara dan membawa serbuk
yang menempel pada badan
batubara. Sedangkan, air lindi
adalah yang mengandung organik
dan anorganik elemen hasil
pencucian batubara dan masuk
ke tanah atau badan air lain.
”Timbulan air lindi dan limpasan ini
bersifat beracun bagi tanaman,
ikan, margasatwa, dan serangga
akuatik serta menurunkan kualitas
badan air penerima hingga tak
layak untuk jadi sumber air minum
dan sumber rekreasi,” katanya.
Pasalnya, mengandung logam
berat seperti seng, timbal,
aluminium, arsen dan tembaga.
ICEL pun mendesak Kementerian
Lingkungan Hidup Kehutanan
(KLHK) menyusun, aturan baku
mutu air limbah PLTU batubara,
antara lain, pertama, menetapkan
parameter suhu limbah bahang
yang sama dengan parameter
suhu dalam baku mutu air laut,
yaitu 31,5 derajat Celcius.
”Apabila standar itu sulit dipenuhi
karena ketidakmampuan
teknologi, dapat ditetapkan baku
mutu alternatif dengan melihat
karakteristik ekosistem pesisir
dan laut yang jadi lokasi PLTU
batubara dan maksimal suhu
limbah bahang 34,5 derajat
Celcius,” katanya. Kedua,
menetapkan parameter logam
berat untuk sumber coal
stockpile.
MR Karliansyah, Direktur Jenderal
Pengendalian Kerusakan dan
Pencemaran Lingkungan KLHK
menilai, aturan baku mutu air
limbah sudah ada regulasinya.
”Permen LH Nomor 8/2009 di
dalamnya ada baku mutu air
limbah untuk pembangkit
berbahan bakar batubara.”
Di mana saja lokasi
pembangkitnya, kata Karliansyah,
air limbah harus memenuhi baku
mutu sesuai diatur dalam regulasi
itu.
”Jika mereka meminta izin
membuang air limbah ke laut,
pemberian izin beserta kewajiban
persyaratan harus didasarkan
atas hasil kajian daya dukung dan
tampung perairan laut
penerimanya,” katanya kepada
Mongabay.
Analisa yang dikeluarkan melalui
kertas kebijakan dengan judul
urgensi peraturan khusus
mengenai baku mutu
pembuangan air limbah PLTU
batubara ke laut ini mengkaji
aturan lain, antara Undang-
undang Nomor 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51/2004 tentang Baku
Mutu Air Laut. Juga Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor
8/2009 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha atau kegiatan
pembangkit listrik tenaga thermal
dan Peraturan MenLH Nomor P.63
tahun 2016 tentang persyaratan
dan tata cara penimbunan limbah
bahan berbahaya dan beracun
pada fasilitas penimbunan akhir.
Angela Vania mengatakan, kalau
tak ada upaya pencegahan PLTU
baturara, baik yang sudah
beroperasi maupun yang akan
tambah, potensi pencemaran
ekosistem pesisir dan laut makin
besar.
Ket foto utama:
Batubara dalam negeri terserap,
salah satu sebagai sumber
energi buat PLTU. Dalam gambar
ini tampak anak-anak kecil
bermain di Pantai Menganti, yang
hanya berjarak tak sampai satu
kilometer dari PLTU barubara.
Foto: Tommy Apriando/
Mongabay Indonesia
https://www.mongabay.co.id/2019/01/0...h-pltu-ke-laut
0
1.8K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan